Wednesday, April 01, 2009

Lampu Merah dan Sebuah Dilemma


Goenawan Mohamad mengirim dua buah gambar dari harian Lampu Merah. Tanpa pesan. Hanya beberapa buah headline. Isinya, serem-serem. Harian ini adalah anak perusahaan Jawa Pos, ironisnya, dimana Goenawan ikut punya saham. Ia diterbitkan dari markas harian Indo Pos di bilangan Kebayoran Lama.

Alasan para pengelola media esek-esek selalu klasik. "Pembaca perlu kok" atau "Pasarnya terbuka." Saya kira perlu ada mekanisme distribusi harian macam ini. Mungkin tak dibolehkan dijual di jalanan dimana ada kemungkinan anak-anak membaca. Mungkin hanya boleh berlangganan? Namun saya tak setuju media macam ini dibredel.


Saya mengerti bahwa kebebasan pers sangat penting untuk sebuah masyarakat. Demokrasi memerlukan kebebasan pers. Makin bermutu suatu jurnalisme dalam masyarakat, makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat itu, sehingga makin besar pula peluang mereka untuk meningkatkan mutu kehidupan mereka.

Namun kebebasan pers juga membawa penumpang gelap. Sensasional. Seks. Kejahatan. "Anunya Dimuat Baru Diperkosa." Semua yang norak, yang dibawakan harian Lampu Merah, selalu ikut dalam kereta kebebasan pers. Jawa Pos termasuk salah satu konglomerat media yang membiarkan sensasionalisme masuk ke ruang redaksi mereka.


CEO Jawa Pos adalah Dahlan Iskan. Dia mantan wartawan mingguan Tempo. Dia kelahiran Magetan tapi besar di Samarinda. Kini Iskan juga ketua Serikat Penerbit Suratkabar. Baru-baru ini dia menerbitkan buku soal operasi transplantasi ginjal di Tiongkok. Operasi berjalan lancar. Saya duga Dahlan Iskan adalah orang yang bertanggungjawab terhadap munculnya gaya Lampu Merah.

4 comments:

Admin said...

sulit untuk bersikap seperti apa menyikapi kemunculan harian lampu merah... tp saya melihat media seperti ini tidak perlu ada, kalau pun harus ada sebaiknya dibuat satu halaman khusus di harian indo pos, terbit tiap pekan, tidak dalam bentuk media sendiri... msh banyak hal lain yg layak diliput....

Anab Afifi said...

Saya sering mendengar kalimat yang kurang lebih seperti ini:"Kalau kita bikin koran yang tidak laku buat apa?". Konon itu muncul dari lidah Dahlan Iskan.

Tampaknya, aliran jurnalisme itu menjadi tidak penting. yang penting bagaimana koran dapat menghasilkan keuntungan. Jadi kalao LAMPU MERAH yang banyak orang "jijik" menyentuhnya itu, kalau bisa mendulang uang ya halal aja.

Dia memang pedagang tulen. Pinter cari duit. Dan hampir semua bisnis yang ditangani moncer. Semua orang juga tahu, kini mainannya bukan koran lagi, tapi listrik dan sejumlah industri lain.

Saya teringat ketika saya masih SD dulu, pada akhir tahun '70 an. Suatu hari Dahlan datang ke sebuah desa bernama Rejosari, Kecamatan Kebonsari, di kawasan Madiun selatan, Jawa Timur. Dia bertandang ke rumah gurunya sewaktu dia belajar di Madrasah Aliyah dulu. Ahmad Dimyati. Agaknya pria ini, salah satu guru yang dia segani, karena dialah orang yang pertama-tama mengenalkan dunia jurlanistik kepada Dahlan.

Waktu itu dia baru dari Kalimantan. Dia bilang:"Pak, saya mau ke Jogja. Mau kuliah..". Lalu sang guru itu menjawab:"Buat apa kamu ke Jogja. Itu kota kecil. Kamu ke Surabaya saja kelola Jawa Pos itu. Dengan kamu jadi wartawan juga berarti kuliah. Bahkan lebih dari sekedar kuliah".

Maka, mulai 1983, Dahlan Iskan memang mengelola koran yang saat itu oplahnya hanya sekitar 6000 eks. Dan ternyata sukses. Sepak terjang sang murid ini memang membanggakan gurunya.

Suatu ketika, Juni 2002, ketika sang guru ini sedang menghitung hari menjemput maut karena kanker hati (kebetulan penyakit yang sama dengan yang pernah diderita Dahlan Iskan), Dahlan adalah nama yang sering disebut-sebut oleh guru sekolah itu. Sepertinya dia rindu untuk sekedar berbicara dengan muridnya itu.

Semasa sekolah Dahlan punya dua teman lain yang juga menjadi perhatian gurunya itu. Sujud dan Arifin. Semua orang juga tahu kalo Dahlan, Sujud, dan Arifin itu semacam trio. Di hari penguburan sang guru itu, keduanya bertanya:" Dahlan mana? Kok gak ketok?".

Pertanyaan yang tidak perlu dijawab.Semua orang kampung itu juga tahu. Dahlan bagai tidak menjejak bumi.

Pada tahun 2006, ketika Dahlan mengummpulkan semua Pemred koran di bawah JP Group se Indonesia di Gedung Graha Pena Surabaya, dia bertanya kepada Kanzul Fikri, Pemered Radar Bogor:"Gimana kabar Bapak?". Yang dia maksud adalah gurunya itu. Kanzul menjawab dengan denyum getir:"Dia sudah meninggal Pak." Dahlan hanya menjawab:" Oh..". Tak jelas apa maknanya.

UDAY RAYANA said...

Wah, bung Anab ternyata tahu banyak soal Dahlan ya... Baru tahu saya ternyata gurunya adalah mantan gurunya waktu SLTA dulu.

Untuk bung Andreas, salam kenal.

andreasharsono said...

Terima kasih untuk cerita Anab Afifi. Untuk Musthofa Bisri, terima kasih untuk komentar Anda. Salam kenal untuk Uday Rayana.