Tuesday, August 08, 2006

Tak Selamanya Uang

Veby Mega Indah
Jurnal Nasional

Asti, seorang gadis Bandung, kini menjalani “kawin kontrak” dengan seorang ekspatriat asal Jepang. Alasannya, sang kekasih sudah punya anak dan isteri di Jepang, sementara hidup bersama tanpa menikah membuatnya merasa berdosa. Maka Asti memilih kawin kontrak.

Nama lengkap Asti sengaja tidak diungkapkan disini. Asti kelahiran Banjar, sebuah daerah di Jawa Barat, pada 1981. Keluarganya, kelas menengah Muslim tapi ekonominya kurang kuat.

Ketika lulus sekolah menengah, Asti mengambil keputusan kuliah di Bandung. Ia memilih merantau ke Bandung dan kuliah di Universitas Pasundan. Bagi keluarga Asti, ini sebenarnya cukup berat. Universitas Pasundan termasuk perguruan swasta. Biayanya relatif besar karena tidak ada subsidi negara.

Dia pun berpikir bekerja sambil kuliah. Tapi tanpa keahlian dan pengalaman? Seorang teman kuliahnya mengajak kerja di klub karaoke untuk ekspatriat Jepang. Semula ketakutan akan dunia malam melanda pikiran gadis ini.

“Apalagi citra gadis malam akan melekat pada saya,” papar Asti. Namun manager klub menjelaskan seorang karaoke girl tak berkaitan dengan prostitusi. Kalau terdapat hubungan lebih lanjut dengan tamu, itu dianggap sebagi urusan pribadi yang bersangkutan. Keterangan manager klub membuat Asti memutuskan mencoba.

Mulanya, Asti masih tangguh menahan godaan. Dalam pikirannya, semua pria yang datang dianggap sebatas tamu semata. Namun kisahnya berubah saat ia bertemu dengan Tadashi Sato, seorang eksekutif marketing sebuah perusahaan tekstil. Sato terlihat sopan, tidak seperti tamu-tamu lainnya. Sato berasal dari Nara, sebuah kota kuno di Pulau Honshu, pulau terbesar dan terpadat di Kerajaan Jepang.

Sikapnya yang mengayomi bagai siraman air hujan saat kemarau. “Selain itu, Sato juga terus mendukung saya untuk menyelesaikan kuliah. Ia ingin saya sukses,” kisahnya. Asti jatuh cinta dengan Sato. Sang kekasih kerap menjemputnya sepulang kerja, saat pagi menjelang. Hubungan terus berlanjut, hingga Asti diajak untuk tinggal di rumah Sato.

Terkesan oleh sifat yang mengayomi, Asti akhirnya setuju. Padahal Sato sendiri telah memiliki seorang istri dan dua anak di Jepang. Sejak tinggal bersama, Asti pun mengundurkan diri dari tempatnya bekerja.

“Selain makan dan kuliah, saya jarang diberi uang,” papar Asti. Padahal, biasanya menjadi kekasih seorang ekspatriat biasanya menjadi jaminan bagi karaoke girl untuk hidup senang. “Teman saya bahkan ada yang dibelikan rumah, bahkan keluarga di kampung juga dibelikan tanah,” ujarnya.

Namun, Asti beralasan mereka melakukan itu bukan demi uang semata. Asti setia mendampingi Sato. Selayaknya seorang istri, ia tinggal dan mengatur urusan rumah tangga Sato. Jujur, Asti mengaku cukup bahagia dengan perannya saat itu.

Kenyataan ini tak diketahui oleh pihak keluarga di Banjar. Pekerjaan Asti sebagai karaoke girl juga dirahasiakan pada keluarga. Dikejar-kejar rasa berdosa, akhirnya Asti mendesak Sato untuk mau menikahinya.

“Sato sempat kaget, tapi setelah saya ancam akan meninggalkannya, akhirnya ia setuju,” papar Asti. Sato mau “kawin kontrak” karena perkawinan ini hanya dilaksanakan secara Islam, tidak mengikat secara hukum negara dan akan berakhir begitu Sato pulang ke Jepang selepas kontrak kerja.

“Daripada dosa, lebih baik begini, ” cetus Asti, sambil menghisap rokok mentholnya. Kekuatiran ditinggalkan Sato juga mengusik benaknya. Maka Asti dan Sato berusaha menjaga jangan sampai Asti mengandung. Kini Asti sudah lulus dan mulai giat mencari pekerjaan di Jakarta.

“Rencananya saya akan meninggalkan Sato, begitu dapat pekerjaan di Jakarta,” katanya. Bagi Asti, terasa lebih mudah jika ia meninggalkan sang kekasih, daripada harus miris menerima kenyataan dibuang setelah tak diperlukan lagi. ***

No comments: