Thursday, April 10, 2014

Jokowi, Perahu Papua Dikayuh ke Mana?


Alumnus Australia National University


Ketika Jokowi berkampanye ke Jayapura, suami saya menjabat tangan Jokowi di airport Sentani. Banyak warga, orang asli Papua maupun pendatang, berebut bersalaman. Mereka cerita Jokowi keluar lewat ruang kedatangan penumpang umum, bukan VIP ala kebanyakan pejabat.

Sejumlah perempuan asli Papua memeluk Jokowi. "Tuhan memberkati Bapa," kata mereka. Ia menjadi suatu doa dan asa tak terucap bahwa akan ada perubahan bagi Papua yang adil, damai, dan bermartabat bila Jokowi terpilih sebagai presiden.

Jokowi bilang dia mau "menyelesaikan Papua dengan hati dan kerja nyata, bukan janji-janji". Jokowi bicara soal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur.

Bagi kami, orang Papua, ucapannya mengingatkan pada ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika berpidato di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada 16 Agustus 2011. Yudhoyono bicara "membangun Papua dengan hati" serta menghormati "hak-hak asasi manusia dan budaya Papua".

Namun tak ada wujud nyata dari janji Yudhoyono. Papua tetap diurus dengan cara sama sejak Papua dimasukkan dalam administrasi Indonesia pada 1963. Kekerasan negara tetap ada. Tahanan politik, yang ditiadakan Presiden Abdurrahman Wahid, meningkat pada era Yudhoyono. Pada 2007, Yudhoyono mengeluarkan aturan yang larang bendera Bintang Kejora. Ini menciptakan kekerasan aparat terhadap setiap orang Papua yang menaikkan bendera Bintang Kejora. Polisi membatasi noken Bintang Kejora, kalung, gelang, topi, dan lain-lain.

Setiap bulan, setiap minggu, ada orang Papua dipukul tentara, polisi, atau sipir penjara. Kini, ada 74 tapol tersebar di berbagai penjara di seluruh Papua. Pemerintahan Yudhoyono berdalih tak ada "tahanan politik" di Indonesia. Ini bohong. Pada 2011, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan Filep Karma, seorang tapol di penjara Abepura, "ditahan sewenang-wenang" oleh pemerintah. PBB minta Karma dibebaskan, namun Yudhoyono tak peduli.

Ditambah lagi dengan eksploitasi sumber daya alam yang tanpa hiraukan hak orang Papua. Ia terus saja berlangsung dari Teluk Bintuni sampai Merauke. Papua diisolasi dari dunia luar, sejak 1963, dengan adanya pembatasan terhadap wartawan, akademikus, pekerja kemanusiaan, bahkan pengamat dari PBB.

Inikah apa yang disebut Yudhoyono sebagai "menata Papua dengan hati"? Jika Jokowi datang dengan ungkapan sama dengan Yudhoyono, sulit bagi kami di Papua untuk melihat adanya harapan bagi Papua yang adil, damai, dan bermartabat. Apalagi Jokowi diusung PDI Perjuangan dengan rekam jejak gelap di Papua. Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1/2003, yang memecah Papua menjadi dua provinsi. Ini langkah awal yang mengacaukan Otonomi Khusus di Papua lewat Undang-Undang Nomor 21/2001.

Pada masa Megawati, Theys Eluay, pemimpin Papua, dibunuh tujuh prajurit Kopassus pada 10 November 2001. Proses hukumnya berbelit-belit, hukuman tak adil, dan bikin luka mendalam di hati rakyat Papua. Dalam periode Megawati, terjadi pembengkakan militer di Papua: angkatan darat, laut, serta udara.

Ini pekerjaan rumah Jokowi. Masih ada tiga bulan menuju pemilihan presiden. Kami harap Jokowi menjabarkan kebijakan atas Papua. Dia sebaiknya ikuti PBB agar Papua dibuka kepada dunia luar. Dia sebaiknya ingat Wahid yang membiarkan Bintang Kejora, lambang budaya Papua.

No comments: