Tuesday, August 08, 2006

Kontroversi Kawin Kontrak

Sapariah Saturi
Jurnal Nasional

JAKARTA – Besaran suatu berita sering tergantung pada kebetulan belaka. Wakil Presiden Jusuf Kalla kebetulan bikin pernyataan soal “janda-janda di Puncak” kawin dengan lelaki Arab Saudi. Sebulan kemudian petugas kepolisian dan imigrasi Bogor kebetulan bikin razia terhadap pasangan “kawin kontrak” di Puncak. Maka kebetulan itu jadi berita besar.

Jusuf Kalla menyampaikan pendapatnya akhir Juni lalu dalam "Simposium Strategi Pemasaran Pariwisata di Kawasan Timur Tengah" di hadapan para pengusaha turisme. Kalla berpidato, "Kalau ada masalah janda di Puncak itu urusan lain. Jadi orang-orang Arab yang mencari janda-janda di kawasan Puncak bisa memperbaiki keturunan.”

"Nanti mendapat rumah kecil, rumah BTN, ini artinya kan sah-sah saja. Walau kemudian para turis tersebut meninggalkan mereka, ya tidak apa-apa. Karena anak-anak mereka akan punya gen yang bagus bisa menjadi aktor-aktris TV yang cakep-cakep,” tambah Kalla.

Kebetulan wartawan The Jakarta Post Rendi Witular, yang biasa meliput kegiatan Presiden dan Wakil Presiden, memutuskan mengambil kutipan seminar tersebut. Witular menterjemahkan kalimat Kalla menjadi, "If there are a lot of Middle East tourists traveling to Puncak to seek janda, I think that it's OK. The children resulting from these relationships will have good genes. There will be more television actors and actresses from these pretty boys and girls.”

Jusuf Kalla pun muncul di halaman depan The Jakarta Post. Pembaca harian ini meliputi diplomat dan kalangan internasional. Aktivis perempuan angkat suara. Sekitar 70 organisasi perempuan, termasuk Fatayat Nahdatul Ulama, Institut Ungu, Kalyanamitra dan Srikandi Demokrasi Indonesia, bikin pertemuan media di Jakarta. Kaukus Perempuan –kumpulan semua legislator perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat—berniat memanggil Kalla. Ucapannya dikutip media internasional, dari bahasa Inggris hingga Mandarin, dari Jerman hingga Arab. Maka kantor Wakil Presiden segera bikin pertemuan pers guna meredakan kemarahan orang. Kalla mengakui ia hanya “kelakar.” Ia sama sekali tak punya keinginan merendahkan perempuan.

Maka kelakar itu mereda. Tapi sebulan kemudian, polisi dan petugas imigrasi Bogor menangkap 17 pasangan kawin kontrak di daerah Cisarua, Puncak. Sebagian besar pelaku pria berasal dari Arab Saudi. Sedangkan perempuan lokal yang menjadi pasangannya punya latar belakang beragam termasuk dua mahasiswi di Jakarta. Mereka berumur sangat muda untuk pernikahan biasa, antara 18 hingga 20 tahun.

Operasi terhadap praktik kawin kontrak itu dilakukan sejak Senin (31/7) dini hari hingga Selasa sore (1/8). Sasaran utama sejumlah vila dan hotel di wilayah tersebut. Sasaran pertama adalah Villa Cokro di Ciburial. Petugas bermaksud melakukan operasi terhadap warga asing yang ada di sana. Tetapi petugas harus gigit jari karena mereka sudah pergi. Polisi mengatakan kemungkinan kedatangan petugas sudah dibocorkan para tukang ojek sekitar Villa Cokro.

Warta Kota melaporkan petugas lalu bergerak ke Vila Aldita di Warung Kaleng, Desa Tugu. Disana ada empat pasangan kawin kontrak: Diana(20)-Mohammad Almuhana; Riyani (20)-Sulaeman Saud A Altraigi, Nina Lestari (18)-Ali Dhafer M Aldosari, Yuli Astuti (19)-Abdullah Shuraie Alhrarshah.

Almuhana warga negara Arab Saudi. Dia kawin dengan Diana pada 31 Agustus 2005, dengan mas kawin Rp 3 juta. Wali nikahnya Salim. Mereka dikawinkan dengan perantara “Ratna” yang mendapatkan uang jasa sebesar Rp 1,5 juta. Sedangkan Diana mendapatkan uang Rp 1,5 juta.

Riyani menjadi istri kontrak Sulaeman Saud A Altraigi setelah dikawini pada 15 Agustus 2003 di sebuah hotel di kawasan Senen, Jakarta. Ibunda Riyani, yakni Rosillah, bertindak sebagai saksi. Sedangkan pamannya, Husen, bertindak sebagai wali. Mas kawinnya berupa uang tunai sebesar Rp 10 juta.

Ali Dhafer kawin dengan Nina Lestari pada 30 Juli 2006 di Vila Aldita. Dalam kesepakatan mereka, setiap hari Ali harus memberi uang kepada Nina sebesar Rp 500.000. Tetapi Nina mengatakan Ali belum pernah membayar. Yuli Lestari dikawin kontrak oleh Abdullah Shuraie pada 30 Juli 2006. Abdullah berjanji membayar Rp 500.000 setiap hari. Namun Yuli juga belum menerima pembayaran itu.

Petugas melanjutkan operasi ke Villa GBI dimana mereka memeriksa dua pasangan kawin kontrak: Marini (19)-Saad Mousa A Alshamrani dan Erni Kurniawati (18)-Abdul Rahman Awad A Alshamrani.

Kepala Imigrasi Bogor Yeyet Oking mengatakan ada enam warga Arab Saudi bakal dideportasi. Mereka juga diduga melanggar UU No 9/1992 tentang Keimigrasian karena menyalahgunakan visa turis untuk menikahi perempuan Indonesia. Ini diduga mengganggu ketertiban umum dan jika terbukti akan dikenai hukuman enam tahun penjara.

Kepala Polisi Bogor Kombes Sukrawadi Dahlan mengatakan jaringan bisnis kawin kontrak ini sebenarnya sangat kuat mengakar di masyarakat dan melibatkan beberapa oknum. "Karena itu sudah menjadi ladang mencari nafkah kebutuhan sebagian warga. Akibatnya kami sempat dihalang-halangi pada saat melakukan operasi ini.”

Sebuah tafsir dalam Islam di Saudi Arabia berpendapat kawin misyar sah bila mempelai perempuan disaksikan walinya, ada penghulu, ada saksi dan mempelai lelaki membayar mas kawin. Namun kriteria ini dianggap hanya legalitas belaka karena esensi perkawinan –kedua mempelai maupun anak-anak mereka dilindungi hukum negara dan masyarakat—tidak dipenuhi.

Para aktivis perempuan mengatakan kawin kontrak adalah penyakit kronis di Pulau Jawa dan beberapa pulau lain. “Pemerintah harus dapat melihat masalah kawin kontrak sebagai masalah nasional, bukan hanya isu perempuan,” cetus Ratna Bataramurti dari Lembaga Bantuan Hukum Apik.

Masalah ini juga rumit dengan adanya sindikasi kejahatan. Kawin kontrak sering digunakan sebagai batu loncatan untuk perdagangan bayi. “Dalam beberapa kasus di Batam para perempuan hanya dikawin kontrak, setelah melahirkan anak mereka pun dijual ke luar negeri,” kisah Mariana Amiruddin dari Jurnal Perempuan.

Mariana mengatakan kawin kontrak muncul karena adanya sindrom Cinderella Complex. Para perempuan dari keluarga kurang mampu, biasanya bermimpi suatu saat akan ada pangeran yang datang menyelamatkan mereka dari kesulitan hidup.

Berasal dari keluarga miskin dengan pengetahuan hukum kurang, mereka senang bertemu lelaki asing. Tak disangka, sang pangeran justru menyekap mereka layaknya hewan dengan tujuan utama menghasilkan anak sebanyak-banyaknya. Anak-anak ini kemudian dijual ke luar negeri dengan harga tinggi. Jurnal Perempuan mendokumentasikan kasus ini dalam film “Don’t Buy, Don’t Sell.”

“Di negara maju, pasangan yang hidup bersama saja biasanya melakukan perjanjian secara tertulis,” papar Ratna. Jika ada anak lahir, status pertanggungannya sudah jelas. Jusuf Kalla terlalu memandang remeh kemungkinan lahirnya anak-anak ini dengan berpendapat mereka bisa jadi “bintang film” dan memperbaiki penampilan fisik “bangsa Indonesia.”

Semua yang kebetulan bukanlah kebenaran. Namun kebetulannya Jusuf Kalla dan polisi Bogor mengungkap adanya kebenaran yang pahit ini.

-- laporan Januarti Sinarra T. dan Veby Mega Indah

No comments: