Monday, November 14, 2005

Hotel di Ambon

Mulanya, aku memilih tinggal di Hotel Ambon Manise, biasa disingkat Amans. Aku kira aku perlu tinggal di daerah perbatasan. Kebetulan, Amans terletak di daerah Mardika dan Batumerah, masing-masing Kristen dan Islam, walau ia terkadang dianggap hotel Muslim. Ini juga rekomendasi seorang kenalan wartawati Ambon.

Ini penting karena Ambon kota yang pecah berdasarkan agama sejak “kerusuhan” Kristen-Islam meledak pada 19 Januari 1999. Aku ingin berada dimana akses mudah kepada kedua kelompok walau aku benci sekali dengan pengelompokan ini.

Amans bintang tiga. Ia terletak di daerah Pasar Mardika. Ada kolam renang. Brosurnya menggambarkan air biru serta pancuran dari patung ikan lumba. Menggoda untuk berenang. Ternyata kolam renang ini sudah bertahun-tahun tak dipakai. Airnya hijau kehitaman.

Harga kamar standar Rp 240,000 semalam. Double bed. Ada bathtub. Air panas mengalir lancar. Pemandangan bisa melihat laut. Aku bisa lihat motor tempel (speed) lalu lalang antara pelabuhan Galala, Benteng dan sebagainya. Juga ferry besar dari Pulau Buru, Kepulauan Kei dan lain-lain.

Masalah timbul dari becak. Amans terletak agak jauh dari daerah perkantoran. Aku harus naik becak ke harian Suara Maluku, Ambon Ekspres, kantor-kantor kejaksaan, pengadilan, gubernur dan sebagainya. Sekali naik Rp 5,000. Sehari aku bisa naik turun becak enam kali. Lumayan jadi Rp 30,000.

Hari kedua, aku meneriwa tawaran seorang tukang becak agar ia menunggu. Aku kasihan. Peluhnya bertetesan. Aku terima tawaran itu. Maka sesiangan ia antar aku ke tempat-tempat aku ada wawancara dan urus izin sana sini. Ia minta Rp 65,000 untuk enam tarikan! Ini pemerasan!

Beberapa sumber juga memilih ketemu di restoran Hotel Mutiara. Ia terletak dekat kantor gubernur dan Gereja Maranatha milik Gereja Prostestan Maluku, organisasi keagamaan terbesar di Maluku selatan.

Aku putuskan pindah hotel. Tapi Hotel Mutiara penuh. Aku cari dekatnya, Hotel Manise, bintang tiga, Rp 250,000 standar semalam (single bed). Manise terletak di Jl. W.R. Supratman.

Alamak! Ternyata tak ada jendela. Seorang room boy bilang hanya kamar deluxe yang pakai jendela. Pengap sekali. Aku juga lihat kecoak di lorong depan kamar.

Amans jauh lebih bersih dan baik daripada Hotel Manise. Akhirnya, aku pindah ke Mutiara begitu ada kamar kosong. Ia cuma bintang dua dan Rp 350,000 semalam. Air panas tak terlalu panas tapi kamar bersih. Single bed. Ada jendela. AC juga tak berisik.

Di Hotel Mutiara, sempat bersua dengan Des Alwi, anak angkat Sutan Syahrir, pemikir Minangkabau terkemuka, ketika ia dibuang pemerintah Belanda di Pulau Banda pada 1936-1942. Des Alwi juga pernah gabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia untuk menjatuhkan Presiden Soekarno pada 1950-1960-an. Des Alwi langganan Hotel Mutiara bila singgah di Ambon. Aku pernah wawancara Des beberapa kali.

Kal Muller dalam buku guide turis Maluku: Indonesian Spice Islands terbitan Periplus juga rekomendasi Hotel Mutiara. Aku setuju dengan Muller. Buku ini terbit 1997, sebelum pertikaian antar agama, meledak dan membuat ambruk Maluku. Namun isinya banyak yang relevan. Buku ini aku pakai untuk petunjuk jalan-jalan di Ambon, Ternate, Tidore, Halmahera pada November ini.

3 comments:

Anonymous said...

Masih ada patung Christina Martha Tiahahu pak? Dari sana melihat teluk Ambon indah sekali. Atau dari daerah Amahusu. Sial jadi ingin sekali melancong ke Ambon kembali.

Anonymous said...

Kasihan Manise Hotel koq jadi seperti kurang terurus gitu ya? wah manajemennya harus adakan controlling terus, pasalnya bokapQ dulu kerja juga disana.

Anonymous said...

wah koq Manise Hotel jadi seperti yang kurang terurus gitu ya...padahal dulu termasuk salah satu yang favorit sebelum kerusuhan, pasalnya bapakQ dulu kerja lama disitu. Krisdayanti n terakhir Bp. Wiranto pernah bermalam disana. jadi kangen pengen kunjungi ambon lagi