Thursday, August 20, 2020

Dari Facebook Martin Aleida soal "Race, Islam and Power"


Tiga minggu saya kehilangan kesempatan untuk membujuk tulang punggungku di kolam renang, karena tak bisa mampir di kediaman Andreas Harsono. Nyeri tak terobati. Namun hati dia beri kesempatan mengapung di dalam 280 halaman buku yang dia rangkai dalam 15 (lima belas!) tahun. 

Putra Jember yang ber"agama"kan jurnalisme itu membawa saya dalam pengembaraan yang jauh untuk mengenali sudut-sudut negeri yang pantainya tak sempat saya singgahi, walau sebagai wartawan saya sudah pernah mendarat di daratan sejauh benua Amerika. 

Andreas, lewat kata-katanya di buku terbitan Monash University, Australia, ini seperti membawa masing-masing sejumput tanah dari pulau-pulau yang daratan dan pantainya berdarah-darah oleh konflik yang mempermalukan mereka yang menunggangi "nasionalisme" untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. 

Konflik, seperti yang ditulis Andreas, yang disutradarai kekuasaan yang "tidak mampu" atau "tidak ingin" melerainya untuk tujuan kekuasaan walau itu berarti hilangnya riburan, ribuan nyawa, saudaranya sendiri.

"Andreas Harsono is a human rights defender .... He dares to take the risk - of arrest, detention, even murder - to write what he believes and how Indonesia should act on these human rights abuses. This book is all about that." Begitu blurb yang ditulis Filep Karma, putra Papua dan aktivis kemerdekaan Papua Barat, yang pernah dipenjara 11 tahun di Jayapura. Karma benar: Andreas pernah dicari sampai Jakarta oleh dua orang dari wilayah konflik dengan membawa parang panjang. 

Andreas menulis dengan ketajaman mata dan hati. Kaya dengan detail dan melengkapinya dengan riset kepustakaan, memberikan teladan bagaimana seharusnya kata-kata harus dijaga dengan tidak pernah meninggalkan kesan bias, dosa utama dalam "agama" yang bernama jurnalisme.

Berenang di lembar-lembar buku ini mungkin banyak pembaca yang tidak sadar, paling tidak saya, bahwa Hatta menolak Piagam Jakarta (yang kemudian oleh kaum intoleran menjadikannya berhala yang mencemari Pancasila). Saya juga diingatkan bahwa Hatta tidak setuju Irian Barat dimaksukkan sebagai bagian dari wilayah Republik.

Saya terperanjat manakala Andreas menyebutkan Z. Afif di antara sumber dari mana dia memahami nasionalisme Aceh. Z. Afif, anggota Lekra, kawan saya. Dia menulis kecaman terhadap Manifes Kebudayaan di Harian Rakjat sebelum G30S. Saya ingin mengatakan kepada kawanku itu, apakah dia tidak sudi memperkaya pikiran dan sikapnya, karena Goenawan Mohamad dalam kuliah umumnya di Teater Utan Kayu pertengahan 2019 menjelaskan bahwa Manifes itu tidak ditujukan kepada sesiapa kecuali SOKSI (bukan Sobsi!) yang mengharapkan dukungan dari GM dan teman-teman seniman-budayawannya dalam menghadapi situasi politik pada saat itu. 

Afif terdampar sebagai eksil di Swedia (di mana Andreas menemuinya) tak lama setelah dia ikut dalam perayaan lahirnya Republik Rakyat Tiongkok, 1 Oktober 1965. 

Wahai kawanku Afif, sejarah terkadang berkelok di luar kesadaran kita. Ketika saya melakukan riset eksil di beberapa negara Eropa barat, saya sedikit pun tak tersentak ketika semua eksil yang saya temui menghukummu dengan kata-kata mirip sumpah-serapah karena Afif berpihak dan dekat dengan Hasan Tiro, ketika pemberontak itu sama seperti engkau meminta suaka di Swedia. Para pengecammu masih terkurung dalam tempurung cara berpikir yang terlambat setengah abad. 

Terima kasih, Andreas, ini salah satu buku yang tak satu kata pun saya tinggalkan karena kemajalan kata dan pikiran. Sungguh catatan perjalanan yang membawa saya untuk mengenal tumpah darah saya yang selalu berdarah-darah. Karena imajinasi dan keinginan untuk membawa cahaya kepekaan kemanusian, dan bukan senjata, untuk menerangi terowongan yang gelap ini, masih belum berbunga. Bukumu menenteramkan, melebihi kecipak air di kolam renangmu. Salam sehat. 

No comments: