Tuesday, May 08, 2007

Menjawab Shulhan Rumaru


Saya jawab pertanyaan ujian tengah semester Anda ya. Saya jawab singkat saja. Rekan sekelas Anda dari matakuliah Bahasa Indonesia UIN Syarih Hidayatullah, Rizki Amelia, juga mengirim pertanyaan kepada saya. Saya akan jawab satu per satu sebisanya:

Bagaimana menurut Anda kinerja wartawan di Indonesia?

Pertanyaan balik saya, Indonesia yang mana? Kalau wartawan di Papua, aduh minta maaf, saya kok punya kesan negatif ya. Rata-rata menerima amplop. Biasa dibeli pejabat. Dulu kami pernah terlibat satu pelatihan wartawan di Jayapura, eh para pesertanya minta "uang saku" dari organisasi kami, yang notabene organisasi wartawan juga. Namun agar tak salah paham dengan orang Papua, saya mau sampaikan bahwa kebanyakan wartawan di Papua adalah "pendatang" --sebuah kelompok yang dianggap bagian dari kolonialisme Indonesia oleh golongan yang ingin merdeka.

Kalau wartawan di Jakarta, sangat beragam sekali, karena ada lebih dari 1,000 organisasi media di Jakarta dan wartawannya, saya duga, lebih dari 15,000 orang. Banyak yang juga minta amplop. Namun Jakarta juga banyak yang bersih. Cukup banyak media yang resmi melarang nara sumber memberi uang kepada wartawan mereka.

Namun wartawan di Aceh, saya merasa secara rata-rata kinerjanya bagus. Mereka cepat mendapatkan informasi. Jaringannya luas. Ada satu wartawan Aceh, Tarmizy Harva, yang pernah mendapat penghargaan World Press Photo. Ini penghargaan tingkat internasional. Di Pulau Jawa, tak lebih dari hitungan jari wartawan yang pernah dapat penghargaan ini. Aceh ternyata punya satu penerima World Press Photo. Jadi, ini secara general, menunjukkan wartawan Aceh, yang kebanyakan juga warga Aceh, punya kinerja baik.

Bagaimana tanggapan Anda melihat pemberitaan di media cetak yang lebih mengedepankan iklan dibanding isi berita?

Buruk sekali! Saya kira para redaktur kita, termasuk dari media yang dianggap terkemuka, perlu belajar tentang "fire wall" --pagar api yang memisahkan iklan dan isi editorial. Di Jakarta, masih sedikit media yang memakai prinsip ini. Saya sering gelisah kalau melihat halaman-halaman majalah Tempo. Iklan dan berita memakai jenis huruf sama. Tipe pewarnaan juga sama. Cara meletakkan foto juga sama. Sulit membedakan mana halaman iklan, mana halaman berita.

Masyarakat akan dirugikan bila media mencampur baur antara iklan dan isi editorial. Kepercayaan masyarakat pada media akan menurun. Proses untuk mempercayai atau tidak mempercayai suatu informasi, setidaknya menilai suatu informasi, akan tersendat. Kerusakan yang ditimbulkan, entah dalam bentuk kekerasan atau apatisme, akan besar sekali. Sangat besar.

Seberapa penting Bahasa Indonesia berpengaruh pada dunia jurnalisme?

Bahasa Indonesia khan sekarang tinggal satu-satunya bahasa yang dimiliki media kita? Saya berpendapat kemampuan tunggal dalam berbahasa dampaknya negatif terhadap jurnalisme. Imajinasi seorang wartawan terhadap audiensnya jadi tunggal. Kalau kita bisa menulis dalam dua bahasa, imajinasi kita juga akan lebih kaya daripada imajinasi satu bahasa saja.

Pada 1951, semua media berbahasa Belanda dan Mandarin, ditutup oleh pemerintah Jakarta. Kemampuan berbahasa kita juga menurun sejak kita memakai bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia sejak 1950an. Tak ada alternatif lain kecuali belajar sendiri, entah bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Jepang dan lainnya.

Pada zaman Belanda, orang yang sekolah agak tinggian dikit (setingkat SMP dan SMA), biasanya juga diajari bahasa Inggris dan Prancis. Kini kemampuan kita membaca, bicara dan menulis dalam bahasa non-Bahasa Indonesia praktis kecil sekali. Ini termasuk matinya bahasa-bahasa etnik macam bahasa Jawa, Sunda, Batak, Madura dan sebagainya.

Imajinasi jurnalisme kita akhirnya juga jadi tunggal. Zaman Soeharto, media kita jinak-jinak merpati mengikuti petunjuk dari Departemen Penerangan maupun polisi-polisi bahasa. Orang disiksa bahkan dibunuh oleh negara disebut "diamankan." Lantas Gerakan Pengacau Keamanan dilabelkan pada Gerakan Acheh Merdeka, Organisasi Papua Merdeka dan sebagainya, sehingga muncul GPK Aceh, GPK Papua, GPK Lampung dan lain-lain. Benedict Anderson dari Universitas Cornell menyebutnya jadi "bahasa zombie."

Selama Anda menjadi wartawan, kesulitan apa saja yang Anda temui ketika meliput sebuah berita di lapangan?

Duit, duit, duit, duit, duit! Wartawan perlu duit agar bisa meliput dengan leluasa. Wartawan perlu duit agar dapurnya mengepul dengan aman. Agar kita tidak korupsi. Agar anak kita uang sekolahnya tak putus. Agar kita bisa mentraktir nara sumber kita makan di restoran yang mereka pilih. Bukan kita yang ditraktir nara sumber --terutama nara sumber yang justru berkepentingan bersikap baik pada kita. Duit ini tentu duit halal, dari perusahaan kita sendiri, bukan uang amplop dan lain-lainnya. Terminologinya, biaya liputan, honorarium dan gaji.

Menurut survei Asiaweek pada tahun 2000, wartawan Jakarta termasuk wartawan yang dibayar paling rendah di Asia oleh para majikan mereka. Di Australia, rata-rata sebulan wartawan dibayar US$2,599, namun di Hongkong lebih mahal, sebulan $3,856. Saya ambil contoh-contoh negara lain: Singapore $2,047; Malaysia $1,125; Thailand $357; India $321; Philippines $294, China $193 sedangkan Indonesia $102.

Apa tips dan trik untuk menjadi wartawan handal dan profesional?

Saya kira ya kerja keras, kejujuran dan tekun. Tak ada jalan pintas untuk jadi wartawan yang baik. Saya sangat tidak suka dengan wartawan yang suka lobby kiri dan kanan untuk menaikkan karirnya. Dekat-dekat dengan pejabat, politisi atau pengusaha agar lebih dikenal lalu tiba-tiba diangkat jadi direktur pemberitaan atau pemimpin redaksi atau dapat akses ini dan itu. Buat saya, resepnya ya resep dari kampung saya di Jember: kerja keras, kejujuran dan ketekunan.

Saya kira ini dulu jawaban saya. Semoga tugas dari dosen Bahasa Indonesia ini dapat nilai yang baik. Saya jadi ingin tahu siapa nama dosen ini ya? Terima kasih.

1 comment:

anto said...

terus bagaimana tentang konsep kinerja jurnalis (wartawan), khususnya kinerja jurnalis perempuan saat ini.
terima kasih