Wednesday, October 11, 2006

Buset, Saya dan Workshop di Balikpapan

Oleh SAHRUDIN

"Buset, tapi bukan buaya darat," kata Budi Setiyono, ketika memperkenalkan diri di hadapan 16 peserta Mining Workshop di Balikpapan, 26 September lalu. "Buset" adalah nama panggilan Budi Setiyono. Dia menyandingkannya dengan lirik lagu milik duet Ratu: Buaya Darat.

Sebelumnya, saya membaca nama itu berikut beberapa tulisannya di "mendiang" majalah Pantau dan di situs Pantau. Jadi, bisa dibayangkan betapa girang diri ini bisa bertemu langsung dengan Buset. Layaknya berjumpa tokoh idola saja. "Oo, ternyata kayak gini toh orangnya", batin saya di awal perjumpaan dengannya.

Buset adalah "Man with Hat and Jacket" – itu kalau boleh saya memberinya julukan. Dalam sebuah posting di www.pantau-foundation.blogspot.com, saya melihat Buset menjadi moderator “Seminar Investigasi” di Jakarta, 20 Desember 2005. Pembicaranya, Bambang Harymurti dan Bondan Winarno. Terlihat pada potret, Buset memakai topi warna hitam dan mengenakan jaket warna krem. Di Balikpapan pun begitu: bertopi hitam yang di sisi kirinya ada tulisan bordir "Pantau", serta berjaket warna krem. Buset melepas topinya setelah Charles Imanuel, seorang peserta yang juga wartawan harian Tribun Kaltim, menegurnya,"Kenapa di ruangan pakai topi?"

Selain Buset, ada pula Samiaji Bintang. Lulusan STT Telkom Bandung tahun 2002 ini pernah bekerja di Tribun Kaltim selama tiga tahun. Lepas dari harian itu, Bintang masuk Pantau menjadi kontributor Aceh. Saya membaca tulisan-tulisan Bintang di situs Pantau dan weblog Andreas Harsono.

Buset merokok Gudang Garam International, Bintang tidak merokok. Buset berkulit kuning, Bintang hitam seperti saya. Kalau Buset cenderung kalem, Bintang cukup cekatan dan tangkas dalam bergerak: des, des, des! Saya ikut Buset, Bintang dan Siti Munawarah menata ruangan tempat diadakannya acara. Siti adalah panitia workshop. Dia bekerja untuk harian Bisnis Indonesia.

Ketiga orang baik itu juga mengajak saya makan malam. Sempat basa-basi menolak, tapi kemudian ikut -begitulah saya menyikapi tawaran kawan baru. Kami makan ikan bawal dan trakulu goreng di sebuah kedai di Jalan A. Yani. Malam itu, meja kami penuh oleh piring-piring bermuatan makanan dan gelas-gelas berisi es jeruk dan es teh. “Sampai capek makan”, kata Buset. Penulis cerita “Ngak-Ngik-Ngok” ini membayar semuanya. Saya lirik, Buset merogoh beberapa lembar lima puluh ribuan dari kantung celananya.


Selasa, 26 September adalah hari dimulainya Mining Workshop. Acara ini merupakan perpaduan antara training jurnalistik dan persoalan seputar dunia pertambangan. Pada silabus, sesi pertama tertera jam delapan pagi, tapi acara baru dimulai kira-kira 20 menit selepasnya.

Di awal acara, Buset terlebih dulu memperkenalkan diri, disusul satu persatu peserta. Kecuali saya, semua peserta punya lembaga tempat bernaung, baik penerbitan, penyiaran juga NGO. Saya satu-satunya peserta yang tak tergabung dalam institusi jurnalistik manapun. Lebih tepatnya, saya satu-satunya orang yang berprofesi bukan-wartawan dalam workshop ini. Pada daftar hadir, kolom "lembaga" saya ditik "freelancer" oleh panitia. Saya beruntung, sebab saya akan merasa tak nyaman hati bila peserta lain tahu profesi saya sebenarnya: tukang cuci truk dan bus di Samarinda.

Buset mengisi dua sesi. Masing-masing sesi berisikan materi yang tak jauh-jauh dari istilah-istilah "jurnalisme sastrawi", "piramida terbalik", "feature", "narasi", "jurnalisme investigatif", "sembilan elemen jurnalisme" serta beberapa yang lain. "Saya sebenarnya jangkar saja. Pembicaranya Keith Slack, besok," tutur Buset.

Para peserta dipancingnya untuk mengutarakan pendapat maupun pertanyaan. Satu, dua orang melancarkan kalimat-kalimat. Ada yang bertanya, ada pula yang memaparkan gagasan, kesepakatan sampai ketidaksetujuan. Beberapa peserta menceritakan pengalamannya selama bekerja sebagai pewarta.

Buset memberikan pekerjaan rumah. Satu orang peserta diminta melakukan wawancara dengan satu orang lainnya, lalu dituangkan ke dalam bentuk narasi. Pekerjaan rumah itu rencananya akan dibahas bersama-sama pada hari terakhir. Belakangan, hanya satu orang saja yang membuat pekerjaan rumah, yakni Charles Imanuel. Charles menulis tentang kondisi bekas sebuah areal pertambangan emas di Kutai Barat. Tulisan Charles itu yang kemudian dijadikan bahan diskusi.

Setelah Buset, ada Syarifuddin, direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur. Syarifuddin adalah alumnus Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, Samarinda. Bang Udin berbicara tentang dampak-dampak berbagai praktik penambangan dan pembabatan hutan di Kalimantan Timur.

Beberapa peserta yang sepertinya memiliki cukup wawasan soal bidang ini menyambut pancingan Bang Udin. Susyla, kontributor Media Indonesia dan Antara, memaparkan pengalamannya membuat berita lingkungan.


Acara ini diadakan oleh Yayasan Pantau dan Initiative for Policy Dialogue. Ia diadakan di bulan Ramadhan. Pada hari ketiga workshop, saya membatalkan puasa karena mesti minum obat. Sejak sebelum makan sahur, mendadak dada saya panas, tenggorokan seperti terkena radang, suara menjadi serak dan berat. "Mungkin kaget kelamaan tidur di tempat enak," kata Eva Danayanti dari Yayasan Pantau.

Selama workshop berlangsung, peserta dari luar Balikpapan memang diinapkan gratis di Hotel Pacific, tempat diadakannya acara. Sehari sebelumnya, bersama Keith Slack, Eva datang dari Manokwari. Bersama Eva, saya sempat makan sahur ditemani Siti, Muhammad Fadli, Bintang, Lazuardi Saragih dan Dani. Muhammad Fadli adalah seorang penulis sekaligus aktivis lingkungan hidup di Kalimantan Timur. Dua nama yang terakhir datang dari Banjarmasin.

Sebab kenyamanan tubuh yang terganggu itulah, sesi pertama dan kedua yang diampu oleh Keith Slack dari Oxfam America, akhirnya urung saya ikuti. Tapi sebelumnya, pada hari kedua, Keith sudah berbicara cukup panjang mengenai mining. Katanya, beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin tengah menghadapi dampak serius akibat praktik penambangan. Tak jauh berbeda dengan beberapa daerah di Indonesia: Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Sulawesi serta Sumatera. Keith menekankan, "Suatu negara yang mengalami ketergantungan oleh tambang, maka sudah pasti negara itu tengah dililit utang yang hebat." "Sebuah negara yang kaya akan tambang, maka kaya pula ia akan utang." Ah, benarkah demikian? Yang jelas, Keith juga memberikan alasan-alasan logis, yang cocok dikonsumsi akal.

Keith berbicara dalam Bahasa Inggris, Samiaji Bintang menjadi interpreter. Belum selesai satu kalimat Keith bicara, Bintang sudah memotongnya lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu. Mungkin ini sudah menjadi kesepakatan mereka.

Pada sesi-sesi Keith itu, ramai peserta tunjuk jari. Hampir semuanya bertanya dan mengemukakan argumen dalam bahasa Melayu. Tugas Bintanglah yang menyampaikannya pada Keith melalui bahasa Inggris. Itoy, seorang juru warta perempuan dari Antara, beberapa kali berbicara memakai Bahasa Inggris. Siti juga bertanya dalam bahasa Inggris.


Di hari pertama, ke dua dan ke tiga, panitia membagi-bagikan beberapa buku dan makalah mengenai jurnalisme dan mining. Majalah Pantau edisi Desember 2003 berikut t-shirt Pantau terbaru juga dibagikan cuma-cuma.

Dalam sebuah kesempatan, Samiaji Bintang berbicara di depan peserta tentang rencana pembuatan milis sebagai wadah diskusi lanjutan bagi peserta workshop. Bintang menunjuk Lazuardi mengurusi milis tersebut. Belakangan, milis itu pun terwujud, dan dinamai “pantau-pasific”.

Mengapa “pantau-pasific”? Barangkali, Lazuardi berniat mengajak para peserta agar selalu ingat akan workshop yang diadakan oleh Yayasan Pantau, bertempat di Hotel Pacific, Balikpapan.

Saya beruntung bisa mengikuti workshop ini. Saya berutang budi pada beberapa orang: Andreas Harsono, Rusman dari The Jakarta Post, Siti Munawarah dan Eva Danayanti. Andreas yang pertama kali memberi info pada saya perihal acara ini. Kemudian Rusman menghubungkan saya dengan Siti. Eva menelepon saya dan mengatakan bahwa sehari sebelum workshop dimulai, saya sudah bisa check in di Hotel Pacific.

Mining Workshop in Balikpapan berakhir pada 29 September. Malam sebelum berpisah, saya ikut Siti, Buset dan Bintang jalan-jalan ke sebuah toko buku. Siti membeli buku bernuansa Islami. Kami menghabiskan malam di sebuah kafe di kawasan Bandar Baru, persis di muka pantai. Lagi-lagi, Buset yang menjadi bos. Dia membayar beberapa cangkir kopi yang kami minum.

6 comments:

Anonymous said...

Thanks for your information about Buset. I miss him......

Eriek said...

saya pribadi mengenal Mas Buset ketika datang ke Bandarlampung. Mas Buset ditemani Eva Danayanti, mantan Pemimpin Usaha Teknokra Unila periode 2004-2005. Kini Eva bekerja untuk Yayasan Pantau. Saya salut dengannya.

Saat datang ke Bandarlampung, Mas Buset ditunjuk sebagai panelis pada saat acara Diskusi Jurnalisme Sastrawi di FISIP Unila, 23 Juni lalu. Ia diundang pers mahasiswa Republica FISIP Unila dan bekerjasama dengan Yayasan Pantau.

Memang benar sekali tampak sosok Mas Buset terlihat kalem. Nada bicaranya datar. Standar, tidak tinggi, dan tidak pula rendah. Mungkin itulah khas dari Mas Buset layaknya orang Jawa.

Kalau mendengar cerita pelatihan seperti ini, saya menjadi teringat dengan pelatihan jurnalistik mahasiswa yang pernah kita (Teknokra, red) adakan di Bandarlampung. September 2005 lalu misalnya, kita mengundang Endy Bayuni (Pemred The Jakarta Post) untuk mengisi materi tentang "Manajemen Redaksi". Lainnya, ada Sabam Leo Batubara dan Masli (PPPI). Saya senang mereka semua hadir mengisi pelatihan buat peserta dari pers mahasiswa se-Indonesia.

Bahkan, saya merindukan momen-momen seperti ini kembali hadir. Belajar dan berdiskusi banyak dari teman-teman persma. Juga bertukar pikiran dengan para pemateri yang hadir untuk meluangkan waktu bersama-sama.

Suatu saat nanti dari pelatihan-pelatihan seperti ini, akan melahirkan Buset baru dan Samiaji baru. Semoga.

Sahrudin said...

salam untuk mas buset, mas bintang, mbak eva, semuanya di sana. terima kasih, pak andreas. senang rasanya bisa nampang di blog anda. GBU and norman and... mbak arie.

Yati said...

waks....sahruddin sakit ya? gw juga...terkapar di rumah jadi cuma bisa ikut sehari (hari pertama).

salam...!

Anonymous said...

Buset, you make me broken love, but I still miss you. lways

Ithoy said...

Heran, saya baru ketemu tulisan ini, padahal udah beberapa kali "menjenguk" blog ini...:)

Gaya bercerita ini berguna sekali buat pengingat suasana workshop kemarin.

Kangen Mas Buset, Eva, Bintang, Keith, Udink dan Udin,