Thursday, December 01, 2011

Partai Lokal Solusi di Papua?


Tanya Jawab dengan Murizal Hamzah dari Berita Satu

Berita Satu menurunkan wawancara singkat dengan saya soal partai lokal dibentuk di Papua. Saya kira berita menarik. Murizal Hamzah dari Berita Satu mulanya minta tanggapan saya dalam bentuk tanya-jawab. Ini berkenaan dengan berbagai macam upacara peringatan 50 tahun proklamasi negara Papua Barat pada 1 Desember 1961-1 Desember 2011. Murizal adalah wartawan asal Sigli, Aceh. Dia kenal baik dengan Gerakan Acheh Merdeka. Jawaban panjang ini mungkin bisa melengkapi berita tersebut.

Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran HAM di Papua?

Sejak 1998, Human Rights Watch mendokumentasikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Papua dalam beberapa laporan. Mereka antara lain laporan berjudul Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners (2010), Out of Sight: Endemic Abuse and Impunity in Papua's Central Highlands (2007), Protest and Punishment: Political Prisoners in Papua (2007) dan sebagainya. Mereka beragam, mulai dari berbagai kasus tapol Papua hingga kekerasan di Pegunungan Tengah, daerah paling sulit di Papua.

Paling umum, pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, termasuk ekspresi menyatakan hendak merdeka dari Indonesia. Simbolnya adalah bendera Bintang Fajar. Banyak sekali orang Papua dipukul, disiksa, dipenjara bahkan dibunuh gara-gara mengibarkan bendera Bintang Fajar.

Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan Bintang Fajar bisa dikibarkan asal bersama bendera Indonesia. Namun policy tersebut berumur pendek bersama dengan pendeknya pemerintahan Wahid. Pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 77 soal logo daerah dimana pengibaran bendera Bintang Fajar –maupun bendera GAM dan RMS-- dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum. Human Rights Watch berpendapat ini sebenar-benarnya bertentangan dengan UU Otonomi Khusus Papua maupun International Convenant on Civil and Political Rights. Indonesia ratifikasi ICCPR pada 2005 sehingga Indonesia seharusnya taat pada ICCPR. Bila Presiden Yudhoyono punya khayalan macam Wahid, saya kira, persoalan bendera takkan makan korban begini banyak.

Siapa saja yg melakukan pelanggaran HAM di sana?

Kebanyakan pelaku polisi, tentara, jaksa maupun sipir penjara. Para pelaku sering kebal hukum. Mereka banyak tak diselidiki bila melakukan pelanggaran –termasuk kekerasan. Ada beberapa yang dihukum namun hukuman ringan, termasuk tentara dari Batalyon 753 Nabire, salah satu langganan kejahatan hak asasi manusia, yang hanya dihukum karena "tidak taat perintah atasan" walau mereka melakukan penyiksaan terhadap petani Papua maupun pembunuhan terhadap seorang pendeta bernama Kindeman Gire.

Kasus penyiksaan petani tersebut –Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire—jadi dikenal karena ada video yang merekam kejadian pada Mei 2010. Kiwo ditelanjangi dan dibakar kemaluannya. Kindeman Gire ditembak dan dipotong kepalanya. Ada juga 17 polisi di Jayapura --termasuk kepala polisi Jayapura Imam Setiawan-- hanya dapat teguran tertulis walau menggunakan kekerasan berlebihan sampai ada tiga orang meninggal dan 51 korban penganiayaan saat menangkap sekitar 300 orang Papua pada Kongress Papua III Oktober 2011. Anda bayangkan kalau ada tentara membunuh seorang ulama Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa. Apakah mereka hanya akan dihukum karena "tidak taat perintah atasan"?

Seorang nona mengikuti upacara peringatan 1 Desember 1961 di Nabire. Kegiatan ini diikuti ribuan orang Papua dan berjalan damai. ©Yermias Degei

Apa solusi untuk menghentikan pelanggaran HAM di Papua?

Pemerintah Indonesia, terutama polisi militer, harus menegakkan hukum. Para anggota polisi dan tentara yang melakukan kejahatan harus dihukum dengan benar. Salah satu persoalan besar di kalangan warga Papua adalah diskriminasi. Mereka merasa sering mendapatkan kekerasan sejak Indonesia mengelola Papua Barat pada 1963. Namun para pelaku kekerasan justru naik pangkat.

Solusi lain adalah membuka Papua terhadap diplomat internasional, wartawan dan NGO internasional. Ini akan membuat pemantauan terhadap para aparat Indonesia jadi lebih efektif. Sekarang wartawan internasional praktis tidak bisa masuk ke Papua secara legal tanpa izin dari pemerintah Indonesia. Tahun lalu hanya dua media diizinkan masuk: BBC dan sebuah media Perancis. Selama tiga tahun memantau keadaan di Papua, saya kira, kesulitan para diplomat dapat izin masuk ke Papua jadi keluhan terbuka di Jakarta. Mereka harus melamar surat jalan. Ini berlaku sejak 1960an.

Saya juga perhatikan ada propaganda beberapa kalangan Indonesia untuk menyalahkan Amerika Serikat soal Papua. Saya geli kalau dengar argumentasi ini karena Presiden John F. Kennedy dari Amerika Serikat adalah pendukung penting masuknya New Guinea (Papua) ke Indonesia dalam New York Agreement 1962. Amerika Serikat, tentu saja, punya interest dengan emas di tambang PT Freeport Indonesia. Namun menyalahkan Amerika Serikat tanpa mau melihat kesalahan di pihak Indonesia ibarat orang buta mengatakan gajah berbentuk ular karena ... si buta hanya memegang ekor gajah.

Bagaimana peran elemen sipil di sana?

Kalau kita baca dokumen-dokumen militer Indonesia, kita akan tahu bahwa masyarakat sipil di Papua lebih dikuatirkan militer daripada gerilyawan Papua. Artinya, mereka berperan besar dalam memantau kegiatan militer dan polisi Indonesia. Dalam pergerakan melawan Indonesia, ada beberapa organisasi penting a.l. Dewan Adat Papua, West Papua National Coalition for Liberation, West Papua National Authority, Presidium Dewan Papua. Dulu tokoh kuat Papua adalah Theys Eluay. Namun dia dibunuh Kopassus.

Sekarang tokoh tersebut berada dalam diri Forkorus Yaboisembut, ketua Dewan Adat, yang ditahan pada 19 Oktober 2011. Yaboisembut, seorang tua yang sangat dihormati di kalangan aktivis Papua. Dia diangkat sebagai presiden Negara Republik Federal Papua Barat pada 19 Oktober 2011.

Namun jangan lupa di Papua juga ada organisasi-organisasi anak muda, yang bergerak tersendiri, termasuk Komite Nasional Papua Barat pimpinan Buchtar Tabuni, mapun Garda Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua. Ini belum lagi organisasi-organisasi kecil di berbagai kota macam Nabire, Manokwari, Fakfak, Sorong, Merauke maupun Bandung, Jakarta, Jogjakarta, Makassar dan Manado.

Apa solusi yang ditawarkan kepada NKRI untuk menghentikan konflik di Papua?

Pemerintah Indonesia baru saja menunjuk Farid Husain sebagai utusan Khusus Presiden Yudhyono untuk bicara dengan Organisasi Papua Merdeka. Pemerintah juga membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) guna mengatasi berbagai kesulitan di Papua. UP4B dibuat dengan meniru Badan Rehabilitasi & Rekonstruksi & di Aceh dan Nias. Saya menilai pembentukan ini tidak realistis dalam melihat persoalan di Papua. BRR bisa dibentuk karena ada perjanjian Helsinki dengan GAM. Dan GAM mau berunding karena ada tsunami. Tanpa ada tsunami di Aceh takkan ada Helsinki.

Saya bukan senang ada tsunami di Aceh atau berharap ada tsunami di Papua. Maknanya, tsunami menciptakan perhatian dahsyat dari dunia internasional. Ada ratusan lembaga internasional terlibat dalam kerja perdamaian dan rehabilitasi Aceh. Mulai dari Uni Eropa hingga World Bank, dari Bill Clinton hingga Jacky Cheung. Di Papua tak ada tsunami thus tak ada perhatian dunia internasional. Tanpa keikutsertaan dunia internasional, saya kira, tidak realistis untuk berunding dengan elemen-elemen Papua Merdeka. Di Papua, bahkan lembaga internasional diusir satu demi satu, termasuk International Committee of the Red Cross (ICRC), ironisnya, yang memainkan peran penting di Aceh.

Beberapa tokoh Papua menolak solusi dengan UP4B. Namun saya mau menunggu. Neles Tebay, seorang cendekiawan Papua, minta berikan kesempatan kepada UP4B. Saya hendak mengamati perkembangan kerja Farid Husain dan UP4B. Isu hak asasi manusia, tentu saja, adalah isu sentral dalam solusi soal Papua. Ukuran Human Rights Watch, tentu saja, penghormatan terhadap hak manusia Papua.

Apakah ada kemungkinan mengikuti seperti solusi damai di Aceh dengan membentuk partai lokal dll?

Ide membentuk partai lokal seperti di Aceh termasuk solusi yang akan menarik perhatian warga Papua. Ide partai lokal, saya perkirakan, akan menciptakan antusiasisme baru di Papua walau saya tak yakin semua elemen Papua bersedia menerima partai lokal. Beberapa organisasi, tentu saja, ingin Papua Barat menjadi negara berdaulat dan keluar dari Indonesia. Mereka tidak percaya terhadap negara Indonesia.

No comments: