Friday, May 27, 2011

Sarapan Pagi


SARAPAN pagi minggu ini berupa pisang rebus serta satu cangkir teh jagung. Ada juga yang berupa tiwul plus lupis dan secangkir teh. Setiap pagi, saya biasa disediakan sarapan ringan. Isteri saya, Sapariah, cukup strict mengatur diet saya. Dia ingin saya makan sehat serta porsi terukur.

Pisang rebus selalu dicarikan "pisang burung" dengan kepadatan tinggi. Rasanya manis. Sapariah berasal dari keluarga petani. Dia sangat peka terhadap kualitas pisang. Bila ada pisang "gendut-gendut" dia pasti membeli. Dia juga selalu berhenti bila lihat ada petani jual pisang di pinggir jalan. Dia cenderung membeli dari petani daripada di pasar apalagi lewat supermarket.

Pisang rebus dan teh jagung. Saya juga sering dapat cangkir alias mug dari berbagai macam kawan. Mug ini pemberian dari kawan yang bekerja di Human Rights Watch di New York. Sarapan lain berupa suratkabar. Saya berlangganan beberapa suratkabar di Jakarta. Ini kebiasaan orang tua. Saya kira generasi yang akan datang sudah takkan membaca harian. ©Andreas Harsono

Tiwul adalah sarapan dari singkong yang dikeringkan dan ditumbuk halus. Ia lalu dikukus dan diberi gula aren. Ia dikombinasi dengan lopis warna hijau. Isinya, parutan kelapa. Ketika kecil, di daerah Jember, kami biasa juga makan orok-orok, semacam tiwul tapi dari tepung beras. Saya punya kesan tiwul adalah istilah Jawa. Orok-orok dari terminologi Madura. Atau saya salah? ©Andreas Harsono

Setiap pagi saya juga biasa membaca suratkabar. Saya tak pernah setia pada satu suratkabar. Belakangan saya berlangganan harian The Jakarta Globe, Koran Tempo serta dapat lungsuran International Herald Tribune. Dulu saya juga biasa berlangganan The Jakarta Post (sejak 1984 di Salatiga dan belakangan di Jakarta) namun membaca The New York Times ketika tinggal di Cambridge (1999-2000) dan The Phnom Penh Post ketika tinggal di Phnom Penh (1993).

Setiap kali berkunjung ke kota lain, saya tentu sarapan sambil membaca koran setempat. Saya sangat menyukai irama pagi hari dimulai dengan sarapan dan baca koran. Sekarang sudah zaman internet. Saya kuatir kebiasaan baca koran ini takkan bisa bertahan. Philip Meyer dalam buku The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information Age memperkirakan suratkabar terakhir terbit pada April 2040.

Entah bagaimana zaman ketika tak ada suratkabar? Pepohonan lebih banyak diselamatkan tentu. Saya mungkin takkan mengalami zaman itu. Namun hari ini rasanya sarapan tak lengkap tanpa suratkabar.

Sarapan apa Anda pagi ini? Dan harian apa yang Anda baca?

No comments: