Friday, January 25, 2013

Pelatihan Jurnalisme di Nabire

SELAMA empat hari, Yermias Degei dari majalah Selangkah dan saya mengajar jurnalisme di Yayasan Bina Mandiri Utama, Jalan Pipit di daerah Kali Harapan, Nabire. 

Pesertanya hampir 20 orang namun hanya 11 yang bertahan sampai hari terakhir. Pelatihan dilakukan pada 19-22 Januari 2013. Silabus biasa saja termasuk elemen-elemen jurnalisme, teknik wawancara, perkakas menulis, struktur piramida terbalik, feature, serta bagaimana bikin deskripsi dengan contoh liputan Alfian Hamzah "Kejarlah Daku Kau Kutangkap" dari Aceh. 

Saya juga ajak mereka belajar menulis opini dengan contoh “The Death of Sukardal” karya Goenawan Mohamad, “Tuhan Tidak Perlu Dibela” karya Abdurrahman Wahid, serta “Obama Has the Power to Help Papua, the ‘Weak Man’ Under Indonesian Rule” karya saya. 

Bagaimana struktur esai? Bagaimana memilih angle? Bagaimana memilih sumber? Referensi dari mana? 

Saya senang dengan mereka yang tetap ikutan sampai hari terakhir. Saya juga mempertontonkan film dokumenter Alias Ruby Blade --sebuah kisah cinta dan perjuangan Timor Leste. Bernadeta Tekege, seorang peserta perempuan, cerita soal diskriminasi dan misogini terhadap perempuan di Papua. 

Saya percaya mereka yang ikutan kursus ini akan mengembangkan karir mereka, entah dalam jurnalisme atau bidang lain. 

Saya percaya menulis membuat pelakunya berhati-hati dalam memindahkan pikiran mereka ke huruf, kata, dan kalimat. Ia berbeda dengan orang yang bicara --walau direkam audio atau video-- yang tak punya banyak kesempatan untuk berpikir sebelum mengeluarkan kata-kata. 

Ini pertama kali saya berkunjung ke Nabire. Saya terbang dengan pesawat dari Pulau Biak ke Nabire. Hanya penerbangan singkat. Juga naik pesawat lagi dari Nabire menuju Biak, menginap semalam dan kembali ke Jakarta. 

Di sela-sela kegiatan mengajar, saya sempatkan berkunjung ke penjara Nabire dan menemui dua tahanan politik: Kimanus Wenda dan Linus Hiluka. Saya sudah dengar nama mereka cukup lama. Degei dan Ruth Ogetay dari Yayasan Pantau ikut menemui mereka di penjara. 

Pada Juni 2010, Human Rights Watch, tempat saya bekerja, menerbitkan laporan yang saya tulis setebal 43 halaman, Prosecuting Political Aspiration: Indonesia's Political Prisoners. Laporan tersebut tak singgung keduanya namun sebut soal penjara di Nabire. Laporan tersebut meliputi dua daerah dimana banyak tahanan politik: Papua dan Maluku. 

Pada Maret 2012, Kimanus Wenda harus operasi pengangkatan tumor dari perut di rumah sakit Dian Harapan, Waena, Jayapura. Ada sebuah penggalangan dana publik agar Wenda bisa dapat pengobatan dari Nabire ke Jayapura. Saya bezoek tentu untuk menanyakan kesehatan Wenda. Dia bilang sudah sehat sesudah operasi. Wenda suka bergurau. Suasana jadi menyenangkan. 

Saya jadi lebih mengerti bukan saja ketidakadilan yang mereka rasakan namun juga kesulitan sehari-hari dalam penjara. Human Rights Watch minta pemerintah Indonesia membebaskan semua tahanan politik di Papua dan Maluku. 

Degei pernah ikut pelatihan jurnalisme di Melbourne bersama Asia Pacific Journalism Center. Dia ikut menulis buku Kisah Gereja-gereja di Rwanda Mengatasi Krisis AIDS (2008), Facing AIDS (2008); Harapan Hidup dalam Rumah Tangga (2008), Untaian Kasih Ibu (2007). Dia ikut penelitian Selamatkan Manusia dan Hutan Papua serta menulis buku Sejarah Terbentuknya Kabupaten Dogiyai (2009).

No comments: