Wednesday, May 12, 2010

Ali Raban dan Adi Warsidi


Kamerawan Ali Raban (kiri), reporter Zulkarnaini Muchtar dan Adi Warsidi (baju hitam) serta beberapa wartawan Aceh sedang makan siang di satu Banda Aceh.
© 2009 Oki Tiba

Lama kenal nama tapi tak pernah jumpa orang. Minggu ini aku bertemu dengan Ali Raban, seorang kamerawan dari Banda Aceh, yang sering meliput kekerasan di Aceh. Kini Ali Raban bekerja untuk Metro TV. Dulu Ali Raban dikenal berpasangan dengan Umar HN, bekerja untuk RCTI. Dia sering mendapatkan gambar-gambar penting peperangan di Aceh. Mungkin Ali Raban adalah kamerawan dengan database video paling banyak soal konflik Aceh.

Adi Warsidi
adalah koresponden mingguan Tempo serta instruktur Muharram Journalism College di Banda Aceh. Kami sudah pernah bertemu beberapa kali. Aku salah seorang pengagum liputan Adi Warsidi, terutama yang dia kerjakan untuk mingguan Acehkita. Adi Warsidi seorang stylish yang hebat. Dia pernah menggambarkan perjalanan dan interview dengan seorang gerilawan Gerakan Acheh Merdeka.

Selama seminggu ini aku duduk-duduk di Banda Aceh, menjumpai kawan lama serta berkenalan dengan kawan baru. Tujuan perjalanan kali ini agak santai. Aku menemani Christen Broecker, seorang peneliti muda dari New York. Dia bikin riset soal perempuan di Aceh. Namun rekan-rekan New York minta aku mengantar Broecker ke Banda Aceh, guna berkenalan dengan beberapa sumber, mencarikan penterjemah dan berikutnya dia jalan sendiri. Aku juga menyelesaikan sebuah laporan panjang dan mempersiapkan sebuah esai untuk satu harian Jakarta.

Ali Raban, secara tak langsung, aku kenal pertama ketika menyunting naskah "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" karya Chik Rini. Naskah tersebut diterbitkan majalah Pantau edisi Mei 2002. Rini cerita soal kesaksian lima wartawan, termasuk Ali Raban, saat meliput pembantaian ratusan orang Aceh di Simpang Kraft, dekat Lhokseumawe, pada 3 Mei 1999.

Aku juga memberi kuliah di beberapa tempat di Banda Aceh, termasuk untuk Muharram Journalism College. Senang bisa jumpa dengan kenalan-kenalan lama. Ada banyak cerita di Aceh, termasuk kekerasan masa lalu maupun perundingan antara Indonesia dan Gerakan Acheh Merdeka di Helsinki pada 2005, yang baru aku ketahui minggu ini.

Aku kira orang Aceh perlu menulis apa yang mereka ketahui soal proses Helsinki. Selama ini, aku hanya membaca buku soal Helsinki dari sisi negotiator Indonesia, termasuk Jusuf Kalla, Farid Hussain dan Hamid Awaluddin. Mereka masing-masing sudah menerbitkan buku. Damien Kingsbury, sarjana Australia yang membantu pihak Acheh, juga menulis soal proses perjanjian itu. Martti Ahtisaari dari Crisis Management Initiative mendapat hadiah Nobel. Namun belum satu pun dari pihak Acheh menulis buku.

1 comment:

Taufik Al Mubarak said...

Mas, ini ada tulisan soal Tgk Jamaika...mungkin bisa jadi arsip http://jumpueng.blogspot.com/2009/08/teungku-jamaika-pria-bergelar-komputer_05.html