Monday, July 22, 2019

Ubud Festival: Lebih Dekat dengan Andreas Harsono

Tiket Early Bird dari Ubud Writers and Readers' Festival telah tersedia dan nama-nama pembicara tahap awal kami telah diumumkan. Pada seri ini, kami berbincang dengan penulis, seniman, dan pegiat untuk mengenal mereka lebih dekat sebelum mereka bergabung Oktober mendatang. Minggu ini, kami berbincang dengan Andreas Harsono, peneliti yang mengangkat golongan minoritas dan terpinggirkan di Indonesia. Buku terbarunya berjudul Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.

"Makin bermutu jurnalisme di suatu masyarakat, makin bermutu pula masyarakat 
tersebut. Sebaliknya, makin buruk mutu jurnalisme dalam suatu masyarakat, 
makin buruk pula mutu masyarakat itu."


Apa yang membuat Anda mendalami dunia jurnalisme, menjadi seorang jurnalis sekaligus peneliti?


Saya lahir pada 1965 di Pulau Jawa –sebuah periode dan tempat dimana mulai pembunuhan terhadap orang komunis di Indonesia, setidaknya 500.000 orang-- serta diskriminasi dan kekerasan terhadap siapa pun yang dianggap komunis. Saya lahir dari keluarga Tionghoa. Mereka merupakan kelompok yang sering jadikan kambing hitam dalam sejarah Hindia Belanda maupun Indonesia.

Secara alamiah, saya tumbuh dengan ketakutan dan itu menimbulkan rasa ketidaksukaan terhadap diskriminasi, rasialisme maupun sektarianisme. Saya ingin melawan, menentang bahkan ingin memberontak namun tanpa kekerasan, tanpa sikap diskriminatif, sektarian atau rasialis. Kebetulan guru-guru saya menilai saya punya bakat menulis. Menulis adalah mencari kebenaran, melawan propaganda, melawan kebencian serta memperjuangkan keadilan.

Pada 1991, ketika lulus dari Universitas Kristen Satya Wacana –orang Tionghoa pada zaman Orde Baru dibatasi masuk sekolah negeri—saya dapat ilmu dan pengetahuan lumayan dari dosen-dosen bermutu macam Arief Budiman atau George Aditjondro. Mereka mendorong saya menjadi wartawan.

Saya pun bekerja sebagai wartawan, mulanya dengan Jakarta Post, lalu The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur), dan Pantau (Jakarta). Pada 2008, saya bekerja sebagai peneliti untuk Human Rights Watch. Kerjanya, banyak lakukan riset, membaca, wawancara dan menulis.

Apa karya yang paling makan waktu yang Anda lakukan selama berkarya dalam tiga dekade ini?

Saya menghabiskan waktu 15 tahun, dari 2003 sampai 2018, buat menulis buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia. Persoalannya sederhana. Saya tak punya waktu guna menulis karya ini. Saya punya pekerjaan tetap. Mulanya, selama tiga tahun, saya berjalan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Ndana, dimana saya mendatangi lebih dari 90 lokasi berupa kuburan massal dan berbagai tempat kekerasan besar di Indonesia. Ini termasuk Aceh, pembantaian etnik Madura di Kalimantan, Pulau Jawa, Sulawesi, Ambon maupun Halmahera, sampai Timor Leste dan Papua. Saya membaca berbagai buku, laporan dan statistik soal kekerasan di berbagai tempat tersebut.

Human Rights Watch membuat saya lebih punya materi dan perjalanan untuk mendalami siklus kekerasan di Indonesia. Mengapa banyak tokoh di Indonesia sering memakai etnik dan agama, terutama Islamisme, guna meraih kekuasaan –dari pekerjaan pemerintahan sampai izin perampasan lahan buat tambang atau perkebunan. 

Putaran terakhir adalah cuti selama tiga bulan pada 2017 guna menyelesaikan buku. Mulanya, saya menulis 125.000 kata, dipotong 35.000, ditambah lagi 10.000 kata. Buku ini terbit Mei 2019. Kalau Anda habiskan waktu 15 tahun buat sebuah buku, saya kira, ingatan akan pekerjaan ini selalu membekas di kepala Anda.

Adakah pesan yang ingin disampaikan untuk mereka yang berminat menekuni media dan jurnalisme?


Bila Anda mempelajari sejarah demokrasi, Anda akan tahu bahwa ia terkait dengan terbentuknya opini masyarakat. Awal jurnalisme muncul sesudah mesin cetak ditemukan di Frankfurt. Suratkabar bermunculan di Eropa. Ia memberikan benih demokrasi. Singkatnya, makin bermutu jurnalisme di suatu masyarakat, makin bermutu pula masyarakat tersebut. Sebaliknya, makin buruk mutu jurnalisme dalam suatu masyarakat, makin buruk pula mutu masyarakat itu. Laku wartawan sesungguhnya laku seorang penjaga demokrasi. Wartawan punya tanggungjawab sosial ikut menjaga demokrasi, ikut memajukan masyarakat. Guru jurnalisme Bill Kovach menulis bahwa, jurnalisme dan demokrasi lahir bersama, celakanya, mereka juga mati bersama.

Siapa yang Anda harapkan menjadi peserta panel diskusi Anda di UWRF19?


Saya berharap beberapa pemikir Islam dari Pulau Jawa tampil di Ubud –Akhmad Sahal, Burhan Muhtadi, Lutfhi Assyaukanie, Nadirsyah Hosen, Sumanto Al Qurtuby, Ulil Abshar Abdalla, dan lain-lain. Pemikiran soal Islam di Indonesia, adalah salah satu perdebatan paling menarik di dunia. Mereka bergumul dengan persoalan intoleransi atas nama Islam di Indonesia. Khalayak festival di Ubud bisa mendapat banyak bila orang-orang ini tampil dan bicara.

Kalau dari luar Indonesia, saya berharap Mustafa Akyol dari Turki bisa muncul di Ubud, Bali. Dia menulis buku, Islam Without Extremes: A Muslim Case for Liberty serta menjadi kolumnis buat dua harian Turki mapun New York Times. Akyol seorang Muslim, membela Islam dalam pengertian yang luas, serta mengecam penggunaan Islam buat kekerasan dan kejahatan. Argumentasinya dari kekayaan pustaka dari dunia Islam. Menarik sekali bila bisa bicara dengan Mustafa di Bali.

Manakah karya Anda yang paling Anda rekomendasikan untuk diketahui oleh mereka yang sebelumnya belum terlalu mengenal karya-karya Anda?

Mungkin karya yang disukai kalangan wartawan adalah Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Antologi ini –disunting bersama Budi Setiyono-- menerangkan berbagai pertimbangan dan beberapa contoh bagi siapa pun yang ingin menulis panjang, setidaknya 15.000 kata, dengan pendekatan jurnalistik. Sayangnya, perusahaan yang menerbitkan buku ini, tak tertarik mencetak ulang tanpa kami membeli minimal 1.000 eksemplar. Kini, buku ini dibajak dan dijual lapak online.

Adakah proyek atau karya terbaru yang sedang Anda kerjakan saat ini? Bisakah diceritakan sedikit kepada kami?


Saya sedang membaca dan memilih esai-esai, yang saya nilai mengubah sejarah Hindia Belanda dan Indonesia, pada abad XX.

Artinya, esai-esai ini ditulis dengan ketajaman intelektual dan keberanian moral. Saya ingin menjadikan sebagai satu buku, tentu seizin mereka atau keturunan mereka. Saya baca dari Soekarno sampai Soetan Sjahrir, dari Pramoedya Ananta Toer sampai Hasan di Tiro. Saya baca Arief Budiman maupun Y.B. Mangunwijaya.

Soekarno muda, mungkin paling terkenal dengan esai, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” terbitan 1926. Sjahrir terkenal dengan pamflet, “Perdjoangan Kita” pada 1945.

Saya hampir selesai membaca seluruh esai Abdurrahman Wahid. Saya memilih opini “Tuhan Tidak Perlu Dibela” terbitan 1982 sebagai karya Wahid yang paling banyak dibaca orang. Goenawan Mohamad menulis kolom, setiap minggu sejak 1977, untuk Tempo dengan judul “Catatan Pinggir.” Saya kira kolom berjudul “The Death of Sukardal” --tukang becak protes dengan bunuh diri di Bandung pada 1986-- paling sering disitir orang.

Dari perempuan, tentu saya harus memilih dari surat-surat Kartini atau kolom Julia Suryakusuma di harian Jakarta Post. Julia menulis dalam bahasa Inggris. Banyak juga karya penting ditulis dalam bahasa Arab dan Belanda. Saya tak menguasai kedua bahasa tersebut. Saya suka sekali membaca karya-karya ini. Ia membuat saya berjalan mengarungi waktu dan membayangkan suasana ketika mereka memilih untuk berani dan bikin analisis tajam. Siapa tahu bila buku semacam ini berguna buat demokrasi di berbagai daerah di Indonesia.

Facebook: https://www.facebook.com/andreas.harsono
Twitter: @andreasharsono
Instagram: @andreasharsono

No comments: