Monday, September 28, 2009

Warga Pontianak Bicara soal Kekerasan di Kalimantan Barat



PONTIANAK Lebih dari 60 aktivis, sarjana, wartawan serta tokoh agama Pontianak menerbitkan sebuah iklan satu halaman di harian Pontianak Post, Tribune Pontianak dan Borneo Tribune Senin pagi ini. Mereka menyerukan kepada warga Kalimantan Barat agar berhati-hati melihat pertengkaran antar perseorangan. Warga sebaiknya tak membawa pertengkaran menjadi persoalan etnik, adat atau agama. Mereka memberi nama petisi ini sebagai "Seruan Pontianak."

Kristianus Atok, seorang penyeru juga penulis buku Membangun Relasi Antar Etnik: Pelajaran dari beberapa kampung di Kalimantan Barat, mengatakan seruan ini adalah upaya pendidikan politik untuk warga Kalimantan Barat. Kalau ada pertengkaran bawalah ke jalur hukum. Jangan dijadikan masalah suku atau agama. "Sesuatu dengan niat baik akan selalu dapat dukungan," kata Kris Atok.

Dalam iklan tersebut, mereka menerangkan bahwa "akar kekerasan" di Kalimantan Barat adalah pembantaian kurang lebih 3,000 orang Tionghoa pada 1967. Pada 1997, sekitar 600 warga Indonesia etnik Madura dibunuh di Sanggau Ledo. Pada 1999, setidaknya 3,000 khususnya orang Madura dibantai dan 120,000 melarikan diri dari Sambas. "Kami punya kesan negara Indonesia membiarkan akar kekerasan merasuk semakin dalam," kata mereka.

"Kelemahan penegakan hukum, policy pemerintahan yang kurang bermutu serta ketiadaan upaya mencari kebenaran dan keadilan, membuat kekerasan berakar makin dalam di kawasan ini. Akibatnya, banyak warga Kalimantan Barat menekankan simbol-simbol etnik, adat dan budaya secara tidak proporsional: Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Tionghoa dan sebagainya. Bila ada persoalan kriminal biasa, orang menggesernya jadi persoalan kelompok etnik atau agama."

Para peserta seruan meliputi sarjana, termasuk Haitami Salim, ketua STAIN Pontianak. Dr. Gerry van Klinken, seorang peneliti dari Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies di Leiden, Belanda. Andreas Harsono, praktisi media, juga ikut mendukung seruan. Politikus Frans Tshai dari Partai Demokrat juga ikut. Dr. Aswandi, tokoh pendidikan, dan W. Suwito, seorang advokat di Pontianak, juga turut di dalamnya. Dari wartawan, termasuk Nur Iskandar, pemimpin redaksi harian Borneo Tribune maupun beberapa wartawan dari Pontianak Post maupun Tribune Pontianak.

Namun barisan ini paling banyak melibatkan aktivis Pontianak. Ada aktivis Dayak Kris Atok. Maupun Hermayani Putera, Pahrian Siregar, Faisal Riza, Yohanes Supriyadi, Deman Huri Gustira, Ahmad Shiddiq, Pay Jarot Sujarwo, Rizal Adriyanshah dan sebagainya. Tampak pula para aktivis perempuan, Padmi Tjandramidi, Laili Khairnur, Indah Lie, Sapariah Saturi Harsono, Siti Lutfiyah, Dwi Syafriyanti, Rizawati, dan lainnya.

"Seruan ini melibatkan individu namun mereka datang dari ragam-ragam background. Ada orang Dayak, ada Melayu, juga banyak Madura, Tionghoa, Batak, Flores dan sebagainya. Semuanya warga yang punya commitment terhadap masa depan Kalimantan Barat, yang damai serta berlandaskan hukum," kata Nur Iskandar.

Menurut Asriyadi Alexander Mering, salah seorang penyeru dari Tribune Institute, ide membuat seruan bermula dari keprihatinan mereka ketika terjadi perkelahian antara orang Tionghoa dan Melayu di Tanjung Raya saat bulan puasa. Masalah perseorangan memancing kerumunan besar. Diskusi lewat Facebook mendorong mereka merumuskan seruan.

"Rapat-rapatnya seru. Saya bikin analogi. Kalimantan Barat ini ibarat orang sakit. Kekerasan adalah penyakitnya. Sekarang mau dioperasi, diobati, atau dibiarkan sakit terus?" kata Mering. “Waktu melakukan operasi memang sakit, pasti sakit dan mengerikan, tapi setelah itu akan sembuh.”

“Prosesnya menarik, karena orang Dayak merekomendasikan orang madura, orang Madura merekomendasikan orang Dayak atau Melayu dan sebaliknya,” kata Mering.

Mereka juga minta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Cornelis membentuk komisi independen guna menyelidiki pembunuhan besar-besaran pada tahun 1967, 1997 dan 1999.

“Hingga hari ini masih banyak orang-orang Madura belum bisa mendapatkan tanah-tanah mereka di Sambas. Para keluarga korban juga masih menunggu keadilan dan kebenaran,” kata Subro, direktur Mitra Sekolah Masyarakat, sebuah organisasi pendidikan dan dialog lintas budaya.

"Kami percaya selama orang belum bisa belajar dari masa lalu, orang-orang yang dulu melakukan pembunuhan, juga takkan takut untuk bikin pengerahan lewat etnik, budaya atau agama, dan melakukan kekerasan lagi. Selama kebenaran dan keadilan tidak ditegakkan, selama itu pula kita tidak mengerti bagaimana hidup damai dalam persaudaraan yang tulus."

Beberapa peneliti internasional menilai Kalimantan Barat sebenarnya adalah wilayah perang. Perang di Kalimantan Barat, sejak zaman konfrontasi Indonesia dengan Malaysia pada 1960an, sering disebut sebagai "hidden war" atau "perang tersembunyi." Ini beda dengan perang Aceh sebagai "perang gerilya" atau Papua sebagai "secret war" atau "perang rahasia." Perang di Kalimantan Barat lebih kurang diperhatikan daripada peperangan di Aceh, Papua maupun Timor Timur. Hubungan antar etnik di Kalimantan juga termasuk peka sekali. Pembunuhan ribuan orang Tionghoa dan Madura, antara 1967 hingga 2000, masih menyisakan banyak masalah.

-- Kartun-kartun oleh Koesnan Hoesie

Link soal Seruan Pontianak
Kliping Berita
Background

25 comments:

Yauma Yulida H. said...

Bang, saya mendukung gerakan ini. Saya juga membaca berita lain dari Antara, Pontianak, tepatnya Kompas.com Regional yang menyatakan keberatan beberapa pihak tentang disebutkan jumlah korban. Saya merasa ini agak aneh. Karena fakta yang dibeberkan dalam seruan ini. Saya yakin orang sekaliber Bang Andreas dan Bang Nur Iskandar tentulah tidak sembarangan. Saya perhatikan kalimat yang dalam iklan pun tidaklah provokatif karena tidak menyebutkan etnis yang dianggap melakukan tindakan tersebut.

andreasharsono said...

Kami memakai data-data yang cukup konservatif dari laporan Human Rights Watch maupun penelitian Jamie Davidson. Kami ingin angka-angka itu bicara seraya menyerukan kepada semua warga Kalimantan Barat untuk melawan cara berpikir dengan kekerasan.

Unknown said...

andreas harsono yang sudah mulai gila. yang akan mati karena kegilaan yang diciptakannya. mati tak wajar, karena melibatkan 70 orang dalam aksi penanya. tapi andreas harsono tidak menulis namanya sebagai penggagas mengenai seruan damai. apa karna andreas harsono orang cina, makanya dia jadi begitu, memiliki dendam etnis. seorang terdidik yang gila dan kehilangan akal sehat dan rasionalitas. aku hanya bisa menunggu kabar andreas harsono mati tak wajar.

jord said...

bahwa "akar kekerasan" di Kalimantan Barat adalah pembantaian kurang lebih 3,000 orang Tionghoa pada 1967. Pada 1997, sekitar 600 warga Indonesia etnik Madura dibunuh di Sanggau Ledo. Pada 1999, setidaknya 3,000 khususnya orang Madura dibantai dan 120,000 melarikan diri dari Sambas.

YANG PERLU KALIAN INVESTIGATE ITU AKAR PERMASALAHANNYA KENAPA ITU SAMPAI TERJADI.

PERMASALAHAN YANG TERJADI JUGA TIDAK SESEDERHANA SEPERTI YANG ANDA2 SEKALIAN PIKIR.JADI JANGAN ASAL NGOMONG.

PADA DASARNYA ORANG KALBAR ITU ORANG YANG SANGAT MENCINTAI PERDAMAIAN.GAK MAU RIBUT, GAK MAU BANYAK BACOT...

JUSTRU YANG SUKA MEMBUAT RIBUT ITU ORANG2 SEPRTI KALIANLAH, ORANG2 YANG SETENGAH-SETENGAH (SETENGAH PINTAR-SETENGAH BODOH,SETENGAH GILA-SETENGAH WARAS).

SEMUA ORANG YANG WARAS PASTI CINTA DAMAI.

ORANG YANG CINTA DAMAI PASTI PUNYA KASIH.

ORANG YANG PUNYA KASIH PASTI PUNYA TUHAN.

KO UDAH PUNYA TUHAN YA PERTEBALLAH IMAN MASING-MASING.

BEGITU JUGA TOKOH-TOKOH AGAMANYA,TUGAS KALIANLAH ITU DIBANTU DENGAN MASING2 MANUSIANYA.

KALAU IMAN TIPIS,BERBUIH-BUIH PUN MULUT KALIAN MENYERUKAN DAMAI GAK BAKALAN BISA XXXX...

INTINYA ADAKAN DIALOG ANTAR AGAMA.

MASING2 TOKOH AGAMA JANGAN PERNAH MENYERUKAN SESUATU YANG BERBAU PROPOKASI KEPADA UMATNYA TERHADAP UMAT LAIN.

YANG PENTING KALIAN SAMPAIKAN KEPADA UMAT MASING2 ADALAH MEMPERTEBAL IMAN....

LUKA YANG SUDAH MAU SEMBUH JANGAN DIKOREK-KOREK LAGI, NANTI INFEKSI DAN BERBAHAYA....

Yauma Yulida H. said...

@jord: Anda sedang bicara untuk siapa? Mendukung atau menolak? Bukankah seruan pontianak (kalau anda sudah membaca) juga meminta adanya penyelidikan akar konflik tersebut. Kalau anda mau kasus ini diusut, tentu saja anda mendukung kisah laama itu dibuka untuk disembuhkan kembali.

Albertus Batara Budi, Ir said...

Saya mencermati SEMANGAT dari SERUAN PONTIANAK tersebut baik, tapi bahasa iklan dan isinya kurang objektif dan holistik serta kontek dan contentnya bias.

Saya ambil contoh bahwa akar masalah kekerasan di Kalimantan Barat salah satunya adalah pembantaian kurang lebih 3,000 orang Tionghoa pada 1967.

Secara tersurat orang Tionghoa di bunuh oleh orang Dayak pada waktu itu, kenapa???.

Karna ini konflik tentunya korban tidak hanya sepihak tetapi keduabelah pihak, kenapa korban dari orang Dayak, Melayu, TNI, POLRI dan masyarakat sipil lainnya tidak dicantumkan dalam seruan tersebut? Dan apa maksud dari seruan ini?

Kalau berdasarkan referensi dari pelaku sejarah yang saya dapatkan justru orang Tionghoa dan Dayak menjadi korban dari kekuasaan rezim orde lama dan konteknya dalam rangka konfrontasi(perang) antara Indonesia dan Malaysia(Serawak), karena kepentingan politik Nasional, regional dan Internasional(kekuatan komunis dan kekuatan barat/liberalism pada waktu itu).

Begitu juga dengan konflik-konflik etnis maupun agama yang terjadi di Bumi Kalimantan, Khususnya Kalimantan Barat selama ini.

Menurut saya, karena disebabkan oleh politik rezim yang berkuasa pada waktu itu (kasus 1997 dan 1999)dan kondisi sosial serta ekonomi masyarakat.

Jadi, saya mau mengatakan bahwa salah satu akar masalah kekerasan di Kalimantan Barat bukanlah yang dikatakan sangat tendensius pembantaian etnis Tionghoa, tetapi karena politik rezim orde lama untuk menguasai Malaysia(Serawak) pada waktu itu.

Setiap wilayah terdapat potensi konflik, dan konflik dapat saja terjadi diwilayah manapun dan kapanpun serta oleh siapapun yang mempunyai kepentingan terhadap wilayah tersebut.

Konflik tidak selamanya negatif, tetapi juga ada yang positif, tergantung siapa yang mengelolanya.

Kalau kita melihat sejarah bangsa-bangsa, bagaimana suku Indian tertindas oleh rezim pemerintahan amerika?, suku aborijin dengan rezim pemerintahan australia?, suku Dayak Iban di serawak dengan rezim kerajaan Brunei dalam memperebutkan tanah Serawak, jepang di bom oleh amerika, rasialis kulit hitam dan kulit putih di amerika dan afrika, anti pendatang dari luar di Prancis dan banyak lagi?

Jadi disini kita bertanya, apa hakekat dari Anti Kekerasan dan Perdamaian serta Keadilan itu?

Apalagi dikatakan bahwa wilayah Kalimantan Barat, adalah wilayah perang? Saya katakan, bisa ya, bisa tidak, tergantung siapa yang punya kepentingan dan untuk apa serta siapa yang melakukan manajemen konflik?

Rakyat Kalimantan Barat dengan segala kebudayaannya yang mendiami suatu wilayah sejak zaman dahulu hidup damai dan saling toleransi.

Memang sebagai mahluk Tuhan mempunyai naluri emosional yang alami yang dimiliki sejak lahir yaitu marah, sedih, suka, dll tetapi secara alami, bukan dibuat-buat.Sebagai contoh : manusia lapar pasti akan mencari makanannya, ketika makanannya diambil orang lain, pasti dia akan marah.

Jadi, akar masalah konflik-konflik di Kalimantan Barat adalah soal kemiskinan, kebodohan, dan keadilan. Siapa yang membiarkan rakyat Kalimantan Barat, miskin, bodoh dan adanya ketidakadilan?.

Dan akibat dari hal tersebut,maka terjadilah kasus-kasus seperti Kasus Ambon, Kasus Poso, Kasus Papua, Kasus Sampit dan lain-lainnya.Siapa yang mempunyai kepentingan dalam kasus-kasus itu? dan Siapa yang menjadi korban?

Jadi, apa sebenarnya akar masalah konflik-konflik tersebut?.Dan siapa yang menciptakan konflik-konflik tersebut? Dan untuk kepentingan siapa? serta ideologi apa yang digunakannya?.

Benar atau salah Kalimantan Barat, bagian dari NKRI.Mari kita perbaiki kekurangan-kekurangan bangsa kita dengan potensi dan kemampuan bangsa kita.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu ingat akan sejarahnya.

Money Maker said...

adanya SP ini malah akan menyulut api dan luka baru...

pikir dulu donk sebelum bertindak...

yg namanya konflik antar etnis itu mbikin trauma tau....

Admin said...

saya mendukung seruan pontianak... masalah 3000 orang china dbantai itu mungkin bisa dimaafkan jika hanya terjadi di masalalu saja... tapi nyatanya,,, kekerasan juga menimpa orang madura... ini menandakan bahwa suku asli memang suka kekerasan... sudah sepatutnya diusut demi keadilan... nanti anda baru akan merasakan kalau ada orang jawa dibantai... orang sumatera dibantai... orang sulawesi dibantai... sikap suku asli yang semacam itu tidak hanya di Kalbar... kalteng dan Kaltim juga... bang andreas jangan takut mati... berjalan terus dijalan yang lurus... mati itu urusan tuhan....salam dari Kalimantan Timur...

Unknown said...

Apapun seruan dan gerakan untuk kedamaian sangat saya dukung, ... tapi apa yang telah dicetuskan pada topik akar kekerasan di Kalbar belum dilihat secara mendalam, ... karena hal-hal dimana konplik terjadi tentunya ada sebab musabab, jalur hukum memang sudah ditempuh... tapi adakah penegak hukum yang memberikan keadilan. Apapun juga seruan dengan segala keinginan seharusnya jangan terlalu pulgar, hal ini juga dapat menyulut timbulnya masalah baru.
Kami sebagai warga yang pernah mengalami hal yang terjadi dulunya merasa sering dirugikan. Saya berpesan untuk topik semacam ini janganlah dibuat seperti ini, alangkah baiknya dalam forum kedamaian, tatap muka untuk penyelesaian, untuk para penulis topik tersebut saya harapkan anda memuat data jangan hanya sepihak.

Florentinus Salassaga said...

Apapun bentuk Seruan dan gerakan untuk kedamaian sangat saya dukung tetapi apa yang telah dituliskankan pada topik akar kekerasan di Kalbar belum dilihat secara mendalam karena sangat kompleks dan penuh dengan muatan politik jadi kita tidak boleh mengatakan bahwa "akar kekerasan" di Kalimantan Barat adalah pembantaian kurang lebih 3,000 orang Tionghoa pada 1967. Pada 1997, sekitar 600 warga Indonesia etnik Madura dibunuh di Sanggau Ledo. Pada 1999, setidaknya 3,000 khususnya orang Madura dibantai dan 120,000 melarikan diri dari Sambas. "Kami punya kesan negara Indonesia membiarkan akar kekerasan merasuk semakin dalam" sebagai penetauan yang bersifat fakta yng dilupakan :
1. pembantaian etnis Tionghoa 1967:
Hal ini "bukan merupakakan kekerasan etnis murni", tetapi merupakan penumpasan Pasukan Gerakan Rakyat Sarawak/Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/PARAKU)oleh pemerintah Indonesia yang melibatkan Suku Dayak.(sumber : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/39742)

2. ingat kerusuhan 1997 ini merupakan kerusuhan yang kesekian kalinya , saya masih kelas 1 SMP pada saat itu dan kerusuhan itu terjadi 12 tahun lalu ???, apa yang mayoritas penduduk Kalbar tahu??? kerusuhan etnis murni yang meluas hingga ke Kabupaten Sanggau Kapus ini hanya di picu karena perkelahian antar pemuda di Sanggau Ledo..(sumber : http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/03/02/0029.html) ??? ha5... bukan hanya itu sob... kisah ini rahasia umum yang tidak terkuak, di wilayah kab. Landak sekarang (dulunya kab. pontianak) pada tahun 1997, seperti terkoordinir & terencana, di mana tokoh2 besar org Dayak di wilayah tersebut jadi target penculikan & pembunuhan, krn dianggap sebagai penghambat penyebaran dan perkembangan mereka di wilayah tersebut, dll. rencana ini ketahuan 2 minggu sebelum puncak kerusuhan 1997 oleh suku Dayak, untuk jelasnya bisa di baca pada buku DAYAK SAKTI penulis Edi Patebang

3. kerusuhan Sambas 1999:
Merupakan konflik etnis murni yang mulanya antara Melayu dan Madura, kemudian melayu dibantu oleh Dayak karena adanya korban dari pihak dayak yang diakibatkan pihak madura(sumber: http://www.dephan.go.id/fakta/p_sambas.htm)

kerusuhan/perang bisa terjadi di mana2 baik dalam skala suku maupun negara, hal ini semua terjadi karena kepentingan, dan ada yang memicu...
contoh:
cobalah pikir ini dalam konteks negara ada tentara negara A mati tertembak tentara negara B otomatis kedua negara tersebut akan melakukan perang, apa lagi bila sejarah kedua negara tersebut memeng sering berseteru..

begitu juga halnya suku2 yang ada
karena suku merupakan bentuk dari negara primitif sebelum ada negara modern seperti sekarang

Ingatlah "Tiada Asap jika tiada Api"
"tidak ada akibat jika tidak ada sebab"

ADIL KA' TALINO
BACURAMIN KA' SARUGA
BASENGAT KA' JUBATA

AUUUUU....'

kenzlive said...

Saya tidak setuju kalau orang dayak dikatakan suka kekerasan. Tapi sbaliknya org dayak sangat menjunjung tinggi kedamaian. Buktinya org yg datang disambut dgn ramah, bahkan ada yg diangkat menjadi saudara. Tapi kalau org dayak udh marah, sangat kompak dan bisa lebih buas dari singa. Orang dayak sudah sering disakiti! Jadi jgn terus menerus menyalahkan orang dayak. Udh cukup tanahnya dirampas, kebudayaannya diinjak2 oleh org yg tdk btanggung jwab, dan selalu dibodoh2i. Jangan lagi ditambah dgn hal lainnya!

iwandjola said...

Hallo Bang Andreas. Saya sependapat dengan Albertus Batara tenang ini : Semangatnya positif.

Tapi memang ada beberapa poin yang bisa dikoreksi kembali terutama masalah "akar" itu. Sungguhkah itu pada 1967? apakah itu murni gerakan massa Dayak atau gerakan suatu institusi yang berada dibelakang dan hanya memakai "Dayak"? Anda tahu bahwa dalam bahasa Kanayant orang Cina disebut Sobat?

Wah,...komentarnya bung Musthofa Bisri...hebat sekali. Suku asli memang suka kekerasan?

Untuk Bung Musthofa:
1. Terima kasih
2. Anda belum cukup mengenal kami.

Saya sependapat bahwa kita memang harus melawan cara berpikir dengan kekerasan.Kita harus nmau dan berani berdialog,membicarakan hal "luka" yang paling perih sekalipun untuk tidak membuat luka yang lain.
Salam Bang,...

andreasharsono said...

Bung Iwan,

Ada dua kekerasan awal terjadi di Kalimantan Barat pada abad 20. Anda tentu ingat pembantaian di Mandor 1943-1944 dimana ribuan orang terpelajar dibunuh oleh tentara pendudukan Jepang. Ini sebuah kekerasan. Para pelaku serdadu Jepang dan mereka meninggalkan Kalimantan sesudah Perang Dunia II. Artinya, para pelaku tidak menetap disana.

Pembantaian besar berikutnya terjadi pada 1967 saat terjadi perlawanan dari PGRS dan Paraku, yang mulanya dilatih oleh tentara Soekarno, kini melawan tentara Soeharto. Perlawanan itu berimbas pada pembersihan orang Tionghoa dari pedalaman Kalimantan. Ada beberapa analisis mengacu pada kekerasan ini sebagai "akar kekerasan" di Kalimantan Barat.

Kalau Anda tertarik mendalami isu ini, saya usul Anda ikut diskusi2 di tempat Kristianus Atok di Siantan. Mereka punya banyak penelitian. Kris sendiri menulis beberapa buku soal kekerasan etnik di Kalimantan Barat. Subro dari Mitra Sekolah Masyarakat juga orang yang banyak membaca soal kekerasan di Kalimantan Barat. Terima kasih.

cahcah said...

Saat ini kami Melayu, Dayak, Cina memang lagi diuber2 oleh politik. Selama ini memang banyak peristiwa yang nyaris memecahkan keberagaman kami. Tapi kami berupaya untuk meredam emosi yang bergejolak. Sebab kami sadar toh nantinya akan merugikan anak cucu kami. kami Melayu, Dayak dan cina adalah suku bangsa yang unik di Kalbar. Kami sadar ada upaya lain yang ingin memecah belah kami, sebagai suku bangsa yang terkuat di Kalimantan Barat.
Kalian tahu dari dulu kami hidup rukun dan damai, tapi setiap ada pendatang baru , selalu ada saja sentimen- sentimen dan upaya untuk memecah belah.
Saya orang Melayu, nenek buyut saya dulu juga adalah orang dayak, setelah masuk Islam baru, mereka dikatakan orang Melayu. Sedangkan Cina, kami tidak punya masalah dengan mereka.Karena yang banyak membantu perekonomian di daerah kami.
Peristiwa Sambas. kenapa“Hingga hari ini masih banyak orang-orang Madura belum bisa mendapatkan tanah-tanah mereka di Sambas ? Sebab tanah- tanah yang mereka peroleh adalah hasil dari paksaan. Berapa banyak tanah orang Melayu yang mereka garap dulu diambil dengan mengacungkan celurit.

Pada dasarnya kami ini adalah Melayu, Dayak, Cina adalah suku bangsa yang baik, baik kepada siapa saja yang datang kalbar. tapi kebanyakan pendatang salah menafsirkan kami. Catat pepatah kami dimana bumi dipijak disitu langit dijunjong.

cahcah said...

Saat ini kami Melayu, Dayak, Cina memang lagi diuber2 oleh politik. Selama ini memang banyak peristiwa yang nyaris memecahkan keberagaman kami. Tapi kami berupaya untuk meredam emosi yang bergejolak. Sebab kami sadar toh nantinya akan merugikan anak cucu kami. kami Melayu, Dayak dan cina adalah suku bangsa yang unik di Kalbar. Kami sadar ada upaya lain yang ingin memecah belah kami, sebagai suku bangsa yang terkuat di Kalimantan Barat.
Kalian tahu dari dulu kami hidup rukun dan damai, tapi setiap ada pendatang baru , selalu ada saja sentimen- sentimen dan upaya untuk memecah belah.
Saya orang Melayu, nenek buyut saya dulu juga adalah orang dayak, setelah masuk Islam baru, mereka dikatakan orang Melayu. Sedangkan Cina, kami tidak punya masalah dengan mereka.Karena yang banyak membantu perekonomian di daerah kami.
Peristiwa Sambas. kenapa“Hingga hari ini masih banyak orang-orang Madura belum bisa mendapatkan tanah-tanah mereka di Sambas ? Sebab tanah- tanah yang mereka peroleh adalah hasil dari paksaan. Orang Melayu tak berani mengambil tanah yang mereka garap karena diacungi celurit.

Pada dasarnya kami ini adalah Melayu, Dayak, Cina adalah suku bangsa yang baik, baik kepada siapa saja yang datang kalbar. tapi kebanyakan pendatang salah menafsirkan kami. Catat pepatah kami dimana bumi dipijak disitu langit dijunjong.

ais said...

iya bener negara kita kan negara hukum, jadi segala pemasalahan yang terjadi biarkan hukum yang menentukan

Rusa Bawean said...

hmmm
keras banget yaaa

sungguh menakutkann
:(

RuthImmanuel said...

Saya ingin melihat masalah ini dari sisi yang berbeda. Tidak hanya di Kalimantan, kekerasan yang mempersoalkan etnik, agama, dst seperti ini juga terjadi di kota2 Indonesia yang lain. Tidak perlu saya sebutkan contohnya lah, kita semua sebagai orang Indonesia tahu.

Saya selalu berpikir apakah hal2 seperti ini diakibatkan oleh karena kekurangan pengertian hukum, resesi ekonomi individual yang makin terpuruk ataukah yang lain? Sebab kalau dipikir2, masih banyak hal2 yang masih bisa dilakukan yang membawa dampak yang lebih baik. Alangkah baiknya kalau energi, upaya dan kerja keras yang digunakan untuk melampiaskan kekerasan itu digunakan untuk mencari nafkah, membantu orang sekitar atau menimba ilmu untuk hidup yang lebih baik. Tidakkah demikian seharusnya?

Saya interested dengan pemikiran2 yang lain.


Terima kasih.

"At the center of non-violence stands the principle of love."
- M. Luther King Jr.
http://www.quotepotato.com/quotes/at-the-center-of-non-violence-stands-the-principle-of-love

RuthImmanuel said...

-Maaf tdk bermaksud untuk dbl post. Ini post yg lebih pantas-

Saya ingin melihat masalah ini dari sisi yang berbeda. Tidak hanya di Kalimantan, kekerasan yang mempersoalkan etnik, agama, dst seperti ini juga terjadi di kota2 Indonesia yang lain. Tidak perlu saya sebutkan contohnya lah, kita semua sebagai orang Indonesia tahu.

Saya selalu berpikir apakah hal2 seperti ini diakibatkan oleh karena kekurangan pengertian hukum, resesi ekonomi individual yang makin terpuruk ataukah yang lain? Sebab kalau dipikir2, masih banyak hal2 yang masih bisa dilakukan yang membawa dampak yang lebih baik. Alangkah baiknya kalau energi, upaya dan kerja keras yang digunakan untuk melampiaskan kekerasan itu digunakan untuk mencari nafkah, membantu orang sekitar atau menimba ilmu untuk hidup yang lebih baik. Tidakkah demikian seharusnya?

Saya interested dengan pemikiran2 yang lain.


Terima kasih.


"At the center of non-violence stands the principle of love."
- M. Luther King Jr. at
Martin Luther King Quotes

Sanjaya said...

yah,namanya perbedaan,banyak suku susah ngaturnya , Indonesia memang negara besar dan akan hebat jika bisa benar-benar menyatukan pendapat ,ayo maju indonesia

salam kenal pak,
blogku:green tea

kacamatabening said...

Kata kuncinya kan 'persoalan perseorangan janganlah dijadikan komunal' baik dari sisi suku,agama atau apapun juga. Apakah tak ada institusi hukum di Kalbar?

Tak adakah yang menangkap pesan itu,begitu sulitkah untuk dipahami ?

Nini said...

kok sy ga pernah denger tentang masalah ini ya?

http://singkawang-myhometown.blogspot.com/

Griya Mobil Kita said...

semoga kedamaian tercipta di Indonesia

mawardi said...

Salam kenal, menurut saya tradisi yang ada bau kekerasan sebaiknya tidak di teruskan, sebab pengaruhnya untuk masa depan generasi muda amat berbahaya

Nats said...

Masalah di kalbar emang takkan ada habisnya, isi seruannya yang mungkin menurut saya juga provokatif...

Kapan Kalbar damai???