Praktik aparat keamanan yang menyusup ke dunia pers bukanlah cerita baru di Indonesia. Sejak masa Orde Baru hingga era reformasi, bayang-bayang intelijen kerap hadir di ruang redaksi, rapat redaksi, hingga forum-forum jurnalis.
Di ruang redaksi, kamera dan mikrofon lazimnya menjadi simbol suara publik. Namun, apa jadinya jika di balik alat kerja itu tersembunyi seragam aparat keamanan? Kasus terbaru seorang polisi aktif yang selama lebih dari satu dekade berperan sebagai wartawan TVRI kembali menyingkap praktik lama: penyusupan intelijen ke ruang-ruang pers, dari Papua, Aceh, Sulawesi, hingga Maluku.
Pertanyaan penting muncul: bagaimana dengan Maluku saat ini? Apakah praktik serupa masih berlangsung—aparat menyusup dalam tugas jurnalistik, atau justru jurnalis yang didorong berperan sebagai informan, bahkan mata-mata?
Untuk menelusuri hal ini, pekan ini Redaksi Titastory mewawancarai Andreas Harsono, peneliti senior Human Rights Watch. Harsono ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (1994), Institut Studi Arus Informasi (1995), menjadi anggota awal International Consortium of Investigative Journalists (1997), serta mendirikan Yayasan Pantau (2003) dan Suara Papua (2011).
Latar belakang pendidikannya berakar dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dan pada 1999 ia mendalami jurnalisme sebagai Nieman Fellow di Universitas Harvard.
Sejak jadi wartawan, saya kadang-kadang dengar ada kawan juga bekerja buat dinas anu, instansi tertentu, entah polisi, militer atau intelijen. Banyak gosip di kalangan wartawan bukan? Namun yang membuat saya memperhatikan keterlibatan wartawan dalam dunia mata-mata adalah
Leo Batubara dari harian Suara Karya.
Batubara juga bekerja buat Badan Koordinasi Intelijen Nasional. Ini pernah jadi liputan
majalah Pantau edisi Maret 2001. Dalam wawancara
Pantau, dia bilang tugasnya memantau Amnesty International dan Human Rights Watch. Dia kecewa dengan naik-turun Bakin terutama ketika pertimbangan agama masuk. Batubara seorang Batak Kristen. Dia merasa dibedakan. Sesudah Presiden Soeharto mundur, Batubara pensiun dari Bakin, lantas ikut berjuang meloloskan Undang-undang soal pers tahun 1999. Ini hukum yang memenuhi standar internasional. Dia juga pernah jadi wakil ketua Dewan Pers.
Bagaimana Anda memandang kasus Iptu Umbaran Wibowo—polisi aktif yang 14 tahun menyamar sebagai wartawan TVRI—dalam konteks kebebasan pers di Indonesia?
Saya tidak kaget ketika baca berita tahun 2022 soal Umbaran Wibowo diangkat jadi kapolsek di Blora. Kok bisa lebih dari satu dekade bekerja sebagai wartawan, tahu-tahu jadi kepala polisi? Wibowo bilang memang dia “ditugaskan” menjadi mata-mata dengan kedok wartawan. Jabatannya, intel khusus. Artinya, selama bekerja sebagai wartawan TVRI, dia juga rajin bekerja, setor informasi kepada Polres Blora soal apa saja yang dia pantau.
Coba Anda baca biografi Susilo Bambang Yudhoyono,
SBY Sang Demokrat (2004). SBY mengaku bahwa pada tahun 1978 dia pernah menyamar sebagai wartawan di Pulau Bangka. Pangkatnya, letnan satu. Tugasnya, memantau penyelundupan timah. Ini penugasan dari Brigif Linud 17/Kujang Kostrad. SBY bertugas mengukur sebuah lapangan golf guna pendaratan pasukan Kostrad.
Jadi sesuatu yang biasa bila ada tentara, polisi atau intel, ditugaskan menyamar sebagai wartawan. Ini adalah penugasan dari lembaga dimana mereka bekerja.
Apakah ini hanya kasus tunggal atau bagian dari pola infiltrasi yang lebih luas?
Kalau melihat begitu banyak kejadian, saya kira, ini bukan kasus tunggal. Ini sebuah praktik yang lazim. Wartawan adalah pekerjaan yang menarik karena dia berada di sektor publik, bisa mencari informasi atas nama kepentingan publik. Masyarakat juga mengerti bahwa tugas wartawan adalah mencari informasi.
Pencarian informasi diperlukan juga oleh berbagai institusi –termasuk sektor militer, polisi, politik, juga berbagai perusahaan besar. Saya beberapa kali dapat bocoran dokumen, ratusan nama wartawan, yang bekerja buat lembaga keamanan di Papua. Ada yang disebut “agen” –mungkin semacam karyawan tetap– dan ada yang disebut “informan” –wartawan yang bisa diajak kerja sama buat mencari informasi tertentu.
Pada 2010, Victor Mambor, editor harian
Jubi di Jayapura, menemukan bahwa
seorang staf desain Jubi ternyata seorang polisi. Ketika Mambor menanyakannya, ia mengakui bahwa atasannya di markas polisi Papua memang menugaskannya untuk bekerja di
Jubi. Tugasnya membuat laporan harian tentang rapat redaksi serta apa yang ia lihat di ruang redaksi setiap hari.
Jo Kelwulan, editor harian
Manokwari Express, suatu hari kedatangan seorang istri yang mengadu bahwa suaminya, seorang wartawan, punya perempuan simpanan. Sudah beberapa waktu tak pulang ke rumah. Persoalannya, istri mengatakan bahwa suaminya adalah tentara, yang tak boleh poligami. Ternyata wartawan
Manokwari Express tersebut seorang tentara.
Apakah Anda menemukan praktik serupa di daerah lain seperti Maluku atau Aceh, selain di Papua, dan lainnya?
Kalau bocoran dokumen, saya hanya dapat dari Papua. Daerah-daerah lain lebih informasi satu demi satu.
Apakah daerah-daerah yang rawan protes terhadap negara memang menjadi sasaran utama operasi seperti ini karena kepentingan politik dan keamanan negara?
Kalau Papua, rekrutmen wartawan buat mencari informasi cukup tinggi mengingat daerah ini, sejak tahun 1960an ada gerakan buat memisahkan diri dari Indonesia. Istilah Papua buat mata-mata adalah suanggi.
Gerakan di Kepulauan Maluku relatif melemah sesudah pasukan Republik Maluku Selatan dikalahkan. Tokoh RMS Christiaan Robbert Steven Soumokil ditangkap tahun 1963. Namun ketidakpuasan terhadap pemerintah Indonesia bisa meledak menjadi kekerasan sektarian pada 1999-2005. Saya pernah meliput di Ambon, Ternate, dan Halmahera, menyeramkan sekali.
Aceh juga reda dengan perjanjian Helsinki antara Indonesia dan Aceh Sumatra National Liberation Front pada Agustus 2005. Kini sudah dua dekade umurnya, Aceh relatif stabil walau saya tahu ada ketidakpuasan di Aceh terhadap pelaksanaan perjanjian Helsinki. Ia dianggap belum 100 persen dijalankan. Kedua belah pihak, Indonesia maupun Aceh, belum sepenuhnya menjalankan perjanjian Helsinki. Aceh juga salah satu provinsi termiskin di Indonesia.
Apa dampak paling serius dari penyusupan aparat keamanan ke media terhadap kualitas jurnalisme dan kepercayaan publik?
Dampaknya adalah kepercayaan publik terhadap wartawan jadi menurun. Ini bukan gejala baru. Namun kepercayaan publik makin menurun sejak banyak media warisan kocar-kacir karena media sosial –termasuk Google dan Facebook– mengambil banyak kue iklan. Media warisan terpaksa potong anggaran redaksi. Banyak pemakai media sosial menyediakan informasi –terlepas sesuai standar jurnalistik atau tidak– sehingga kerja jurnalistik jadi dianggap tak sepenting dulu. Keadaan jadi sulit sekali.
Apakah Anda melihat ada media atau organisasi pers yang secara sadar menutup mata atau bekerja sama dengan aparat?
Ada yang resmi bekerja dengan institusi keamanan. Misalnya, kantor berita Antara, sebagai media milik pemerintah, ada keputusan Presiden Soeharto pada April 1979 membentuk "dewan pembimbing" dengan tiga anggota: Sekretaris Kabinet (sebagai ketua), Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan serta Deputi Bidang Pengamanan Bakin. Namun ada juga media yang tak tahu bahwa reporter mereka punya loyalitas ganda. Ada juga yang tak mau serius selidiki bila ada reporter mereka digosipkan bekerja buat institusi lain dengan memanfaatkan profesi kewartawanan.
Human Rights Watch pernah mengungkap dokumen militer terkait operasi mata-mata di Papua. Apakah modus di Papua dan juga terjadi di Maluku?
Kedua laporan punya bagian dimana instansi-instansi Indonesia terlibat dalam disinformasi (sengaja bikin berita bohong buat manipulasi) dan misinformasi (sengaja bikin berita bohong). Usaha-usaha tersebut juga melibatkan wartawan maupun semi-wartawan.
Saya kurang tahu soal Maluku. Saya belum pernah menulis khusus soal disinformasi di Maluku walau dalam buku Race, Islam and Power, saya menulis soal surat palsu yang diedarkan di Pulau Tidore dan Ternate pada Oktober 1999. Isinya, seakan-akan Gereja Protestan Maluku dan Gereja Masehi Injili Halmahera terlibat dalam suatu konspirasi menyingkirkan suku Makian dari Pulau Halmahera. Surat tersebut bikin panas suasana di Tidore, Ternate dan Halmahera. Ia ikut membuat kekerasan. Ribuan orang mati dibunuh. Sampai sekarang saya belum tahu siapa yang membuat surat palsu tersebut.
Apakah Papua menjadi “laboratorium” bagi pola operasi intelijen yang kemudian diadaptasi di daerah lain seperti di Maluku?
Saya tak tahu soal laboratorium atau kerja intel. Saya juga sadar ada wartawan yang memang bekerja dengan aparat keamanan –memberikan informasi atau bikin laporan– karena keinginan bantu aparat. Bukan karena uang atau proyek.
Pada Desember 2014, saya dan dua rekan saya bertemu dengan Jenderal Luhut B. Pandjaitan, penasehat Presiden Joko Widodo. Saya sampaikan kekhawatiran saya soal campur-baur antara kegiatan intel dan kerja wartawan. Saya khawatir dampaknya pada kepercayaan publik.
Beliau mengatakan negara Indonesia punya kewenangan buat menjaga keamanan semua warga termasuk dengan penyamaran sebagai wartawan. Saya tak membantah. Persoalannya, bagaimana agar kerja kedua belah pihak, wartawan dan aparat, bisa bekerja tanpa melanggar hak asasi manusia. Bagaimana bila pertukaran informasi tersebut berdampak pada pelanggaran? Ada orang meninggal? Ada tuduhan yang meleset dan korban berjatuhan? Penyiksaan atau penculikan? Tidakkah ini justru bikin repot negara?
Bagaimana praktik penyamaran aparat menjadi wartawan bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik dan hukum internasional?
Dalam
Kode Etik Wartawan Indonesia disebutkan bahwa wartawan harus menjalankan tugas dengan profesional, menggunakan cara-cara yang etis, dan tidak menyalahgunakan profesi. Artinya, wartawan tak boleh menyalahgunakan profesi mereka buat kepentingan di luar jurnalisme. Entah kepentingan instansi keamanan. Entah kepentingan perusahaan yang menyewa mereka guna mengumpulkan informasi. Ada juga ketentuan wartawan tak boleh menerima suap atau sogokan yang dapat mempengaruhi independensinya.
Namun secara hukum, tak ada larangan bagi instansi keamanan –polisi, militer dan lainnya– buat menyamar sebagai wartawan. Ini salah satu lubang dalam dunia pers di Indonesia. Saya kira perlu ada hukum yang melarang aparat keamanan —termasuk polisi, militer maupun intelijen— buat menyamar sebagai wartawan.
Apakah ada contoh di negara lain yang mendapat sanksi atau kecaman internasional karena menyusupkan aparat ke media?
Di Amerika Serikat, ada
Undang-Undang Otorisasi Intelijen tahun 1997. Isinya, melarang penggunaan wartawan maupun organisasi berita, baik di dalam negeri maupun luar negeri, atau mereka yang secara resmi diakui oleh pemerintah asing sebagai wartawan, sebagai agen berbagai instansi keamanan. Perkecualian, Presiden Amerika Serikat boleh mengesampingkan larangan ini dalam kasus tertentu untuk keamanan nasional, namun Presiden harus minta persetujuan komite intelijen dari Kongres Amerika Serikat. Ini membuat instansi Amerika Serikat juga tak boleh menggunakan wartawan non-Amerika di seluruh dunia sebagai agen.
Hukum tersebut dibuat karena praktek mata-mata jadi wartawan atau wartawan jadi mata-mata terjadi luas di dalam maupun di luar Amerika Serikat. Keadaan di Amerika Serikat sebelum 1997 sama dengan keadaan di Indonesia sekarang. Namun ada banyak protes terutama dari kalangan wartawan profesional sehingga dibuat larangan.
Soal sanksi, Indonesia sering dikritik dalam forum internasional karena membatasi akses wartawan internasional berkunjung ke seluruh Papua Barat serta intimidasi terhadap wartawan lokal, maupun kegiatan mata-mata atas nama jurnalisme. Pembatasan di Papua Barat diberlakukan Indonesia sejak tahun 1967.
Apa yang dilakukan Indonesia melanggar
Prinsip Johannesburg tahun 1995 tentang standar global mengenai pembatasan terhadap wartawan atas nama keamanan nasional. Sebuah pemerintah boleh membatasi wartawan dalam area tertentu dan waktu tertentu. Kalau sudah enam dekade membatasi akses ke semua wilayah Papua, Indonesia tentu melanggar Prinsip Johannesburg.
Sekarang di Amerika Serikat, dalam praktik, ada instansi keamanan yang minta informasi dari wartawan namun tak merekrut wartawan sebagai agen. Kalau si wartawan memberikan informasi karena dia percaya pada apa yang dia berikan kepada instansi keamanan –atau organisasi mana pun– dia tak melanggar hukum. Mungkin dia melanggar etika dari media dimana dia bekerja.
Bagaimana menerangkan perbedaan ini?
Dalam buku
The Elements of Journalism (2007), Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menjelaskan bahwa independensi adalah elemen dari jurnalisme. Menjadi netral bukan dasar jurnalisme. Imparsialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektivitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.
Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting daripada netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap lakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat luas, bukan sekedar organisasi atau instansi yang mereka dekat, serta memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.
Apakah langkah serupa bisa ditempuh terhadap Indonesia?
Di Indonesia, Dewan Pers dan berbagai organisasi wartawan, di berbagai kota besar, dari Jakarta sampai Jayapura, termasuk Ambon, bisa membuatnya sebagai agenda pelatihan jurnalisme. Organisasi wartawan perlu memperjelas soal independensi wartawan serta pentingnya meningkatkan kepercayaan publik terhadap media.
Pada tahun 1994, ketika saya ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, kata “independen” sengaja dipilih karena kami percaya bahwa independensi-lah yang mengikat kami sebagai wartawan. Kami bukan diikat oleh suku, agama, gender, daerah, ideologi, orientasi seksual atau kebangsaan, tapi diikat oleh independensi.
Kalau ini sudah menyebar di kalangan wartawan, lebih mudah buat mendorong partai politik dan parlemen buat bikin undang-undang melarang instansi keamanan menyamar sebagai wartawan atau merekrut wartawan.
Apakah Anda sendiri pernah mendapat ancaman atau intimidasi saat membongkar praktik mata-mata di dunia pers?
Rasanya tak ada ketika saya menulis soal suanggi. Kalau ada yang jengkel, serta meluapkannya dalam group, tentu ada. Oktovianus Pogau, seorang wartawan Papua, pernah screenshot celotehan beberapa wartawan di Jayapura soal saya.
Menurut Anda, jika praktik penyamaran ini tidak dihentikan, seperti apa wajah kebebasan pers Indonesia 5–10 tahun ke depan?
Ada banyak pasal yang bisa dipakai buat kriminalisasi wartawan di Indonesia, dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana sampai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Atmakusumah Astraatmadja, salah satu wartawan terhormat dalam sejarah Indonesia, ada lebih banyak pasal karet di Indonesia daripada zaman Hindia Belanda.
Tantangan wartawan di Indonesia, yang sudah sulit sekali dengan keberadaan pasal-pasal karet, maupun kedatangan media sosial, tambah ruwet dengan rasa saling curiga di antara sesama wartawan atau normalisasi wartawan jadi agen. Kebebasan pers bakal makin menurun. Bila kebebasan pers menurun, mutu jurnalisme juga menurun, dampaknya, demokrasi bakal menurun juga.