Tuesday, May 08, 2007

Apa beda wartawan televisi dan wartawan media cetak?

Buat Rizqi Amelia,

Saya jawab secara singkat saja ya. Ini permintaan kedua dari mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah minggu ini. Saya duga Anda sekelas dengan Shulman Rumaru yang juga mengirim pertanyaan kepada saya. 

Apa perbedaan dan persamaan antara wartawan televisi dan wartawan media cetak? 

Bedanya tentu pada unsur gambar. Wartawan cetak tak perlu memikirkan aspek gambar dari liputannya. Wartawan cetak juga tak perlu memikirkan "stand up" sehingga urusan penampilan juga kurang diperhatikan layak camera tidaknya. 

Persamaannya, ya prinsip-prinsip kerjanya sama. Kalau mengacu pada pendidikan saya dulu di Amerika, ada pedoman yang disebut "Sembilan Elemen Jurnalisme." Kesembilan elemen ini harus diperhatikan oleh semua wartawan, baik televisi, radio, internet, cetak dan semuanya. 

Tujuan jurnalisme adalah menyajikan kebenaran kepada masyarakat. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Wartawan harus independen dari sumber-sumber mereka. Wartawan harus memantau kekuasaan. 

Apakah ada persyaratan tertentu jika kita ingin menjadi seorang wartawan, selain masalah pendidikan? 

Menurut Wendell "Sonny" Rawls Jr, mantan redaktur pelaksana Atlanta Journal-Constitution, yang dianggap bertangan dingin dalam merekrut wartawan, syarat-syarat bila dia hendak mencari wartawan baik adalah mencari mereka yang bisa menulis dengan logis dan sastrawi. 

Orang-orang yang direkrut Sonny banyak yang akhirnya jadi wartawan terhormat, menang hadiah dan sebagainya. 

Tentu saja, masih ada syarat lain, secara umum. Misalnya, kepribadiannya baik, mau berjuang tentang mana benar mana salah, bersedia hidup sederhana (wartawan tak mungkin jadi kaya dengan cara-cara jujur) serta sadar bahwa hidupnya adalah pengabdian kepada masyarakat. 

Banyak orang yang bilang untuk menjadi seorang wartawan itu secara fisik harus berpenampilan yang menarik. Apakah pernyataan ini benar dan bagaimana pendapat Anda? 

Saya kira "menarik" itu luas sekali maknanya. Saya punya kenalan, namanya Farid Gaban, aduh sama sekali kumal, kurus, merokok terus, sehingga kemungkinan besar tidak menarik. Namun Farid jelas wartawan yang teguh. Saya merasa Farid orang yang menarik secara intelektual, walau tidak menarik secara fisik. 

Goenawan Mohamad juga tidak menarik secara penampilannya. Rambutnya awut-awutan, jarang pakai jas dan dasi. Tapi Goenawan wartawan yang berhasil bukan? 

Seymour Hersh dari The New Yorker juga kumal namun siapa tak tahu bahwa Hersh yang membongkar kasus Guantanamo? Mungkin penampilan "menarik" ini ada sedikit relevansinya dengan media televisi. Wartawan televisi khan tak diharapkan tampil macam pemadat gitu? 

Saya suka dengan penampilan pembawa acara Al Jazeera atau BBC. Namun juga tak harus dandan menor macam Metro TV, RCTI atau SCTV sedemikian rupa sehingga jas dan baju mereka didapatkan dari sponsor. Ini bisa kita lihat saat siaran berita berakhir dan biasanya ada sponsor busana di layar televisi-televisi ini. 

Wartawan televisi tentu harus rapi tanpa melibatkan diri mereka dalam komersialisasi busana. Saya kenal beberapa wartawan BBC dan Al Jazeera. Mereka tak pernah tuh dapat sponsor untuk busananya. Mereka beli sendiri. 

Apakah setiap wartawan mendapat pelatihan khusus tentang jurnalistik dari tempat mereka bekerja atau tidak sama sekali? 

Tergantung medianya. Ada yang kasih pelatihan, ada yang tidak. Ini juga tergantung pada lokasi. Kalau Anda direkrut di kota basis media tersebut, Anda lebih mudah kenal dengan para produser atau redakturnya. Anda lebih mudah ikut program pelatihan. Tapi kalau direkrut di kota yang jaraknya 4,000 km dari basis media tersebut, ya kemungkinan lebih kecil bisa ikutan program pelatihan. 

Bagaimana cara Anda mendapatkan berita-berita yang bagus dan menarik? 

Ini namanya bagaimana mendapatkan ide berita. Ini meminta kita memahami sedikit tentang imajinasi dari audiens yang dihadapi media kita. Audiens khayalan itulah yang harus kita ingat. Apa yang kira-kira mereka butuhkan agar bisa mengatur masyarakat mereka lebih baik? 

Masyakat perlu informasi agar mutu kehidupan mereka meningkat. Kalau kita bisa tahu kebutuhan peningkatan mutu masyarakat ini, maka kita akan lebih mudah mendapatkan ide beritanya. Ini meminta kita melihat berita dari perspektif yang beda-beda. 

Teknisnya, ada yang disebut proximity (kedekatan isu), celebrity (ada tokoh atau tidak), skala berita (besar atau kecilnya), unsur kaget (kecelakaan), unsur kebaruan dan sebagainya. 

Saya kira sekian dulu. Semoga jawaban-jawaban ini berguna untuk tugas kuliah Anda di UIN Syarih Hidayatullah. Terima kasih.

2 comments:

Anonymous said...

Mas Andreas,

You are absolutely correct on the point that there is no relation between the journalist' appearance and her/his quality as a journalist. You will recall that in the early days of Tempo, it was really a melting pot where "artists", intelectuals and adventurers met. Then, formal education was not even cosnidered very important whether one can be a good journalist. Many great ones did not finish university, especially those who did not believe in the importance of formal education.

One thing surely ingrained in those committed journalists: despite their "sub-standard" appearance, they usually are knowledgable, resourceful and look cool...

Anonymous said...

Andreas, terima kasih sudi mampir ke blog saya, juga kasih komentar. Saya merasa terhormat didatangi salah satu guru jurnalistik saya.

Oh, ya, saya sudah lama ngelink ke blog andreas tanpa permisi. Juga mengutip beberapa tulisan tentang Flores. Salam.