Sunday, July 13, 2014

Pakai Nama Alay Bikin Susah Saat Kesusahan


Bunderan Hotel Indonesia di Jakarta dimana pendukung Jokowi dan Jusuf Kalla memasang spanduk merah, "Selamat Datang Presiden Baru." Saya mondar-mandir di beberapa stasiun televisi pada hari pemilihan presiden 9 Juli 2014. 

DARI penjara Cipinang, seorang kawan kirim pesan, minta bantuan saya memeriksa pledoi dia. Dia bilang dia harus bacakan pledoi pada sidang hari Selasa di pengadilan Jakarta Barat. Dia minta tolong agar saya baca dan sunting draft pledoi. Dia kuatir ada bagian yang lemah.

Dia merasa dijebak oleh polisi. Dia merasa nasibnya bakal jungkir-balik bila gugatan jaksa agar dia dihukum enam tahun penjara, dibenarkan hakim. Bila dia dinyatakan bersalah dan dihukum penjara, katakanlah, dua pertiga dari enam tahun atau empat tahun, dia akan kehilangan banyak hal.

Pekerjaan.

Calon isteri.

Nama baik dan entah apa lagi.

Mungkin juga kewarasan.

"I'm scared," katanya, lewat Whatsapp.

Sudah Minggu sore. Dia bilang saya hanya ada waktu tiga jam buat edit naskah 6,000 kata. Dia harus cetak dan berikan ke pengacara hari Senin.

Saya sedang sibuk. Ini hari-hari dimana sedang ada ketegangan soal hasil pemilihan presiden pada Rabu, 9 Juli 2014, dimana kedua kandidat --Prabowo S. Djojohadikusumo dan Joko Widodo-- sama-sama klaim mereka menang. Saya memberikan wawancara setiap hari, dari Al Jazeera sampai CNN, dari La Croix sampai Frankfurter Rundschau.

Selama sebulan, saya berkali-kali menyatakan kekuatiran saya soal quick count yang akan muncul pada hari pemilihan presiden. Majalah New Republic mengutip saya soal kemungkinan quick count dipakai buat klaim menang, "... that different polls will show different vote counts and that in the next 24 hours after the election either one or two will claim to be the winner. The margin of error is going to be bigger than the difference [in vote total].”

Tapi saya kerjakan juga. Kasihan. Saya percaya teman adalah mereka yang mau bantu saat susah.

Al Jazeera soal pemilihan presiden
Sekitar pukul 19.00 sesudah membatalkan janji mengantar anak ke Taman Ismail Marzuki, saya selesai sunting. Saya kirim ke email dia, yang dipakainya dalam penjara. Email tersebut tak pakai nama asli.

Tengah malam, dia bilang belum dia terima.

Saya tanya ada apa? Ternyata dia pakai email dgn nama lain. Sama-sama tanpa nama asli.

Saya bangun dari tempat tidur. Kembali nyalakan komputer dan kirim naskah tersebut ke email lain.


SAYA makin hari makin sulit mengerti dgn orang-orang yang pakai nama alay. Mengapa tak berpikir bila sedang dalam keadaan terjepit, nama alay tsb tak membuat orang lain bisa membantu mereka dengan cepat.

Dalam dua tahun ini, saya sering membantu orang, dari janda yang suaminya mati dibunuh dan dia sendiri luka bakar sampai orang yang harus klaim asuransi, namun bantuan terhambat dan terlambat gara-gara nama mereka tak konsisten dengan nama secara legal.

Baik nama lewat email. Nama dalam Facebook. Nama dalam rekening bank.

Dalam kasus si janda, nama suami dia juga alay.

Lengkaplah sudah. Dana buat operasi luka bakar tertunda sampai tiga bulan gara-gara harus urus dokumen yang beda.

Kasihan bukan?

Telepon genggam dalam penjara tentu barang terlarang. Kawan saya harus curi-curi untuk menelepon dan periksa email.

Eh ... dalam keadaan sangat mepet, alamat email dia ternyata tak sama dgn nama dia.

Dalam kesibukan berbagai interview, masih berpikir
bagaimana mengirim email dengan alamat yang benar.
Saya percaya pada transparansi. Saya tak suka sembunyi-sembunyi. Lebih baik saya tidak menulis status Facebook atau Twitter aneh-aneh bila saya tak lakukan verifikasi. Saya lebih suka pakai referensi dari media. Saya tak suka lempar batu sembunyi tangan. Saya juga tahu bahwa secara tanpa sadar banyak orang yang kurang puas dengan nama resmi dia. Mungkin kawan saya juga tak suka dengan nama resminya.

Saya bisa mengerti bila orang harus terkadang sembunyikan nama dia --misalnya sedang berada dalam penjara-- tapi saya tak habis pikir bila identitas tersebut ternyata dibikin ketika dia masih dalam keadaan bebas.

Saya bisa mengerti bila orang ikut gerakan bawah tanah dan pakai nama samaran. Tapi hari ini bukan zaman bikin gerakan bawah tanah. Indonesia sudah melewati rezim Soekarno maupun Soeharto.

Atau mau bikin hal yang wah lewat internet? Teknologi internet canggih. Ia bisa dipakai melacak email, Facebook, Twitter atau identitas elektronik lain walau tak pakai nama asli.

Jadi buat apa pakai nama alay?

Saya hanya kuatir bila sedang kesusahan, nama alay tak membuat orang cepat buat membantu kita.

No comments: