Thursday, May 03, 2007

Kursus Penulisan Sejarah


Bonnie Triyana, seorang wartawan harian Jurnal Nasional yang kini lagi mempersiapkan diri (kursus bahasa) untuk studi lanjut di Universitas Leiden, menghubungi saya dan mengusulkan agar Pantau bikin kursus penulisan sejarah. Bahasa teknisnya, ini pendidikan historiografi (penggambaran sejarah).

Isinya semacam metode serta bagaimana mencari sumber-sumber kalau seseorang hendak menulis masa lalu. Ini juga akan berisi contoh-contoh dramatis bagaimana fakta kesejarahan dimanipulasi di Indonesia. Bonnie terutama ingin kursus ini diikuti wartawan, dari Jawa maupun luar Jawa, khususnya daerah semacam Papua, Borneo dan sebagainya, dimana penulisan sejarah mereka belum banyak dilakukan.

Bonnie, bersama rekan saya Budi Setiyono, juga editor buku Revolusi Belum Selesai: Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara. Mereka berdua alumni dari pendidikan sejarah di Universitas Diponegoro Semarang.

Saya ingin minta masukan dari Anda semua. Bagaimana menurut Anda? Tidakkah penarikan buku-buku sekolah belakangan ini tentang pelajaran sejarah cukup menarik guna mendorong wartawan menulis dengan lebih mendalam?

Tidakkah berbagai manipulasi sejarah yang dimulai oleh Soekarno dan Muhammad Yamin (misalnya, soal mitos wilayah Majapahit, wajah Gajah Mada yang jadi mirip wajah Yamin) maupun fakta-fakta soal G30S serta sejarah Indonesia yang Jawa-sentris, tidak cukup kuat bagi kita guna belajar historiografi dengan benar? Cendekiawan Soedjatmoko pernah menerbitkan satu antologi terbitan Cornell University tentang historiografi untuk penulisan sejarah Indonesia. Sayang, buku ini, An Introduction to Indonesian Historiography, praktis kurang diperhatikan oleh para penulis amatiran sejarah kita.

Antologi ini ditulis oleh banyak cendekiawan jempolan tentang Indonesia: John Bastin, C.C. Berg, Buchari, J.C. Bottoms, C.R. Boxer, L. Ch. Damais, Hoesein Djajadiningrat, H.J. de Graf, Graham Irwan, Koichi Kishi, Koentjaraningrat, Ruth T. McVey, J. Noorduyn, J.M. Romein, R. Soekmono, Tjan Tjoe Som, F.J.E. Tan, W.F. Wertheim dan P.J. Zoetmulder. Soedjatmoko berpendapat sejarah Indonesia harusnya ditulis oleh orang yang mengerti topik yang ditulisnya, tak peduli dia warga negara Indonesia atau warga negara lain. Antologi ini lahir dari kecemasan Soedjatmoko terhadap adanya trend bahwa sejarah Indonesia harus ditulis orang Indonesia saja.

Khusus Papua, saya ingin mengutip ucapan cendekiawan Benny Giay ketika menulis pengantar sebuah buku sejarah: "Setelah menduduki Papua Barat, Indonesia memperkenalkan sejarah Indonesia dan menggiring orang Papua untuk menerima sejarah Indonesia sebagai sejarahnya, karena terkait dengan semangat Indonesianisasi rakyat Papua. Maka proses pemaksaan sejarah Indonesia ke atas rakyat Papua dimutlakkan."

"Akibatnya, semua upaya orang Papua untuk menggali dan mengangkat sejarah Papua Barat dicurigai dan diawasi, sehingga sejarah Indonesia di Papua Barat dan sejarah Papua Barat di Indonesia, dikelola oleh penguasa Indonesia dan dijaga sebagai barang yang berbahaya dalam rangka membangun kekuasaan di Papua Barat."

Saya juga ingat kontroversi penulisan sejarah tokoh Nipa Do ala Departemen Pendidikan di Pulau Flores sehingga melibatkan polemik panjang antara dua putra Flores, Daniel Dhakidae (wartawan Kompas) dan Abraham Runga Mali (wartawan Bisnis Indonesia). Ini belum lagi kalau kita bicara Celebes, Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa bahkan tempat terpencil macam Pulau Mingas atau Pulau Ndana.

Saya sering berjalan-jalan ke berbagai tempat di Indonesia. Saya tahu betapa kelamnya penulisan dan penggambaran sejarah di berbagai tempat itu. Saya kira menuliskan masa lalu dengan benar adalah kunci untuk menghadapi masa depan dengan baik. Ini bisa dimulai dari wartawan.

Bonnie usul instrukturnya melibatkan Adrian Vickers dari Universitas Sydney, Bambang Purwanto (dosen Universitas Gadjah Mada), Hilmar Farid (sejarahwan dari Jaringan Kerja Budaya) dan Henk Schulte Nordholt (KITLV Leiden).

Saya kira keempat orang itu punya integritas baik. Bonnie sering mengolok-olok media mainstream Jakarta, termasuk tempatnya bekerja, sebagai tempat orang menulis sejarah tanpa pemahaman historiografi yang benar. Bonnie bahkan menyebut satu kolumnis suratkabar besar Jakarta yang ngawur kalau menulis alinea-alinea tentang masa lalu, seakan-akan Indonesia itu sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Istilah saya, "menulis sejarah-sejarahan."

Bonnie minta saya menulis pengantar ini dulu agar dia bisa mendapatkan masukan? Bagaimana menurut Anda? Tidakkah kita perlu menulis sejarah dan bukan sejarah-sejarahan? Anda bisa memasukkan pendapat Anda ke dalam Comment. Terima kasih.

8 comments:

haryo98 said...

ide-nya menarik,
kapan mau dimulai..?

saya jadi tertarik sejarah,
terutama setelah membaca hasil wawancara mba' Maria terhadap Baskara T Wardaya..

_haryo

andreasharsono said...

Bonnie sih usul bulan Juli. Kemarin dia sudah kirim proposal ke Buset. Nanti Buset yang membacanya dulu. Hilmar Farid juga akan ikut bikin silabus. Ada satu stiftung Jerman tertarik bantu biayanya.

Anonymous said...

hai mas (panggilnya mas, om, ato pak ya? hehehe)

bagus juga idenya.

btw, kursus ini ditujukan untuk kaum profesional ya?

Yati said...

lho? saya baru baca postingan ini. ada ya mas? kapan? udah pernah? akan ada lagi?

andreasharsono said...

Dear Yati,

Terima kasih untuk komentarnya. Kami pernah mencoba mendapatkan sponsor untuk acara ini. Namun belum berhasil. Kami pernah melakukannya kecil-kecilan, dengan uang kami sendiri, namun tak bisa berlangsung terus. Kas Yayasan Pantau tidak besar. Saya akan coba lagi deh fund raising untuk kursus ini.

Mas Guru said...

Keprihatinan saya terjawab jika ada yang mau menulis Sejarah Indonesia.
SAYA HARAP BISA IKUT MEMBERIKAN SUMBANGSIH SAYA DALAM WACANA INI.
Saya mohon kontaknya jika benar2 ingin diwujudkan.

andreasharsono said...

Dengan hormat,

Kami tak membuat buku. Ini hanya ide bikin kursus untuk wartawan soal sejarah. Kalau penulisan di bidang sejarah, saya kira, Bonnie Triyana lebih banyak terlibat. Silahkan hubungi dia pada btriyana at jurnas.com. Terima kasih.

Paul9_regar said...

Kalo ada kursusm boleh ikut pak ?