Friday, November 24, 2006

Puisi Sepi

Ketika masih remaja, saya ternyata sering sekali menulis puisi. Kebanyakan ditulis dalam buku harian saja. Sesekali juga menulis cerita pendek. Saya mulai rutin menulis buku harian sejak 1 Januari 1978 ketika mulai sekolah di SMP Katolik Maria Fatima di Jember. Kegiatan menulis puisi ini makin sering ketika masuk SMA Katolik Sint Albertus di Malang pada 1982.

Ternyata ketika remaja, saya punya banyak kegiatan --badminton, basket, nonton bioskop, main dengan teman sekolah, les bahasa Inggris, bahasa Jerman, kursus gitar, main band, vocal group, pada 1982 jatuh cinta pertama dengan "PHE"-- namun saya juga sering merasa sedih. Perkawinan orang tua saya berantakan. Papa tinggal di Jember. Mama pindah ke Lawang. Namun perasaan risau dengan PHE juga menyumbang kegalauan dalam puisi-puisi yang saya buat pada 1982.

Setelah kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, kegiatan menulis puisi praktis menyurut. Saya mulai sibuk diskusi politik dengan kelompok Arief Budiman. Lalu ikut aktivisme mahasiswa dan pers mahasiswa. Saya rutin menulis untuk harian Suara Merdeka Semarang. Sedikit demi sedikit, saya makin masuk ke dalam dunia non-fiksi. Puisi praktis tak pernah saya buat lagi.

Saya coba cari beberapa puisi remaja yang saya suka.

sepi merambat
menerobos jalan
memecahkan sunyi

sebutir sepi
sepucuk kelam

sekeping hati, luka
dalam
perih
hitam


Lawang, 9 Januari 1982


Kami adalah sekerumun anjing liar yang paling perkasa
Berpacu dari armagedon hingga kelam
Kami berlari tanpa menjadi letih
Kami berjalan tanpa menjadi lesuh

Kami pahlawan tanpa nama
Bertaruh dengan kehampaan nyata hingga keping-keping kami yang terakhir

Menangis untuk kemenangan dan tertawa untuk sebutir kekalahan


Lawang, 9 Juli 1982

2 comments:

Anonymous said...

SETIAP manusia lahir sebagai penyair. Penyair dalam diri manusia itu kebanyakan mati muda. He he he. Tapi masih bisa hidup lagi kok. Reinkarnasilah hehehe. Gak sabar nih nunggu INDOPAHIT....

Anonymous said...

puisi, sepertinya jadi bentuk tulisan paling sederhana untuk berkeluh kesah. konon, puisi yang bagus ialah yang paling sulit dimengerti pembacanya. benar tidak, ya?