Monday, February 20, 2012

Dari Central Park ke Harlem


Duduk di Central Park dengan suhu 0 derajat Celcius.

TERKADANG ada saatnya saya ingin duduk sendirian, jalan sendirian serta menikmati kesendirian tersebut. Saya juga lakukan minggu ini, ketika selesai makan siang dengan seorang kolega di Chinatown Manhattan. Tanpa rencana, tanpa persiapan, saya tiba-tiba memutuskan berhenti di stasiun subway 86th Street dan berjalan ke Central Park.

Mungkin ia bisa terjadi karena saya juga tak ada acara. Sebenarnya ingin pergi ke Museum of Modern Art dan lihat pameran foto Cindy Sherman. Namun entah kenapa saya tiba-tiba ingin sendirian. Central Park relatif ramai. Namun suhu udara masih beku. Ia tak macam musim panas ramainya. Ada orang jogging, ada keluarga bermain.

Saya memperhatikan mereka. Senang lihat anak-anak bermain di taman. Saya juga bayangkan bagaimana bentuk Central Park bila sedang diadakan konser musik. Di musim panas, Central Park biasa mengadakan konser. Dari New York Philharmonic Orchestra hingga musik heavy metal.

Panggung Spiderman seluruh gedung dipakai pertunjukan.

Di New York kali ini saya juga memutuskan nonton musical concert di Broadway. Ini pertama kali saya punya uang, dan bersedia, mengeluarkan US$128 buat membeli tiket Broadway. Di Jakarta, The Phantom of the Opera, juga sedang dipertunjukkan selama dua bulan. Harga tiket juga antara Rp 500 ribu hingga Rp 1.5 juta. Cukup mahal untuk pendapatan saya. Namun dibujuk-bujuk kawan, setelah bertahun-tahun berkunjung ke New York, saya akhirnya mau menonton Spiderman Turn Off the Dark.

Senang juga lihat para pemain bergelantungan di langit-langit Foxwoods Theater. Pertunjukan Broadway biasa merupakan gabungan antara musik, nyanyian, drama, tapi kali ini, ditambah akrobat. Namanya juga Spiderman. Saya juga terkejut lihat suasana 42nd Street malam hari. Lampu semarak luar biasa.

Mungkin pada 1970an, ketika komik Marvel mulai beredar di Pulau Jawa, saya mengenal Spiderman. Ada satu daya tarik lagi di Broadway. Musik untuk Spiderman dibuat oleh Bono dan The Edge. Saya menggemari U2 --band asal Dublin dimana Bono dan The Edge ikut mendirikan.

Suatu pagi di stasiun 125th Street di Harlem.

Saya pertama kali datang ke New York pada musim panas 1995 ketika ikut sebuah pelatihan international advocacy oleh School of International Training, Vermont. Lantas kunjungan kedua pada 1997, ketika menemani Ahmad Taufik dari Aliansi Jurnalis Independen, menerima penghargaan dari Committee to Protect Journalists.

Pada 1999-2000, ketika saya belajar lagi di Universitas Harvard, Cambridge, saya beberapa kali berkunjung ke New York, mulai punya banyak kenalan dan kawan. Biasa naik kereta api Cambridge-New York. Akhirnya, New York jadi tempat dimana saya sering datang: belanja buku (toko Strand), diskusi (City University of New York atau Columbia University), konsultasi (The New York Times), seminar (Human Rights Watch), rapat, beasiswa wartawan dsb.

Beberapa tahun terakhir ini, saya datang ke New York terkadang setahun sekali, bahkan pernah dua kali setahun. Sering tinggal di hotel tapi saya juga pernah tinggal hampir sebulan di sebuah apartemen besar, dua lantai, tiga kamar, dekat Central Park. Ada juga apartemen di daerah Harlem dimana saya beberapa kali menginap.

Tempat makan?

Waduh ini kota gila benar soal makanan. Dari dim sum (Jing Fong, 20 Elizabeth Street) sampai macam-macam wine. Mulai dari paling murah --saya pernah sehari hanya pakai US$5 dari pagi sampai malam, makan kenyang-- hingga makan sepiring ratusan dollar.

Kali ini saya bertemu dengan dua wartawan, seorang dari mereka penerima hadiah Pulitzer, di sebuah restoran Itali dekat stasiun 125th Street. Namanya Bettalona di 3143 Broadway.

Alamak ... kita makan sepiring kerang dengan kentang tumbuk.

Enak sekali.

No comments: