Thursday, January 06, 2005

SIRA: PBB Harus Memediasi Konflik Acheh

Nomor: 03/DP-SIRA/B/I/2005
Hal: Paska Tsunami: PBB Harus Memediasi Konflik Politik Di Acheh
Sifat: Terbuka

Kepada Yang Mulia:
Bapak Kofi Annan, Sekretaris Jenderal PBB c/g
Bapak Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia
Di Jakarta

Salam Perdamaian ;
Sehubungan dengan kedatangan Tuan ke Jakarta dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang penanggulangan bencana gempa di Acheh dan kunjungannya ke Acheh, SIRA menyampaikan selamat datang dan sangat menghargai langkah yang diambil tersebut. SIRA memberikan perhatian khusus untuk kunjungan ini. Kunjungan ini mungkin akan memberikan banyak manfaat bagi rakyat Acheh, baik yang mengalami musibah maupun yang selamat.

Untuk itu, kami dari SIRA perlu menyampaikan beberapa kondisi objektif di lapangan pasca terjadinya gempa dan tsunami. Pasca gempa dan tsunami, kondisi Acheh sangat tidak menentu, berantakan dan rusak. Roda pemerintahan RI di Acheh benar-benar lumpuh total. Bahkan dapat dikatakan, Acheh menjadi daerah tak bertuan. Aktivitas masyarakat juga berhenti. Sementara ekses gempa masih terasa di sekitar wilayah-wilayah yang dilanda musibah. Banyak mayat-mayat yang belum berhasil di evakuasi dan korban kritis yang tidak bisa diselamatkan karena lambannya (ketidakmampuan) pemerintah RI dalam menangani korban. Selain itu niat baik PBB dan negara-negara sahabat yang ingin memberikan pertolongan pada awal terjadinya gempa dan badai tsunami dihambat oleh RI, bantuan luar baru bisa masuk ke Aceh pada hari ke 5 pasca kejadian sehingga banyak korban kritis yang tidak bisa diselamatkan.

Selain itu banyak masyarakat yang selamat, kini mengungsi di tempat-tempat yang aman, untuk menghindari kemungkinan terjadinya bencana susulan. Wabah penyakit mulai menjangkit di wilayah-wilayah yang menimpa musibah, sehingga banyak dari masyarakat yang harus mengungsi keluar Acheh karena takut ketularan.

Sementara masyarakat yang masih bertahan di Acheh dan di kamp-kamp pengungsian mulai diserang berbagai penyakit seperti diare, muntah-muntah dan gatal-gatal. Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah masyarakat mulai kelaparan karena lambannya bantuan yang datang. Malah 5 hari pasca terjadinya gempa dan tsunami, banyak masyarakat yang kelaparan hal itu karena langkanya bahan makanan di wilayah-wilayah yang menimpa musibah. Apalagi bantuan yang diperuntukkan untuk korban gempa banyak bertumpuk di bandara dan tempat-tempat penampungan karena sulitnya jalur transportasi, dan beberapa daerah yang kena gempa masih terisolir.

Masalah lain yang timbul pasca gempa adalah tidak menentunya kondisi di setiap daerah yang kena musibah. Seperti mulai terjadinya penjarahan, perampokan terhadap harta-harta yang ditinggalkan masyarakat karena mengungsi atau menyelamatkan diri, oleh TNA menuduh TNI/Polri yang melakukannya begitu juga sebaliknya. Selain itu, pihak TNI/Polri menggunakan kesempatan gempa untuk melakukan penyerangan terhadap TNA dan meningkatnya operasi inteljen. Tindakan ini bisa memancing perang terbuka dan merupakan isyarat yang tidak positif bagi penyaluran bantuan kemanusiaan serta akan memperpanjang duka rakyat Acheh.

Merespon kondisi itu, SIRA menyampaikan beberapa hal menyangkut kondisi objektif Acheh dan harapan masyarakat Acheh pada PBB dan lembaga internasional lainnya.

1. SIRA menyampaikan terima kasih atas kepedulian PBB dalam membantu korban gempa dan tsunami di Acheh. Hal yang sama juga ditujukan kepada negara-negara dan lembaga internasional lainnya yang begitu cepat bergerak membantu dan memberikan bantuan kepada korban gempa dan tsunami di Acheh.

2. SIRA meminta kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membantu rekontruksi Acheh pasca gempa dan tsunami. Bantuan PBB tidak hanya untuk korban gempa dan tsunami melainkan pasca gempa. Tanpa keterlibatan internasional, pembangunan Acheh pasca tsunami akan berantakan. Pembangunan itu perlu ditangani sendiri oleh badan-badan internasional.

3. SIRA memandang perlu keterlibatan Internasional yang lebih besar untuk terlibat dalam penyelesaian konflik Acheh. SIRA memandang, bantuan yang diberikan dan terus mengalir ke Acheh tidak akan memiliki makna apa-apa jika persoalan konflik tidak diselesaikan.

Untuk sementara bantuan itu memang bermanfaat, tapi tidak untuk waktu yang panjang. Karena yang dibutuhkan rakyat Acheh bukan hanya sekedar bantuan melainkan juga diselesaikannya konflik yang sudah menelan korban ribuan. Untuk itu momentum kunjungan Tuan sebagai Sekjend PBB ke Jakarta dan ke Acheh juga perlu digunakan untuk menggagas agenda perdamaian pasca gempa dan tsunami.

4. SIRA tetap memandang Peran PBB mutlak diperlukan untuk mendorong RI dan PNA/GAM menghentikan perang selamanya dan memberi kesempatan seluruh rakyat Acheh yang ingin menentukan masa depan dan status politik. PBB harus membuka diri untuk menfasilitasi dan memediasi keinginan rakyat Acheh untuk menentukan nasib sendiri.

5. Penyelesaian politik antara RI  PNA/GAM harus segera dimulai lagi di meja perundingan Internasional dan penghentian perang untuk tujuan kemanusiaan, pembangunan yang aman dan kebebasan jangka panjang bagi rakyat Acheh. Kalau proses perdamaian tidak dilakukan segera maka rakyat Acheh semakin bertambah menderita dan tertindas pasca bencana tsunami itu. Sebab perang, pelanggaran HAM, ketidak adilan akan terus berlanjut. Karena itu SIRA menyerukan dan mendesak dukungan dan dorongan Internasional yang serius untuk hal itu sebagaimana perhatian mereka terhadap bencana tsunami.

Banda Acheh, 6 Januari 2005
Sentral Informasi Referendum Acheh (SIRA)

Nasruddin Abubakar Faisal RD Muhammad Saleh
Presidium

Catatan
SIRA (Sentral Informasi Referendum Acheh) adalah sebuah lembaga perjuangan rakyat yang dibentuk oleh 104 organisasi Mahasiswa, pumuda, santri dan siswa pada tanggal 4 Februari 1999 melalui Kongres Mahasiswa dan Pemuda Acheh Serantau (KOMPAS). Pada 8 November 1999 SIRA berhasil mengumpulkan 2 juta rakyat Acheh dihalaman Mesjid Raya Baiturrahman Banda Acheh untuk melakukan aksi damai dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri secara damai dan demokratis.
Kontak person: 08158760497, 081514229593, 0816343793

4 comments:

andreasharsono said...

From: ahmad su'udi
To: pantau-komunitas@yahoogroups.com
Sent: Friday, January 07, 2005 3:08 AM
Subject: Re: [pantau-komunitas] SIRA: PBB Harus Memediasi Konflik Politik Di Acheh

Membaca serua SIRA untuk PBB semakin membuat saya tak mengerti jalan pikiran sebagian masyarakat Aceh. Sebelumnya lima hari saya di Aceh menyaksikan prilaku tak terpuji sebagian masyarakat Aceh non korban tsunami yang justru melakukan penjarahan, bukan membantu menangani pasca bencana.

Sebagian besar masyarakat Aceh justru sekedar menjadi penonton kerja keras yang dilakukan TNI dan ribuan relawan dari seluruh penjuru nusantara dan sejumlah negara.

Sekarang SIRA, di tengah nestapa yang berlanjut, ingin menunggangi kedatangan Kofi Annan untuk kepentingan politik. Betapa memprihatinkan. Mestinya SIRA bijak dan tidak terlalu bernafsu memasuki wilayah politik.

Pada poin pertama dalam tuntutannya SIRA mengucapkan terima kasih dan menilai respon PBB dan internasional sangat cepat membantu masyarakat Aceh. Kenapa SIRA menutup mata pada kerja keras tanpa pamrih TNI dan ribuan relawan yang langsung bekerja begitu tsunami mereda? Apakah SIRA tak ingin sekedar mengucapkan terima kasih atas nama masyarakat Aceh pada mereka?

Please SIRA, istirahat sejenak berpikir politik,
gunakan nurani dan ciumlah bau busuk ribuan jenazah yang belum jg terevakuasi sampai kini.

Salam nestapa untuk Aceh
Ahmad s.Udi/riauterkini.com

andreasharsono said...

From: Andreas Harsono
To: pantau-komunitas@yahoogroups.com
Sent: Friday, January 07, 2005 10:06 PM
Subject: [pantau-kontributor] Re: [pantau-komunitas] SIRA: PBB Harus Memediasi Konflik Politik Di Acheh

Ahmad Su'udi di Riau,

Saya suka sekali membaca email Anda. Ia mencerminkan pemahaman kebanyakan pembaca suratkabar atau penonton televisi yang mengkonsumsi media keluaran Palmerah. Kebanyakan konsumen media Palmerah ini belum sadar atau belum tahu bahwa mayoritas warga Aceh menghendaki referendum di daerahnya.

"Referendum" sebenarnya kata lain dari keinginan menentukan nasib diri sendiri. Mayoritas orang Aceh, meminjam omongan Jendral Ryamizard Ryacudu dalam satu briefing kepada para perwira TNI AD tahun lalu, ingin lepas dari Indonesia.

Kalau Anda mau berjalan-jalan di Pidie, Lhokseumawe, Sabang dan sebagainya, Anda akan menemukan bahwa orang-orang Aceh itu tak senang, meminjam istilah Gerakan Aceh Merdeka, dengan "penjajah bangsa Jawa." Mereka menganggap "bangsa Jawa" menjajah "bangsa Aceh." Silahkan baca deklarasi kemerdekaan Aceh pada
Desember 1976 yang ditulis oleh Hasan di Tiro. Kata-kata itulah yang mereka gunakan.

Palmerah adalah sebuah kawasan di Jakarta dimana mayoritas media yang ada di Indonesia dikuasai dan dijalankan. Palmerah merupakan tempat Kelompok Kompas Gramedia, PT Grafiti Pers (Tempo dan Jawa Pos), TVRI, dan kalau sedikit melebar ke barat hingga ke Kebun Jeruk, juga bisa Anda temukan RCTI dan Metro TV, atau ke barat bisa ketemu SCTV dekat Komdak. Palmerah menguasai
lebih dari 90 persen materi yang dibaca dan ditonton warga Indonesia (survei International Republican Institute, Desember 2003).

Pemahaman ini dibangun oleh ideologi bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah produk final. Buntutnya, wartawan-wartawan Palmerah, baik itu yang berbendera Metro TV atau Pontianak Post, TV7 atau Riau Post, seakan-akan menganggap bahwa masalah GAM tidak ada. Mereka lebih suka meributkan isu adopsi anak Aceh oleh orang Kristen. Ini mindset dari orang Palmerah. Mereka sulit menjadi independen dari identitas-identitasnya, baik etnik, agama, bahasa apalagi kebangsaan.

Keterkejutan Anda membaca pernyataan SIRA, yang intinya minta Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menyelesaikan masalah Aceh, ya wajar-wajar saja.
Konsumsi Anda kan media Palmerah.

Saya menikmati membaca keterkejutan itu. Terima kasih.

andreasharsono said...

From: Zamira Elianna Loebis
To: pantau-komunitas@yahoogroups.com
Sent: Friday, January 07, 2005 8:12 AM
Subject: SIRA: PBB Harus Memediasi Konflik Politik Di Acheh

Mas Andreas, wow!

Cepat sekali anda menyimpulkan bahwa mas Ahmad Su'udi adalah "konsumen media Palmerah", apa iya sesederhana itu? Apalagi kalau disimpulkan bahwa
beliah "belum sadar" atau "belum tahu" bahwa mayoritas warga Aceh menghendaki referendum.

Kebetulan kok wilayah2 yang anda sebut - Pidie dan Lhokseumawe (saya mungkin masih akan berdebat tentang Sabang) - kan memang wilayah GAM, jadi
pasti saja mau referendum. Mudah-mudahan saya juga tidak dicap "konsumen media Palmerah" di sini. Saya tidak anti referendum (pihak SIRA juga boleh marah pada saya, tapi ketika mengumandangkan referendum itu dan memobilisasi rapat 2 juta orang itu, apa tidak tanpa intervensi GAM?) tapi - mungkin karena beban sejarah, dan juga alasan pribadi, alm kakek saya
kebetulan dulu dokter umum di Peureulak jaman penjajahan Belanda dan masa kecil alm ibu saya dilewatkan di sana - saya kok masih berharap bahwa
orang Aceh masih mau bergabung dengan saya, yang tidak pernah percaya bahwa identitas keindonesiaan saya sudah final. Keluarga saya toh juga mengalami trauma pembantaian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia baru paska-1945 terhadap kelompok-kelompok bangsawan Melayu dan non-etnis Karo di wilayah Berastagi, Langkat, Deli dan sekitarnya.

Terus terang, saya merupakan salah satu pihak yang sangat optimis dengan masa depan Aceh yang lebih baik setelah reformasi. Saya sangat berharap
saat itu merupakan titik balik bagi Aceh. Tapi kan waktu itu yang bikin blunder bukan hanya pihak Jakarta, tapi juga pihak GAM. Artinya, pihak GAM juga toh tidak punya semangat juga untuk mementingkan kepentingan rakyat. Seingat saya, reportase yang saya lakukan prior to reformasi lebih memperlihatkan bahwa rakyat Aceh ingin keadilan, bukan ingin lepas dari Indonesia. Tapi yang tidak bisa disangkal ya memang Jakarta tak kunjung memberi keadilan itu, yang membuat tuntutan keadilan diterjemahkan menjadi tuntutan kebebasan dari Jakarta.

Saya mengerti isi surat SIRA, lha seharusnya memang surat mereka berbunyi demikian, tapi saya tidak terlalu percaya lagi bahwa SIRA memang masih
mewakili suara mayoritas rakyat Aceh. Dalam keadaan paska bencana seperti ini, saya juga mengerti isi surat saudara Ahmad Su'udi, karena kenyataan di lapangan ya memang begitu. Kalau beberapa orang menyayangkan kok para selebritis menjadikan Banda Aceh menjadi tujuan wisata, sebetulnya hal yang sama juga dilakukan oleh orang-orang Aceh dari luar Banda, yang ramai-ramai menonton (bahkan berpose di depan) jenazah bergelimpangan, rapi dan wangi, lalu menghilang setelah foto-foto, meninggalkan relawan dari luar Aceh bekerja. Dan, ketika melihat wartawan asing yang cakep2, berebut berfoto bersama mereka. Tiap hari di bandara, karena begitu banyak pesawat yang mendarat dan tinggal landas, berjubel orang menonton berbaju rapi seperti menonton airshow.

Tapi itu bukan masalah besar. Barangkali yang lebih penting, kita harus sama-sama ikut memikirkan, Aceh seperti apa yang akan dibangun nanti. Notabene, sebagian (besar?) masyarakat yang selamat dari bencana kemarin mungkin justru kalangan GAM, karena kebetulan mereka berada jauh dari bibir pantai. Jelas-jelas Jakarta tidak akan setuju dengan referendum, if not for this particular reason. SIRA barangkali punya konsep untuk membayangkan Aceh di masa depan untuk ditawarkan? Ini kan kesempatan emas untuk membangun Aceh kembali, dan saya punya harapan baru seperti setelah reformasi/1998. Sekali-sekali barangkali SIRA boleh mengkonsumsi media
Palmerah supaya dapat 'masukan'(??).

andreasharsono said...

From: Andreas Harsono
To: pantau-komunitas@yahoogroups.com
Sent: Saturday, January 08, 2005 8:16 AM
Subject: SIRA: PBB Harus Memediasi Konflik Politik di Acheh

Zamira yang baik,

Terima kasih untuk sharing informasi dan pengalaman keluarga Anda di Sumatra. Saya tak menyangka kalau keluarga Loebis juga mengalami pembantaian yang dilakukan oleh laskar-laskar Republik Indonesia 1945 terhadap kelompok-kelompok bangsawan Melayu dan non-etnis Karo di wilayah Berastagi, Langkat, Deli dan sekitarnya sesaat sesudah 1945.

Namun saya tak bisa berkomentar soal harapan Anda agar "Acheh" mau tetap berada dalam keluarga Republik Indonesia ala 1945. Saya hanya seorang wartawan, mungkin juga kritikus media, dan pentingan saya hanya memberikan informasi yang benar kepada audiens saya. Kalau meminjam argumentasi dari orang-orang yang pernah saya wawancarai, orang-orang yang berkepentingan dengan proyek Aceh dan proyek Indonesia, mereka kebanyakan pesimis.

Soal apakah Sentral Informasi Referendum Acheh mewakili rakyat Aceh atau tidak, ini juga susah diperdebatkan, sama susahnya mengatakan apakah Tentara Nasional Indonesia, bahkan Dewan Perwakilan Rakyat, mewakili rakyat Aceh? Pembuktiannya, ya seharusnya lewat referendum itu sendiri, tapi ini khan ditakuti oleh Jakarta bukan? Mereka takut Aceh lepas macam Timor Timur pada 1999.

Tapi sudahlah. Saya tak mau memperpanjang isu soal Aceh atau Acheh. Saya hanya berharap wartawan Palmerah bekerja lebih baik agar audiens mereka mendapat informasi yang benar. Jangan sampai pengalaman traumatis dari 1945 hingga 2005, mulai dari pembantaian bangsawan Melayu di Sumatra Timur hingga pembantaian orang Timor di Timor Lorosae pada 1999, dari Ambon hingga Poso, dari Sambas hingga Papua, terulang terus-menerus. Terus-terang saya pesimis dengan kinerja media Palmerah. Tapi berharap boleh bukan?