Ketika belajar jurnalisme di Universitas Harvard, saya sering dapat buku bacaan dari Bill Kovach, salah satu dosen saya. Temanya, macam-macam, dari dinamika ruang redaksi --The New York Times soal liputan Pentagon Paper atau Washington Post soal Watergate-- sampai kartun-kartun yang cerdas dari majalah The New Yorker.
Jadinya, saya juga belajar soal desain surat kabar. Bagaimana memilih font? Kenapa
The New Yorker pakai Garamond? Mengapa Times New Roman mudah dibaca? Bagaimana menilai kelancipan setiap font? Kalau font buat judul? Buat sub-judul? Berapa jumlah font dalam setiap naskah? Beda naskah berita keras dan feature? Kenapa kertas sebaiknya warna putih --kecuali
Financial Times dengan warna salmon-- juga hasil riset soal keterbacaan, desain halaman tidak boleh berupa "padang pasir" sampai kartun dan grafis buat daya tahan mata.
Saya jadi belajar bahwa desain berita (news design) pada dasarnya memerlukan perataan kiri. Istilahnya, left alignment agar mata tak cepat lelah, menyesuaikan dengan aksara Latin, dibaca dari kiri ke kanan, menghindar dari kemungkinan spasi yang tak perlu dalam body text.
"Buat tukang layout, rata kiri itu pekerjaan paling menyenangkan," kata Sijo Sudarsono, redaktur desain majalah Pantau, kini banyak mendesain buku.
"Dari (Microsoft) Word di-place selesai, bersih, tak perlu pemenggalan."
Kalau harus dibuat rata kiri dan kanan, maka ia harus dibuat padat, banyak pemenggalan kata dengan tanda sambung. Pertimbangannya, kolom juga tak boleh terlalu lebar sehingga satu halaman koran atau majalah bisa dibuat beberapa kolom. Ia makan waktu, makan tenaga.
"Bila layout buku, lebar 10 sampai 11 centimeter, pemenggalan bikin hemat kertas, setiap halaman bisa hemat satu baris."
Di Harvard, Bill Kovach memperkenalkan saya pada
Society of News Design, sebuah masyarakat desainer berita, berdiri sejak 1979, yang kebanyakan beranggotakan desainer surat kabar. Kovach mengingatkan bahwa wartawan perlu belajar desain agar berita mereka "enak dibaca."
Ketika bekerja buat majalah Pantau, Sijo Sudarsono beberapa kali membeli buku para pemenang desain surat kabar terbitan SND. Sijo tentu menerapkan desain-desain yang tenang, mudah dibaca, dalam majalah Pantau. Kami berdua memang bekerja buat majalah Pantau selama beberapa tahun.
Ketika media online mulai bermunculan, SND juga menganjurkan perataan kiri agar muda terbaca mata. Pendapat mereka tentu banyak diikuti di Amerika Serikat, juga di berbagai negara lain, mengingat pengaruh berbagai buku terbitan SND. Mudah sekali google dan tanyakan mengapa news design perlu rata kiri.
Ada beberapa alasan yang sering muncul soal perataan kiri.
- Perataan kiri membuat garis vertikal yang selaras dan mudah dilacak. Ia menyederhanakan gerakan mata, sehingga memudahkan mata untuk mengikuti barisan huruf, dibandingkan dengan perataan tengah atau rata kanan.
- Pendekatan ini meningkatkan daya tahan membaca, terutama pada naskah yang panjang, serta memastikan kejelasan dan kenyamanan. Lawannya, bila hendak pakai rata tengah atau rata kanan, sebaiknya mereka dipakai buat judul, sub judul atau pull quote, semuanya pendek-pendek tentu.
- Perataan kiri menciptakan tepi kanan yang "kasar" tapi tepi kiri lurus. Dalam media online, perataan kiri menghindarkan pembaca dari kemungkinan naskah terpental ke sana ke mari terkait pemakaian alat baca yang berbeda, antara telepon genggam sampai laptop, desk computer, maupun tablet.
- Dalam bahasa yang membaca dari kiri ke kanan, seperti bahasa Indonesia, orang secara alami memindai teks dalam "pola F", bergerak ke bawah sisi kiri halaman. Perataan kiri sangat sesuai dengan perilaku ini.
- Margin kiri membantu mereka yang memiliki kesulitan visual atau menggunakan alat bantu baca, termasuk kaca pembesar, untuk mengikuti teks.
- Teks di surat kabar, buku, dan artikel online sebagian besar rata kiri termasuk media utama macam The New York Times, The New Yorker dan sebagainya.
 |
Tata letak website majalah The New Yorker dengan rata kiri. |
Ketika kembali ke Jakarta tahun 2000, Sijo Sudarsono dan saya sering diskusi soal desain majalah Pantau. Namun majalah ini tutup pada tahun 2003 ketika media online belum begitu marak. Dalam dua dekade berikutnya, media online dan media sosial meledak di mana-mana.
Saya perhatikan banyak sekali pakai rata kanan. Mungkin ini pengaruh dari dunia universitas dimana skripsi biasa dicetak dengan rata kanan. Mungkin pengaruh dunia kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dimana berbagai dokumen hukum dibuat rata kanan. Saya juga sering lihat media sosial, termasuk dari organisasi media, memakai rata kanan. Banyak lubang, banyak spasi bermunculan yang tidak perlu. Ia membuat keterbacaan menurun. Saya kira sudah saatnya mengubah kebiasaan rata kanan.
Desain berita, dalam pengertian naskah yang banyak hurufnya --termasuk skripsi, laporan hukum, maupun proposal dalam dunia bisnis-- seyogyanya dibuat rata kiri. Perubahan ini akan membuat tingkat keterbacaan naskah meningkat apalagi dalam laporan yang panjang.
Sijo juga mengingatkan saya bahwa berbagai program komputer dibuat kebanyakan dengan tata bahasa bahasa Inggris, termasuk hyphenation --pemenggalan kata. Dalam bahasa Indonesia, pemenggalan kata sering tak sesuai dengan kata dasar, awalan, sisipan maupun akhiran dalam tata bahasa Indonesia. Bisa resiko muncul kata-kata yang aneh bila perataan kanan.
Tanpa pemenggalan, seringkali naskah menciptakan spasi yang tak seragam, banyak lubang-lubang, yang cepat melelahkan mata pembaca. Ia juga menciptakan kesan tidak rapi.
Namun ledakan media sosial --Facebook, Twitter, Instagram dan sebagainya-- juga memunculkan berbagai penampilan rata kanan. Para pemain baru ini menciptakan meme atau grafis dengan rata kanan, tanpa pertimbangan keterbacaaan.
Di Indonesia, media utama, termasuk
Kompas dan
Tempo, memakai rata kiri buat website mereka. Ia tentu mengikuti hasil riset keterbacaan. Saya duga media warisan ini mewarisi kebiasaan desain dalam media cetak mereka.
Syahrinur Prinka, redaktur desain majalah
Tempo, yang juga karikaturis, biasa memberikan masukan kepada Pantau. Dia juga dosen Desain Komunikasi Visual dari Institut Kesenian Jakarta. Prinka memuji majalah Pantau karena naskah-naskah panjang dibuat tanpa "padang pasir" dengan cara memasukkan kartun-kartun kecil di setiap halaman yang melulu teks.
Di Tempo, Prinka terkenal karena suka bergurau. Prinka meninggal tahun 2004. Saya percaya jika Prinka melihat perkembangan naskah rata kanan di Indonesia, dari meme sampai skripsi, keusilannya bakal muncul agar orang belajar rata kiri. Bisa ditebak kemana arah gurauannya?