Saturday, April 06, 2013

Reuni Wartawan Jakarta


SELALU menyenangkan bertemu kawan-kawan lama. Bicara soal kenangan 20 tahun lalu. Bicara soal berat badan. Atau sekedar mengenang cerita konyol masa lalu, mulai dari kebiasaan mengobrol di McDonald's Sarinah --satu-satunya restoran McDonald's di Jakarta pada awal 1990an-- hingga liputan-liputan edan zaman Presiden Soeharto. Salah satu puncak dari liputan tersebut, tentu saja, adalah krisis ekonomi 1997 yang disusul mundurnya Soeharto pada Mei 1998.

Pada 1993-1994, saya bekerja untuk harian The Jakarta Post dan kenal dengan cukup banyak wartawan muda. Saya bergabung bersama sembilan reporter lain dan bersama-sama dididik selama tiga bulan, termasuk Rudy Madanir (kaos merah), Imanuddin Razak (baju putih) dan Yoko N. Sari (kaos merah tua).


Sabtu ini kami berkumpul di Jakarta, di rumah Chrisinno Icn (kaos hijau), juga sobat di Jakarta Post namun beda angkatan. Ada juga Ida Khouw (baju putih, celana hitam), redaktur Jakarta Post dan "adik kelas" kami. Reuni ini diadakan bukan hanya untuk alumni Jakarta Post namun, dalam kacamata saya, untuk kalangan wartawan yang menulis dalam bahasa Inggris di Jakarta. Entah mereka yang bekerja untuk Jakarta Post atau Associated Press, AFP, Kyodo, Reuters dan lainnya.

Sensen Gustafsson, salah seorang rekan kami yang tinggal di Stockholm, berjasa dengan membuat sebuah group Facebook dan mengundang reuni. Chrisinno menyebut Sensen Gustafsson "sukses mengerahkan massa." Kami hanya bercanda, makan siomay, bakmi goreng, nasi goreng, pudeng dan lain-lain.


Peserta reuni datang gelombang pertama (dari kiri ke kanan): Kanthi Koeniger, Tasha Tampubolon, Ezki Suyanto, Sensen Gustafsson, Evi Suryati Tambunan, Yusi Parianom (kepala hanya terlibat sebagian), Ida Khouw, Lily G Nababan, Oka Barta Daud (kaos kuning), Chrisinno Icn, Christine Tjandraningsih, Yoko Sari, Lia Natalia, Lenita Sulthani, Imanuddin Razak (tak terlihat), Rudy Madanir dan Andreas Harsono.

Kini ada yang bekerja sebagai wartawan freelance. Ada yang jadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia. Ada sastrawan. Ada pegawai lembaga internasional. Saya terkadang tak percaya bahwa sudah 20 tahun berlalu sejak kami mulai sama-sama bekerja, liputan di lapangan. Kini semua terserak ke berbagai kota: Jakarta, London, New York, Singapura, Stockholm dan lain-lain.

Namun cerita soal Mei 1998 selalu menarik untuk diulang kembali. Ia adalah liputan yang membuat generasi ini sebagai saksi sebuah momen penting dalam sejarah Indonesia.

No comments: