Saturday, March 15, 2014

Debat kecil soal pencalonan Jokowi


Makan bubur ayam dan berdebat soal pencalonan Jokowi bersama Imam Shofwan, Elina Agustin, Budi Setiyono dan Della Syahni dekat Gedung DPR Senayan. Si kecil Jalu, putra dari pasangan Setiyono-Agustin, tampaknya ikut menikmati debat kami.

Semalam sesudah Jokowi mencalonkan diri sbg presiden dari PDI Perjuangan, saya naik mobil dan lihat2 Jakarta pagi hari. Saya lewat pasar. Saya lewat jembatan. Saya lihat kemacetan lalu lintas. Saya lihat aturan lalu lintas dilanggar secara telanjang. Di Jalan Palmerah Selatan, orang naik sepeda motor melawan arus satu arah. Di Jalan Palmerah Utara, dekat kantor The Jakarta Post, orang berjualan di jalan, makan separuh badan jalan.

Saya kira benar bahwa kerja baik Jokowi di Jakarta jauh dari selesai. Ada arah yang benar dengan memulai bangun Mass Rapid Transport (MRT), mengeruk sungai, mengusahakan kesehatan masyarakat, menaikkan upah minimal buruh dll. Ini penting guna mengatasi kemacetan lalu lintas Jakarta yang sudah kusta. Pengerukan sungai dan waduk guna mengatasi banjir. Tapi belum terlihat hasilnya. Namun saya juga tahu Jokowi dinilai populer. Dia dianggap politikus yang tulus. Dia dianggap mau bekerja.

Pencalonannya, memancing debat publik yang besar, baik dengan argumentasi yang sehat maupun teori konspirasi ngawur.

Lalu saya pergi sarapan bubur ayam dgn kawan2 Yayasan Pantau --Budi Setiyono dari Historia, Della Syahni dari Kompas.com, Imam Shofwan dari Pantau serta Elina Agustin, mantan guru bahasa Perancis yang cuti karena mengasuh anak-- dan mengobrol soal apa yang kira2 akan terjadi dgn pemilihan 2014.

Saya diingatkan bahwa dalam jumpa pers di rumah Megawati Soekarnoputri pada September 2012, Jokowi mengatakan dia akan menyelesaikan masa jabatan gubernur Jakarta, lengkap lima tahun, takkan ikut pemilu 2014.

Janji tentu diingkari oleh Jokowi. Persoalannya, apakah Jokowi punya kemungkinan menolaknya? Kebetulan saya kenal dekat dgn beberapa wartawan yang dekat betul dgn Jokowi. Selama Jokowi menolak pencalonan, menurut wartawan2 tsb, Jokowi memang tak mau bicara soal presiden. Dia merasa sudah berat dgn kerja gubernur. Sepuluh tahun pun persoalan Jakarta takkan selesai.

Ada satu wartawan bilang Jokowi ngeri dgn kemungkinan tanggungjawab baru sebagai calon presiden. Dia merasa tak punya ketrampilan dan pengetahuan untuk kampanye sebagai presiden. Tapi dua minggu sebelum pencalonan diumumkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, atau mungkin perlahan-lahan sebulan sebelumnya, ketika saya bicara dgn beberapa kawan, termasuk dari Sekretarita Nasional Jokowi, saya tahu Jokowi mulai berubah pikiran.

Saya jadi ingin wawancara Jokowi dan mencari tahu apa yang jadi pertimbangannya.

Siapa yang menjanjikan bantuan pikiran untuk Jokowi?


Namun pencalonan Jokowi membuat kaum oligarki di Indonesia berdebar-debar. Ini fenomena menarik sehingga Jokowi jadi bahan debat publik.

Kata "oligarki" berasal dari kata Yunani ὀλιγαρχία (oligarkía). Ia terdiri dari dua kata ὀλίγος (olígos), artinya "sedikit", dan ἄρχω (arkho), artinya "menguasai atau memerintah." Oligarki berarti sebuah struktur dimana kekuasaan dikontrol sedikit orang. Mereka bisa berasal dari keluarga bangsawan, keluarga kaya, keluarga elite, terdidik, atau keluarga militer. Keluarga-keluarga ini mewariskan pengaruh mereka dari satu generasi ke generasi berikut.

Rahman Tolleng dari Forum Demokrasi mengatakan bahwa demokrasi Indonesia pasca-1998 adalah demokrasi oligarki. Di Jakarta, oligarki ini bisa dilihat dari keluarga Bakrie, keluarga Djojohadikusumo, Soeharto, Soekarno, Wahid, Wibowo-Yudhoyono, dan lainnya. Kandidat presiden termasuk Aburizal Bakrie, Prabowo S. Djojohadikusumo, dan Wiranto. Bila dilihat di ibukota provinsi, juga bisa dilihat oligarki berkuasa. Contoh mutakhir Ratu Atut Chosiyah dari Banten. Kebanyakan anggota parlemen, dari DPR sampai DPRD tingkat II, memerlukan duit buat menang. Thus kebanyakan juga orang berduit, langsung maupun tak langsung, yang menguasai legislasi.

Ini jauh berbeda dengan zaman Soekarno maupun Soeharto dimana kekuasaan, sedikit atau banyak, dikuasai kaum cendekia, setidaknya ada tempat penting buat kaum cendekia. Soekarno anak seorang guru. Soeharto anak priyayi kecil ... tapi dia jadi tentara yang kasih tempat buat teknokrat. Masih banyak nama bisa dijejerkan, dari Tan Malaka sampai Rahman Tolleng sendiri.

Jokowi bukan bagian dari oligarki. Dia dari keluarga sederhana. Sebagai pengusaha meubel, Jokowi pribadi cukup kaya tapi asetnya sekitar Rp 30an milyar saja. Ini jauh lebih kecil dari saingannya. Jokowi adalah fenomena non-oligarki di Indonesia. Pencalonannya tentu menarik.

Bagaimana dgn pekerjaan yang belum selesai?

Kepada Kompas, Jokowi mengatakan, "Saya kira kembali ke konstitusi, kembali ke undang-undang, kembali ke aturan. Kalau aturan memperbolehkan, saya kira itulah aturan. Kalau aturan tak boleh, saya kira tidak akan ada."

Di Jakarta, masih ada Wakil Gubernur Basuki "Ahok" Purnama bukan? Mudah-mudahan Ahok mau bekerja sampai selesai.

Saya kuatir waktu adalah kemewahan buat politisi bermutu di Indonesia. Mereka dikejar-kejar untuk mencalonkan bupati, gubernur atau apapun karena partai, media dan berbagai pressure group, memang membuat kebutuhan terhadap mereka meningkat. Ini indikator yang kurang menyenangkan buat kaum oligark.

Omong-omong, bubur ayam ini terletak di jalanan dekat DPR Senayan.

Ia enak sekali lho!

No comments: