Tuesday, July 17, 2007

Mbah Ndut


Semalam teman saya luluran. Mbah Ndut tukang lulurnya, dia juga berprofesi sebagai tukang pijet dan dukun bayi. Usianya 53 tahun. Meski wajahnya keriput, dia masih terlihat cantik dan bersemangat. “Dalam sehari saya masih bisa mijit paling banyak 5 orang mbak,” katanya. Kalo cuma pijat, ongkosnya Rp 35 ribu, kalo lulur Rp 75 ribu.

Saya duduk di sebelah Mbah Ndut, sambil membaca The Silent Season of a Hero-nya Gay Talese. Kami ngobrol sekali-kali. Obrolan yang membuat saya menghentikan membaca kalimat-kalimat anggun tentang Joe di Maggio, sang hero. Mbah Ndut bercerita tentang pasangannya.

Ini pernikahan kedua buat Mbah Ndut, perbedaan usia Mbah Ndut dengan pasangannya mencapai 20 tahun. Lebih dahsyat dari beda umur pasangan Joe di Maggio dan Maryln Monroe.

“Bukan saya yang jatuh cinta duluan mbak, tapi anak muda itu. Akhirnya saya tresno beneran dan kami menikah”, kata Mbah Ndut diselingi logat Jawa halusnya, dia lahir dan besar di Solo. Dalam bahasa Jawa, tresno berarti cinta.

“Tapi memang beda umur terlalu jauh, tidak baik. Saya baru tahu belakangan kalau suami saya menikah lagi dan punya anak. Dia dan istri barunya tinggal di Cawang. Sesekali dia masih pulang ke rumah Mampang. Biasanya dia tidak mau pulang jika tidak diberi sangu.“ Sang suami biasanya diberi sangu atau uang saku, besarnya Rp 200 ribu setiap datang.

“Sudah lebih sesasi (sebulan) dia tak datang. Saya pergi ke orang pinter, biar dipageri, biar dia tidak datang lagi,” ujarnya.

“Suami kedua saya tidak bekerja mbak, tapi sejak punya istri baru dia bekerja jadi cleaning service. Dulu saya sering dipukuli mbak. Kadang pake tangan, kadang kipas angin”.

Biasanya, habis dipukuli saya memilih minggat, cari kos-an baru. Tapi suami saya biasanya yang mencari, minta maaf dan ikut tinggal di tempat baru. Akhirnya saya memilih pulang,” cerita Mbah Ndut.

Saya takjub dengan perempuan ini, begitu nyantainya bercerita - tanpa rasa marah, nadanya datar saja. Begitu pula saat dia tambahkan cerita tentang suami pertamanya.

“Suami saya yang pertama tak beda jauh umurnya, hanya sekitar setahunan,” kata Mbah Ndut memulai kisah babak keduanya.

“Kakak perempuan saya jatuh cinta pada suami saya. Padahal dia sudah punya suami juga. Dulunya saya tidak tahu, setelah melahirkan anak pertama -saya sering sakit-sakitan. Sementara suami dan kakak perempuan saya, sering pergi bersama mencari pekerjaan. Kadang mereka merantau keluar kabupaten, kadang keluar pulau,” tambah Mbah Ndut.

“Akhirnya, sepulang dari merantau, suami saya mengaku akan menikah lagi…. kakak perempuan sayalah pengantinnya. Saya tak bisa menolak, saya dimadu -setelah mengajukan beberapa persyaratan. Saya hanya mau menyusui dan mengasuh anaknya, tak mau melayani kebutuhan suami lainnya,” tambah Mbah Ndut.

Tengah malam Mbah Ndut berhenti ceritanya, bersamaan dengan selesainya melulur badan teman saya dengan pasta berwarna kuning, buatan sendiri.

Hmmm … terlalu banyak potret-potret seperti Mbah Ndut di sekeliling saya, dari kampung di ujung timur pulau Jawa, ujung timur Flores hingga ibu kota negara ini.

Tidak tahu kenapa Tuhan membagi cerita yang sama kepada saya, di banyak tempat - terlalu sering.


Karya ini ditulis oleh Siti Maemunah, seorang peserta kursus Narasi di Yayasan Pantau. Karya pendek ini salah satu hasil latihannya menulis. Maemunah adalah koordinator nasional Jaringan Advokasi Pertambangan di Jakarta.

No comments: