Saturday, June 05, 2010

Korneles 15 Tahun Trada Pulang Asmat


Korneles Kaitor, orang Asmat sejak 1995 bekerja sebagai buruh di pelabuhan Merauke, tanpa pernah pulang ke Asmat.
©2010 Leonard Moyu

Oleh LEONARD MOYU

Rabu, 26 Mei 2010. Di pelabuhan jam 15.00 Dari jauh pandangan mata, melihat pace yang sebentar duduk, sebentar berdiri. Ada empat kapal di sana: Kapal Motor Terubuk, KM Papua Enam; KM Bimas Jaya dan satu kapal lain. Ada kapal barang, ada juga kapal penumpang. Tiba-tiba dengan jelas dan lantang, di samping container yang terbuka, Pace langsung omong, "Haiii ... kenapa dong potong-potong kita pu uang kerjakah?”

Sa langsung tanya, “Kenapa Pace?”

“Ah tidak. Cuma, sa jengkel orang-orang petugas seperti KPLP, KPPP, PELNI, koperasi yang kurang jelas! Padahal dong su tau kasihan kita hanya buruh harian container. Bukan tenaga kerja bongkar muat. Kita pu gaji kecil saja.”

“Tapi ko pu nama siapa? Baru ko tanya untuk apa Anak?”

"Ah … tidak sa ada ma tulis Bapa pu keluhan tadi.”

“Anak ... ko wartawankah?”

“Tidak, tapi sapu guru de bilang masalah apapun dapat diubah dengan menulis. Sebaliknya kalau mengeluh atau bicara-bicara trada orang dengar dan Pace ko bisa ada di trali nanti. Petugas dong ada lewat-lewat ini."

"Oh ... iyo Anak. Aa ... pu nama, Korneles Kaitor. Sapu anak dua. Satu 9 tahun, di SD klas dua, nama Tresia Kaitor. Kedua Maria, dong pu mama pu nama Marta. Dong sekarang ada tinggal di navigasi rumah tempelan yang sa buat tahun 1997, setelah pindah dari barak Asmat. No 17."

"Bapa, ko orang Asmat ka?"

"Iyo Anak. Sa orang Asmat. Tapi sa sulama datang, dari kampung sejak bujang tahun 1995 sampai sekarang."

"Rumah yang sa tinggal sekarang rumah tempelan dinding seng di tanah orang. Samau bikin rumah sendiri. Sa masih cari tanah. Ada tapi, ya’ orang Malind dong bilang piara babi dolo, wati, bikin upacara adat, baru ko aman. Itu yang bikin sapu pikiran pusing."

"Pace, kopu umur berapaka?"

"Ai, anak sa su tua, sa tidak tau lagi. Yang sa tau itu sa anak terakhir dari 15 bersaudara. Sapu kaka tua itu de pu nama Paulinus, baru Otto, Alo, Ignas, Mikel, Yance, Yuven, Yulita, Titus, Ger, Maria, Domin, Petronela, Yohanes dan saya anak bongso. Semuanya ada di kampung."

"Pace Kor ... di Asmat itu pemekaran to! Ko pu saudara banyak. Dusun tinggal tebang jalan selalu menggunakan perahu. Tapi ko kenapa mau di Merauke saja?"

"Anak sapu kaka dong su bikin kampung sendiri, tapi sekolah kosong. Guru-guru kosong. Kepala kampung juga dalam hutan. Baru itu saudara kandung lagi, kaka Titus, de bilang begitu, 'Dua tahun lalu dusun sudah habis dibagi.' Jadi samau pulang ... sa rasa berat dan sa tidak mau pulang."

"Sekarang sapu pikiran itu hanya anak sekolah sampai jadi guru."

“Tua Kor, ko pu cita- cita mau sekolahkan anak tapi ko pu gaji buruh. Berapakah per hari?"

“Yah! kalau satu ret untuk 5 orang yang ikut hanya Rp 75.000 dan 1 container 3 ret jadi nasib-nasib bisa dapat Rp 30.000 sampai Rp 60.000."

“Barang-barang yang kamuat itu siapa punya?"

"Anak itu ada untuk toko-toko. Ada untuk CV dan ada juga ke gudang pedagang."

"Anak ... kapal-kapal yang keluar masuk juga tidak pas-pas waktu. De tunggu sudah tidak ada uang baru de masuk. Jadi kalau sudah tidak ada container kita cari kerja di kapal penumpang atau kapal ikan. Ya, cukup enak juga tinggal di Merauke dari pada sapu anak jadi korban. Tidak sekolah. Lebih baik sa jadi buruh bagasi. Biar 15 tahun pulang. Kampung itu lebih parah."


Leonard Moyu seorang seniman Malind di Merauke. Dia sedang berlatih menulis deskripsi dalam bahasa Melayu Papua, bahasa sehari-hari, yang banyak dipakai pergaulan di Papua.

1 comment:

meimosaki said...

Untuk pemakaian Kreol Melayu Papua sebagai reportase sebenarnya lebih pas bagi orang Papua sendiri karna sense-nya lebih dapat.

Saya juga setuju bahwa Kreol Melayu Papua sudah layak disebut 'bahasa'
(itu yang sempat dulu menjadi perdebatan kala saya mahasiswa di sebuah
fakultas sastra di tanah Papua hingga saya dan teman2 ditegur pak
Rektor karna membuat seminar penting dan peran bahasa ini di tanah
Papua terkait UU otsus)

Anyway, potret feature seperti ini yang kadang tidak lolos ke media
massa lokal di Papua TAPI sebenarnya sangat menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Karena orang Papua jadi tidak minder untuk menulis cerita mereka sendiri dengan bahasa dan konsep berpikir mereka sendiri dan bisa jadi bukti bahwa tidak ada yang salah dengan lingua franca ini (karena masih banyak pendidik di Papua yang masih terbelenggu konsep preskriptif bahasa) dan semoga dengan banyak reportase2 berbahasa Melayu Papua, maka suatu waktu UU dan kebijakan serta perencanaan bahasa khususnya di tanah Papua dalam bidang pendidikan bisa mengangkat status lingua franca ini lebih tinggi.

Berdasarkan pengalaman bersekolah di Papua, masih banyak guru yang kerap menghukum murid2nya dengan corporal punishment hanya karena language barrier *sigh

Semoga dengan penulisan dalam Melayu Papua digalakkan dalam bentuk pengubahan statusnya menjadi 'tertulis' maka legitimasinya akan menjadi lebih kuat. Selain itu mungkin yang menulis reportase jangan ragu menciptakan, ataupun mengadopsi idiom, slang ataupun colloquial dalam Melayu Papua dalam reportase sehingga bisa menambah entri Melayu Papua dalam dokumentasinya karena selama ini lexem kata masih banyak hasil pinjaman.