Friday, August 07, 2009

Selamat Jalan Rendra


Jumat ini saya mendatangi rumah W.S. Rendra, dekat stasiun Citayam, Depok, guna memberikan penghormatan terakhir kepada Rendra. Dia meninggal Kamis malam dalam usia 74 tahun. Saya tak kenal pribadi Rendra. Saya memang cukup sering bertemu dan beberapa kali pernah interview Rendra --sejak saya masih kuliah di Salatiga pada 1980an lalu saat periode protes melawan pembredelan media pada 1994-1995-- namun saya tak pernah bergaul dengan Rendra. Saya datang karena ingin menghormati Rendra, salah satu penyair terbaik, yang pernah ada di Pulau Jawa.

Lebih dari 30 karangan bunga berderet di jalan masuk Bengkel Teater. Dari perusahaan media hingga komunitas seni, dari pribadi hingga keluarga. Komunitas Salihara pimpinan Goenawan Mohamad kirim salam, "Rendra tak pernah mati. Ia memberi kita puisi."

Rumah Rendra luas sekali. Ia merangkap padepokan Bengkel Teater. Tanpa pagar. Banyak pepohonan. Jalanan sempit. Hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan mobil-mobil menteri maupun jenderal. Mereka tampaknya baru pulang dari rumah Rendra. Kaya dan miskin. Tua dan muda. Lelaki dan perempuan. Penguasa dan rakyat. Semua datang.

Ada lebih dari 1,000 orang datang memberikan penghormatan kepada Rendra. Sawung Jabo, pemusik Komunitas Barock dan sahabat Rendra, membawa foto Rendra. Jabo berdiri, memimpin kerumunan lelaki yang bergantian mengangkat keranda. Muka Jabo berat sekali. Pada 1990, Rendra dan Jabo pernah sama-sama mendukung kelompok musik Swami, lantas Kantata Takwa bersama Iwan Fals, Setiawan Djody dan sebagainya.

Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Kehidupan adalah cakrawala
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata

Rendra kelahiran Solo 1935. Dia sempat kuliah di Universitas Gadjah Mada. Ia mendirikan Bengkel Teater di Jogjakarta pada 1967 dan belakangan pindah ke Depok. Dia pernah punya isteri tiga orang: Sunarti Suwandi (lima orang anak), Sitoresmi Prabuningrat (empat anak) dan Ken Zuraida (dua anak). Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979 dan Sunarti pada tahun 1981.

Rendra ikut bergerak melawan pembredelan Detik, Editor dan Tempo oleh Presiden Soeharto pada 21 Juni 1994. Dia menyumbang satu puisi, yang sering dibaca dan disebarkan, pada protes-protes anti pembungkaman kebebasan pers:

Karena kami dibungkam dan kamu mrocos bicara
Karena kami diancam dan kamu memaksakan kekuasaan
Maka kami bilang TIDAK kepadamu
Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati
Maka air akan mengikis batu.

Wakil presiden terpilih Boediono dari masjid memasuki rumah Rendra bersama walikota Depok Nur Mahmudi Ismail.

Saya lihat banyak sekali seniman, cendekiawan, orang media maupun politisi dalam pemakaman Rendra. Wakil presiden terpilih Boediono, dengan pengawalan ketat, juga datang untuk memberikan pengormatan terakhir. Dia datang bersama Nur Mahmudi Ismail, walikota Depok. Saya senang Boediono datang ke pemakaman Rendra. Ketika kampanye, Boediono paling sering berjanji untuk menegakkan dan menghormati hak asasi manusia.

Saya sempat memotret punggung seorang kamerawan, yang sedang sibuk merekam gambar Boediono. Pesan dari kaos hitamnya, "Facebook 100 Persen Nggak Haram." Boediono mungkin tak membaca pesan itu. Minimal dia bisa membaca surat Human Rights Watch yang berisi serangkaian rekomendasi langkah-langkah apa yang harus diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono lima tahun lagi. Saya kira, Rendra akan senang bila Boediono mau ikut menegakkan hak asasi manusia maupun kesenian di Indonesia. Selamat jalan Rendra!

1 comment:

Idham Malik said...

Salam Kak..

Buruk merak telah terbang, menyisakan wangi sayapnya (kompas)..

ia, adalah pejuang kemanusiaan, senantiasa membela kaum lemah, dan menyodok kaum kapitalis yang selalu memamerkan kekayaannya..

lewat kata-katanya..

idam