Friday, January 06, 2017

Menyelesaikan buku kekerasan etnik dan agama


Naskah A Nation in Name dan sarapan sereal.

Sebuah villa milik Robin Reuneker di lereng Gunung Salak jadi tempat saya menyelesaikan buku A Nation in Name: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia. Saya tinggal sendirian di villa. Pagi hari bangun dan membaca draft kemarin malam. Ini bisa makan waktu sampai 90 menit buat bikin koreksi di atas kertas. Saya lalu pergi jalan kaki atau senam.

Saya sarapan sambil membaca bahan lain buat memperbaiki draft. Ini berlanjut sampai makan siang sekitar tengah hari. Lantas siesta, tidur siang.

Sorenya sampai larut malam saya pakai buat mengetik. Saya biasa print naskah yang sudah saya kerjakan hari ini. Ia siap di meja buat saya baca pagi hari. Saya pergi tidur pukul 23.

Saya juga mengambil cuti dari Human Rights Watch selama empat bulan. Buku ini sudah tertunda delapan tahun. Mereka berbaik hati memberikan kesempatan saya menyelesaikan buku. Gaji dibayar penuh.

Suasana villa sepi. Hanya ada penjaga villa dan keluarganya. Setiap malam juga ada penjaga malam. Saya praktis hanya bicara dengan keluarga ini bila sedang menyepi.

Saya tentu harus turun ke Jakarta buat berbagai macam urusan. Namun saya berharap awal Januari ini buku sudah selesai. Saya akan kembali bekerja pada 16 Januari 2017.

Kegiatan lain adalah melihat alam dan ternak sekitar villa. Saya suka bantu memberi makan kambing. Saya juga jalan makin lama makin jauh sekitar villa.

Sekarang ide saya soal buku makin jernih. Saya membagikan secara geografis: Sumatera; Kalimantan; Jawa; Sulawesi; Kepulauan Maluku; Sunda Kecil; dan Papua Barat. Saya juga menulis pengantar buat menerangkan mengapa saya tertarik meneliti berbagai kekerasan atas nama agama dan etnik di Indonesia pasca-Suharto. Saya juga menulis epilog sebagai sebuah kesimpulan.

Buku ini adalah campuran antara cerita perjalanan dan resensi buku. Saya berjalan mula-mula tiga tahun, dari Pulau Sabang sampai Dili antara 2013 dan 2016. Perjalanan ini lantas tertunda delapan tahun khusus Papua Barat. Dana menipis dan saya harus bekerja.

Saya memakai berbagai perjalanan dinas Yayasan Pantau maupun Human Rights Watch buat memperluas wawasan saya soal Papua Barat maupun daerah-daerah lain.

Saya membaca sekitar 120an buku soal Papua Barat. Setiap bab memerlukan banyak bacaan. Saya tak mau dikritik hanya karena belum baca buku yang penting.

Selama perjalanan, saya membaca berbagai buku, baik buku akademik mapun pandangan berbagai tokoh di Indonesia, mulai dari Benny Giay, Markus Haluk dan Phil Erari (Papua Barat), Bert A. Supit (Minahasa), Hasan di Tiro (Aceh), John Bamba (Dayak), Jose Ramos-Horta (Timor Timur), maupun Mohamad Hatta, Mohammad Yamin, Sukarno dan Sutan Sjahrir.

Cukup banyak naskah akademik soal Aceh, Timor Timur, dan Papua Barat maupun soal Indonesia dan Islam. Namun daerah-daerah lain kurang sebanyak mereka. Saya mengandalkan karya Jamie Davidson soal Kalimantan, David Henley soal Minahasa, Gerry van Klinken soal kalangan Kristen. Saya juga memakai teori dari Benedict Anderson (soal nasionalisme) serta Bill Kovach (soal jurnalisme dan internet).

Saya wawancara sekitar 800 orang dalam tiga tahun pertama. Saya berhenti menghitung pada tahun keempat. Namun saya hitung berapa sumber saya meninggal dalam proses penulisan buku.

Ini termasuk Menteri Luar Negeri Sri Lanka Laksman Kadirgamar, yang saya wawancarai soal Tsunami Summit pada 6 Januari 2005 di Hotel Mulia di Jakarta. Kadirgamar, ethnik Tamil, bicara soal perundingan dengan Macan Tamil. Tujuh bulan kemudian dia dibunuh dengan tembakan jarak jauh depan rumahnya di Colombo.

Tsunami juga membunuh beberapa sumber saya di Aceh termasuk jurubicara Polda Aceh Sayed Hoesayni, reporter Taufan Nugraha dan anak pengemudi becak Liyan Ramli, langganan saya di Pulau Sabang.

Penyair Aceh Z. Afif, yang mengajar bahasa Aceh di Stockholm, meninggal 28 Oktober 2004. Pada 30 April 2006, novelis dan nasionalis Indonesia Pramoedya Ananta Toer meninggal di rumahnya di Utan Kayu, Jakarta, pada usia 81. Pramoedya memberikan waktu pada saya sebulan sebelum kepergiannya. Temannya, Benedict Anderson, meninggal pada 13 Desember 2015 di Batu, Jawa Timur. George J. Aditjondro, mentor saya, meninggal 10 Desember 2016 di Palu, Sulawesi Tengah.

Saya berharap buku ini segera terbit dan menjadi tambahan pengetahuan buat melihat proyek bernama Indonesia.

No comments: