Tuesday, June 26, 2007

Daoed Joesoef Bertutur



Pertemuan itu sudah berlangsung lebih dari satu minggu yang lalu. Seorang bapak, seorang ibu dan serombongan tamu, peserta kursus narasi, baik yang baru maupun yang lalu.

Sabtu siang itu, kursus dilakukan di waktu yang berbeda, di tempat yang berbeda. Kali ini, sebuah rumah yang luas dan sangat asri di selatan Jakarta. Teras belakang yang merupakan tempat bekerja, sudah dirapikan menjadi tempat pertemuan sekitar 20 orang. Kursi-kursi diatur mengelilingi ruangan tersebut, dengan dua meja di tengah. Sabtu itu cerah, cenderung panas malah. Tidak ada AC di ruangan itu, hanya ada tiga kipas angin.

Di pojok, sebuah meja disiapkan sebagai tempat menaruh makanan. Setumpuk makanan kotak dari Hoka Hoka Bento yang sudah dipersiapkan Mba Fiqoh, kue coklat, kacang mete dari Kendari dan siomay bikinan Hagi ditempatkan di atas meja.

Masih bercerita tentang tulisan dan juga orang yang membuat tulisan itu. Kali ini, langsung berhadapan dengan penulis Emak, sebuah buku yang menggambarkan kearifan dan kebijaksanaan seorang ibu. Daoed Joesoef, penulis yang menjadi tuan rumah.

Berbicara dengan Pak Daoed, seperti bicara dengan "orang-orang dulu". Waktu ditanya Andreas apa kesanku terhadap Pak Daoed, aku harus mengambil waktu dan berkata, "Disiplin."

Disiplin dalam segala hal, hal kecil, hal besar, dan terutama disiplin dalam menguraikan isi kepala. Bertutur. Ini ajaran Emak, "Jangan bertutur terlalu cepat, nanti terucapkan hal-hal yang belum kau pikirkan. Kau boleh mengatakan semua, tapi ucapkanlah itu dengan teratur dan dengan bahasa yang jelas (halaman 92)." Pak Daoed mengulang ini dalam bincang-bincang kami siang itu.

Ini kelemahan terbesarku. Kalau berbicara, aku bisa loncat topik sesukaku. Detik ini bicara tentang makanan, detik kemudian berbicara tentang pesawat. Gak nyambung. Pernah ada seseorang mengkritik aku untuk itu, dan tidak aku perdulikan. Tokh, teman-temanku sudah tahu gaya bicaraku, itu pembelaanku.

Terkadang, ketika terlalu bersemangat, mulut terasa lambat bergerak. Jauh lebih lambat dari isi kepala. Saat seperti itu, aku ingin sekali bisa menumpahkan semua sekali jadi. Lepas. "Nih, baca dan lihat sendiri, barangkali itu yang ingin aku lakukan untuk bercerita.

Tapi tidak untuk Pak Daoed. Dua jam lebih dihabiskan oleh Pak Daoed untuk bertutur. Tentang banyak hal. Tentang buku. Tentang emak. Tentang Perancis. Tentang keluarga. Tentang rumah. Tentang pendidikan. Tentang banyak hal. Semua diungkapkan dengan penuturan yang disiplin, yaitu dengan teratur, jelas, dan sangat runtut.

Daoed and Sri Soelastri Joesoef (duduk di kursi) bersama para peserta kursus Yayasan Pantau, yang datang ke rumah mereka di daerah Kemang guna berdiskusi soal penulisan buku Emak. Mellyana Frederika Silalahi bersimpuh menggendong bayi. Siti Nurrofiqoh (berlutut sebelah kanan Daoed Joesoef) menulis Obrolan di Rumah Daoed Joesoef

Aku pikir, Pak Daoed orang yang bisa jadi sangat puitis, punya jiwa seni yang kuat, dan peka terhadap keindahan, dan punya kemampuan untuk merayu! Jangan berpikir buruk, karena aku pikir itu justru sesuatu yang indah. Aku pikir, laki-laki sebayaku bisa mati gaya dan kalah kata kalau harus bertarung dengan Pak Daoed untuk urusan itu. Tidak sekelas. Sangat jauh berbeda bahkan.

Ini yang membuat diskusi banyak diisi oleh gelak tawa. Juga respek! Ya, pertemuanku membuat aku menjadi sangat hormat padanya. Walaupun ada beberapa pemikiran dan tindakannya yang bisa jadi tidak aku sepakati, Pak Daoed bukan orang yang mengharamkan diskusi, proses dialektis dari berbagai pemikiran, yang berbeda sekalipun. Pak Daoed tegas, tapi bukan tanpa alasan. Tentunya, dengan bertutur.

Aku menemukan keindahan bahasa ibuku dalam Emak. Bahasa Indonesia, menurut Pak Daoed, "Bahasa yang feminin." Aku menemukan keindahan bertutur melalui Pak Daoed.

Seperti ditulis pada buku Emak (halaman ix), Daoed Joesoef memang orang Indonesia pertama yang oleh Sorbonne dianugerahi gelar doktor tertinggi dari jenisnya yaitu Doctorat d'Etat atau doktor negara, dan dengan cum laude pula (Ini cerita lucu tersendiri, karena gelar beliau itu "Drs" atau dua doktor -bidang ekonomi, satunya bidang filsafat- tapi di Indonesia gelar itu diberikan untuk strata S-1, dan karena itu Pak Daoed lebih sering tidak menuliskan "Drs"). Tetapi, sosok itu menjadi begitu "kaya" bukan karena gelar semata, tetapi karena cinta dan kasih seorang Emak.

Mellyana Frederika Silalahi peserta kursus Narasi angkatan kedua di Yayasan Pantau

1 comment:

Pojok Hablay said...

Wah, mas. Terimakasih mau berbagi cerita ini disini.