Thursday, July 30, 2009

Sepuluh Pedoman Penulisan tentang Hukum

Kalau saya membela Jenderal Besar Soeharto memberi kado pabrik mobil pada anak kesayangannya, Jakarta membisu. Kalau Buyung membela anak buah Jenderal Besar Soeharto, LBH kebakaran dan Jakarta menjadi sinis. Apapun yang Buyung lakukan tampak seperti lap merah di mata kritisi. Seperti kata Tiang Landhi: Hoge bomen vangen veel wind, tambah tinggi tambah kencang anginnya."

-- Pengacara Nono Anwar Makarim soal pengacara hak asasi manusia Adnan Buyung Nasution dalam buku 75 Tahun Adnan Buyung Nasution


Ketika
membaca buku 75 Tahun Adnan Buyung Nasution karya Nina Pane selaku editor (2009), saya membaca esai Rosihan Anwar soal apa yang dulu pernah dilakukan Nasution dalam suatu lokakarya Persatuan Wartawan Indonesia. 

Pada 24-30 Juli 1977, PWI mengadakan karya latihan wartawan, bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum, saat mana mereka merumuskan "10 Pedoman Penulisan tentang Hukum." 

Buku ini memang hadiah ulang tahun untuk Bang Buyung. Ada 49 kenalan, anak dan isteri Bang Buyung menulis kesan mereka tentang Adnan Buyung Nasution. Mereka termasuk Abdul Rahman Saleh, Adi Sasono, Ahmad Syafii Maarif, A.M. Hendropriyono, Anand Krishna, A. Patra Zen, B.J. Habibie, Franz Magnis-Suseno, Freddy Numberi, Hendardi, Mohamad Assegaf, Nono Anwar Makarim dan sebagainya. 

"Semenjak dirumuskan tahun 1977 ... telah beredar selama 32 tahun. Saya pikir generasi wartawan muda sekarang tidak begitu mengetahui hal itu dan akibatnya tidak mengindahkannya dalam menulis berita tentang hukum. Sangat boleh jadi pedoman dahulu kini hanya berfungsi sebagai semacam dokumen historis. Ada tragik dalam semua itu," kata Rosihan Anwar. 

Saya rasa sayang sekali bila pedoman ini kurang diketahui wartawan. Saya perhatikan isinya masih sangat relevan untuk pedoman reporter yang meliput sidang-sidang pengadilan. Pedoman ini juga memenuhi standar jurnalisme dari negara maju. Ia tak dipengaruhi oleh self-censorship maupun propaganda. 

Saya ketik ulang. Ia juga tak menyebut soal pemakaian inisial dalam sidang-sidang pengadilan (sesuatu yang saya tak setuju). Ia juga minta perempuan dan remaja tak disebut identitasnya jelas.

Adnan Buyung Nasution bersama kelas narasi Yayasan Pantau yang disponsori Eka Tjipta Foundation. Bersama Anugerah Perkasa, Fahri Salam, saya ikut mengampu kelas ini. Nasution bicara soal "Konstitusionalisme dan Fundamentalisme" pada Sabtu, 25 Juli 2009. San Gunawan (kanan, baju hijau) adalah direktur eksekutif Eka Tjipta Foundation. Mereka juga sponsor penerbitan ulang buku klasik Nasution soal Konstituante. 

Sepuluh Pedoman Penulisan tentang Hukum

1. Pemberitaan mengenai seseorang yang disangka/dituduh tersangkut dalam suatu perkara, hendaknya ditulis dan disajikan dengan tetap menjunjung tinggi azas “praduga tidak bersalah” (presumption of innocence) serta Kode Etik Jurnalistik, khususnya ketentuan pasal 3 ayat 4 yang berbunyi, “Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan pengadilan bersifat information dan yang berkenaan dengan seseorang, yang tersangkut dalam suatu perkara, tetap belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dilakukan dengan penuh kebijaksaan, terutama mengenai nama dan identitas yang bersangkutan.” 

2. Dalam rangka kebijaksanaan yang dikehendaki oleh kode etik jurnalistik tadi, pers dapat saja menyebut nama lengkap tersangka/tertuduh, jika hal itu demi kepentingan umum. Tetapi dalam hal ini tetaplah harus diperhatikan prinsip adil dan fairness dalam memberitakan kedua belah pihak atau “cover both sides.” 

3. Nama, identitas dan potret gadis/wanita yang menjadi korban perkosaan, begitu juga para remaja yang tersangkut kasus pidana, terutama yang menyangkut susila dan yang jadi korban narkotika, tidak dimuat lengkap/jelas. 

4. Anggota keluarga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dituduhkan dari salah seorang tersangka/terhukum, hendaknya tidak disebut-sebut dalam pemberitaan. 

5. Dalam rangka mengungkap kebenaran dan tegaknya prinsip-prinsip proses hukum yang wajar (due process of law) pers seyogyanya mencari dan menyiarkan pula keterangan yang diperoleh di luar sidang, apabila terdapat petunjuk-petunjuk tentang adanya sesuatu yang tidak beres dalam keseluruhan proses jalannya acara. 

6. Untuk menghindarkan “trial by the press” pers hendaknya memperhatikan sikap tarhadap hukuman dan sikap terhadap tertuduh. Jadi hukum atau proses pengadilan harus berjalan dengan wajar, dan tertuduh jangan sampai dirugikan posisinya berhadapan dengan penuntut umum, juga perlu diperhatikan supaya tertuduh kelak bisa kembali dengan wajar ke masyarakat. 

7. Untuk menghindari “trial by the press” nada dan gaya dari tulisan atau berita jangan sampai ikut menuduh, membayangkan bahwa tertuduh adalah orang jahat dan jangan menggunakan kata-kata sifat yang mengandung opini, misalnya memberitakan bahwa “saksi-saksi memberatkan terdakwa” atau “tertuduh memberikan keterangan yang berbelit-belit.” 

8. Pers hendaknya tidak berorientasi “posisi/jaksa-centered,” tetapi memberikan kesempatan yang seimbang kepada polisi, jaksa, hakim, pembela dan tersangka/tertuduh. 

9. Pemberitaan mengenai suatu perkara hendaknya proporsional, menunjukkan garis konsisten dan ada kelanjutan tentang penyelesaiannya. 

10. Berita kendaknya memberikan gambaran yang jelas mengenai duduknya perkara (kasus posisi) dan pihak-pihak dalam persidangan dalam hubungan dengan hukum yang berlaku. 

1 comment:

bantalkepala said...

saya ichsan amin mas, bekerja di radio yang terbiasa membuat berita-berita dari koran kriminal...

saya sangat setuju ketika seseorang yang dianggap tertuduh (sedang dalam persidangan) dikorankan dengan penggunaan inisial saja. Kita boleh mengungkapkan nama mereka jika sudah diputuskan sebagai terdakwa (bersalah) oleh putusan pengadilan. (ini gimana ya, agak berat juga sih)..

terus.. saya sangat tidak setuju ketika pencopet yang ketahuan mencopet dan digebuki namanya tidak pakek inisial. ini parah sekali mas, kadangkadang saya memaki koran itu, tidak berprikemanusiaan.. jadi saya berinisiatif sendiri jika mengutipnya, saya memakai inisial si pencopet.