Tuesday, May 07, 2013

Interview: Benny Wenda dan Free West Papua di Oxford, Inggris


MAJALAH SELANGKAH -- Koordinator diplomasi internasional Papua Merdeka, Benny Wenda, bersama para simpatisan membuka kantor Free West Papua di Oxford pada 26 April 2013. Pembukaan kantor itu mendapatkan reaksi keras dari berbagai pihak di Jakarta. Secara resmi Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa memanggil Duta Besar Inggris Mark Canning untuk menyampaikan keprihatinan dari pemerintah Indonesia atas pembukaan kantor itu.

Nah, mengapa Benny Wenda dan simpatisan Papua Merdeka di Inggris secara bebas bisa membuka kantor Free West Papua di Oxford dengan dihadiri Wali Kota Oxford, Mohammad Niaz Abbasi; anggota Parlemen Inggris, Andrew Smith; dan mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin?

Ini wawancara dengan Andreas Harsono dari Human Rights Watch, lewat wawancara telepon dari Brussels, kepada majalahselangkah.com, Selasa, (07/05/13) soal bagaimana melihat perbedaan pandangan tersebut
.

Harsono mengatakan, banyak pihak di Indonesia, termasuk politisi dan jurnalis, belum memahami perbedaan antara negara dan pemerintah dalam demokrasi. Negara Britania, termasuk Inggris maupun negara-negara Eropa lain, dibedakan tegas antara Negara dan Pemerintah.

"Di sana, tugas pemerintah membuat program dan mengawasi pengawai negeri dalam kerja. Negara mempunyai tugas melindungi warga-negara-nya dari berbagai kejahatan seperti kekerasan, kemiskinan, diskriminasi dan lainnya. Pemerintah bekerja menjalankan program sesuai undang-undang," jelasnya.

Harsono memberi dua contoh di mana negara dan pemerintah bisa bertentangan serta pegawai negeri bisa menolak menjalankan program pemerintah yang bertentangan dengan hukum.

Di Berlin, ibukota Jerman, pada 2007, ada kaum Muslim hendak mendirikan masjid di daerah Heinersdorf. Mereka beli tanah dan urus izin. Ketika mulai bangun, masjid tersebut diprotes kalangan Kristen garis keras. Pihak pemerintah, karena dasarnya politisi, berada di pihak Kristen. Mereka bilang "Jerman Timur" belum siap menerima masjid pertama tersebut. Namun izin sudah dibikin sesuai hukum. Polisi dan birokrasi Berlin melindungi kaum Muslim. Akhirnya, protes juga reda, masjid dibangun dan Kristen garis keras juga sadar mereka harus tunduk pada hukum.

Di Belgia, perbedaan negara dan pemerintah sangat terasa ketika tahun 2009 hingga 2011, selama 541 hari, tak ada pemerintah yang bisa menang pemilihan umum dengan suara cukup. Artinya, tak ada perdana menteri, tak ada kabinet, tak ada pemerintah. Tapi birokrasi berjalan. Mereka jadi caretaker pemerintahan. Negara Belgia tetap menyediakan pendidikan, kesehatan, perbaikan jalan dan lain-lain.

"Menarik sekali di Belgia, karena ada hukum, pegawai negeri semua bekerja dan kehidupan berjalan damai. Bayangkan kalau di Jakarta tidak ada presiden selama 541 hari. Apa yang akan terjadi?" kata Harsono.

Harsono menyebut macam-macam kritik dari Pipit Rochijat, orang Sunda asal Tasikmalaya, warga Indonesia, sudah 30-an tahun tinggal di Berlin, kini bekerja sebagai pegawai negeri di Berlin, dan sering menulis soal pemilihan umum di Indonesia.

"Saya baru mengobrol dengan Pipit di rumahnya di Berlin. Pipit punya pendapat menarik soal negara dan pemerintah," kata Harsono.

Rochijat berpendapat di Indonesia "negara tidak kuat." Buktinya, di Indonesia, sesudah parlemen bikin undang-undang, masih dibikin Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan lainnya. Ini menciptakan peluang pemerintah menafsirkan undang-undang, buatan parlemen, dengan kemauan dan bias mereka sendiri.

Andreas Harsono mengambil contoh begitu banyak produk pemerintah yang bertentangan dengan UUD 1945 di Indonesia. Misalnya, PP No. 77 tahun 2007 yang melarang logo pemerintah daerah mirip dengan bendera Aceh Merdeka, Bintang Kejora (Papua) dan Republik Maluku Selatan. Di Jerman, tak ada Peraturan Pemerintah. Pegawai bekerja sesuai hukum buatan parlemen yang dipilih warga. Ranah legislatif dan ranah eksekutif dibuat jelas terpisah. Pemerintah tak membuat peraturan. Hanya parlemen yang bikin aturan.

"Nah, Benny Wenda dan kawan-kawannya di Oxford, adalah warga negara Inggris. Mereka mendirikan badan hukum bernama Free West Papua. Ia adalah tindakan sah, ia dilindungi oleh hukum," tuturnya.

Dikatakan, Pemerintah Britania, yang tak setuju dengan Papua berpisah dari Indonesia, tak bisa masuk ke ranah hukum. Mereka bisa dituduh melanggar hukum Britania.

"Jangankan Papua merdeka. Di Britania, Skotlandia ingin merdeka dari Britania, juga boleh kampanye terbuka, selama mereka tak pakai kekerasan."

"Apakah lantas membuka kantor Free West Papua di Oxford, Papua lantas merdeka? Tidak juga. Kalau Indonesia protes, tidak ada gunanya karena selama Free West Papua, atau pendukung mereka di Papua, tak melakukan kekerasan, tak membom atau membunuh, hukum Britania juga tidak menganggap mereka pelanggar hukum."

Britania adalah sebuah "kumpulan kerajaan" (united kingdom) dengan empat kerajaan: Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales. Masing-masing kerajaan punya otonomi. Masing-masing punya team sepakbola nasional dan semua ikut kompetisi Piala Dunia.

Harsono memberi contoh lebih dekat lagi. Ini soal 43 warga Papua yang naik perahu dan minta suaka politik ke Australia pada tahun 2006. Mereka kritik Indonesia begitu tiba di Australia. Pemerintah Indonesia protes. Insiden tersebut sempat jadi kacau karena ada gambar kartun yang dianggap menghina Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Sebagai negara, policy luar negeri Australia tidak mengakui Organisasi Papua Merdeka tetapi orang-orang yang pergi cari suaka di sana, adalah persoalan lain. Tidak hanya dari Papua, dari mana saja boleh minta suaka. Bila hukum Australia membenarkan alasan mereka maka mereka diterima, "katanya.

Soal ancaman agar Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Britania, Harsono tak menganggapnya serius. Di Jakarta, masih ada orang yang cukup mengerti perbedaan "negara" dan "pemerintah." (MS)

No comments: