Wednesday, January 09, 2008

Mimbar Universitas Tanjungpura


Kami berpose di depan kantor Mimbar Universitas Tanjungpura. Berdiri dari kiri ke kanan: Heriyanto, Andreas Harsono, Henny Kristina, Eka Setiawati, Iskandar, Siti Aminah, Teti Kusendang, Deddy Armayadi, Sapariah Saturi, Fitri Rayuni. Duduk: Agustina, Heri Usman, Aini Sulastri, dan Nina Soraya.


Senin ini aku pergi mengunjungi ruang redaksi Mimbar Universitas Tanjungpura, biasa disingkat Miun, sebuah lembaga pers mahasiswa di Pontianak.

Heri Usman, salah seorang redaktur Miun, sebelumnya ikut sebuah acara diskusi, yang diadakan harian Borneo Tribune, di Hotel Gajah Mada. Isinya, diskusi soal liputan lingkungan hidup.

Thadeus Yus dari EC-Indonesia FLEGT Suport Project juga bicara dalam panel ini. Yus juga ketua Dewan Adat Dayak. Safitri Rayuni dari Borneo Tribune bikin liputan diskusi

Heri Usman lantas mengundang aku datang ke kantor redaksi mereka. Ini sebuah kehormatan. Aku lama kenal beberapa alumni Miun, termasuk mereka yang kini bekerja di Borneo Tribune. Pantau juga pernah kerja sama dengan Miun bikin pelatihan wartawan mahasiswa pada 2004.

Maka isteriku, Sapariah Saturi, mengantar dari Hotel Gajah Mada ke kampus Universitas Tanjungpura. Kami sempat tersesat di kampus luas ini.

Sapariah dan aku berada di Pontianak untuk menghadiri acara pernikahan adik iparku, Tursih Saturi, hari Minggu. Kesempatan berada di Pontianak juga kami pakai untuk bikin diskusi dengan Borneo Tribune maupun mahasiswa-mahasiswa ini.

Acara Senin ini sangat padat. Aku juga bikin wawancara dengan dua orang pelamar beasiswa di Ford Foundation. Malamnya, aku juga diajak diskusi. Pontianak adalah kota dimana aku pernah bikin liputan panjang. Aku juga membuat satu bab dari buku aku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism dari Pontianak.

Daerah ini adalah area dengan ketegangan antar etnik. Pada 1967, lebih dari 3,500 orang Tionghoa dibunuh sebagai kelanjutan dari pembunuhan massal orang-orang kiri di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Pada 1997, menurut Human Rights Watch, lebih dari 600 orang Madura dibunuh di daerah Sanggau Ledo. Pada 1999, lebih dari 2,500 orang Madura dibunuh dan diusir dari daerah Sambas.

Ia berlanjut di Sampit, Kalimantan Tengah. Orang Madura kini menghadapi diskriminasi secara meluas di Kalimantan. Diperkirakan lebih dari 160,000 orang Madura meninggalkan Kalimantan. Kalimantan juga menderita kebakaran besar dan polusi asap setiap kemarau.

Di ruang redaksi mahasiswa ini, kami banyak bicara soal bagaimana belajar menulis, bagaimana interview dan sebagainya. Aku bilang bahwa belajar dalam media kampus tak kalah penting dengan belajar dalam kurikulum resmi kampus. Banyak orang justru belajar jadi orang di media kampus.

Kampus ini luas sekali. Maklum Kalimantan!

5 comments:

ikram (qra) said...

bang, cuma numpang lewat aja sih. Sesungguhnya, saya adalah pengagum berat GM, tetapi, setelah melihat tulisan Anda, kok jadi senang juga. Bahasa yang Mas Andreas sampaikan benar-benar runut. Gampang dicerna. Hmmm, kalau berkenan, saya berharap sekali-kali bisa sharing dengan Mas Andrian, bagaimana caranya membuat tulisan begitu runut seperti yang Anda buat. Saya lihat tulisan mas mengenai Iwan Fals, wow, saya benar-benar takjub, indah sekali. Sepertinya, saya berada di antara orang-orang yang anda ceritakan. Mohon, kalau tidak keberatan, beritahu saya caranya bisa sharing dengan Mas Andrian. Saya Ikram, dari Balikpapan, Kalimantan Timur.Oh ya, di Balikpapan saya bekerja di harian Metro Balikpapan. Baru dua tahun jadi wartawan, umur saya baru 23 tahun. thanks..

andreasharsono said...

Dear Ikram,

Saya hanya orang yang belajar menulis. Kebetulan Goenawan Mohamad adalah guru saya. Dia banyak mendidik saya. Dia melatih saya mengerjakan manajemen Institut Studi Arus Informasi. Dia juga meledek bila salah. Dia juga memarahi. Saya bekerja bersama "Pak Goen" selama sembilan tahun.

Di keluarga kami di Jember, ada pepatah yang artinya kurang lebih, "Kalau ada orang berbuat kebajikan kepada kamu, tulislah namanya di batu karang." Nama Goenawan Mohamad, tentu saja, saya tulis di batu karang. Saya beruntung bisa belajar dari wartawan cerdas ini.

Soal Balikpapan, kebetulan sekali Yayasan Pantau, tempat saya bekerja, hendak bikin acara pelatihan wartawan di Balikpapan. Jadwal dan kepastiannya belum jelas. Saya sih ingin dua minggu agar ada waktu buat berlatih sungguhan. Kita tunggu saja ya kepastiannya dari sponsor kami. Terima kasih.

ikram (qra) said...

Mas, biasanya, kalau membuat pelatihan jurnalistik di daerah, ada biaya? Hmm, kalau memang ada, saya mau tanya berapa. Untuk pelatihan di Balikpapan, kalau memang udah pasti, mohon dikabari ya.. No telepon saya 0813 4725 1730 atau bisa juga kabari lewat email, ikram_ania@yahoo.com. saya benar-benar tertarik dengan tulisan Mas Andreas. Kalau memang ada kesempatan, saya amat berharap untuk sedikit belajar dari mas. Yah, meskipun cuma lewat internet pun saya sudah sangat senang. Mohon, arahannya..

Sutji Decilya said...

Halo Mas Andreas. Saya Ucie, mahasiswa Jurnalistik Unpad. benar kata mas Ikram. Tulisan Mas Andreas begitu bagus. Menurut saya, tulisan Anda begitu halus dan mengalir. Saya sangat suka membacanya.
Saya menyukai tulisan Anda tentang kehidupan pribadi Anda. Tentang Norman dan Supariah serta mantan istri Anda. Begitu menyentuh. Malah saking enaknya saya baca tulisan di blog Mas Andreas, saya jadi terlambat kuliah. hehe..

oh iya, kalau Pak Goenawan Mohamad saat mengajar galak nggak Mas? Saya pernah bertemu dengannya. Yah, orangnya begitu lah. Kalau kata orang Sunda mah, ti'is wae..

Mas Andreas, kapan-kapan kunjungi blog saya dong. Buka saja :

www.uciepunyablog.blogspot.com

Tulisannya memang tak sebagus tulisan mas, tapi saya mencoba untuk menulis dan membiasakannya. Mudah-mudahan mendapat kritik yang membangun dari mas Andreas.

Ucie

Merlyna said...

setuju dengan mas Ikram. tulisan2 Bang Andreas runut dan gampang dicerna. saya masih belajar untuk menulis seperti ini.

duh, Pontianak.. belum juga sempat berkunjung ke kota ini. padahal Kalbar ini salah satu tempat wajib kunjung bagi saya. apalagi dengan darah Dayak yang menetes di tubuh saya.

mer