Wednesday, May 03, 2006

Blitar dan Laptop Dicuri


Pada 30 April ini, aku naik kereta api eksekutif Gajayana dari Jakarta menuju Blitar di daerah timur Pulau Jawa. Tujuannya, meliput suasana tempat pemakaman Bung Karno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia. Aku juga ingin mengunjungi candi Palah di desa Panataran, sebuah candi Shiwa Hindu peninggalan kerajaan Kediri dan Majapahit pada abad 12.

Aku pergi bersama Sapariah Saturi, seorang wartawati Madura Pontianak, juga teman lama. Ia bekerja untuk harian Bisnis Indonesia di Jakarta. Sapariah adalah orang yang menciptakan "lima dasar negara" Indopahit alias Indonesia Keturunan Majapahit. Menarik buat kami untuk mengunjungi candi Majapahit ini.

Sialnya, dalam kereta api, tas aku dibuka pencuri. Laptop Toshiba, adaptornya serta kamera digital, dicuri. Tanpa tasnya diambil.

Kami sempat tidur antara Purwokerto dan Solo. Aku tidak tidur-tidur amat. Aku baru sadar kecurian di stasiun Tulungagung ketika matahari mulai terbit. Kami duga pencurian terjadi ketika banyak penumpang turun dan pendagang kaki lima naik kereta di stasiun Jogjakarta dan Solo. Sapariah kesel sekali.

Aku rencananya tak membawa laptop karena tahu kereta api di Jawa ini rawan pencurian. Tapi ada deadline untuk The Jakarta Post soal Pramoedya Ananta Toer. Aku terpaksa membawa laptop untuk menulis obituari Pramoedya.

Sudahlah. Minimal data buku sudah ada salinannya. Aku anggap ini keteledoran. Seharusnya, aku menyimpan tas itu di bawah kaki. Sapariah menyimpan USB dengan data buku.

Perjalanan itu sendiri sangat menyenangkan. Kami tinggal di sebuah hotel kuno di Blitar. Dua kamar berbeda tentu. Stasiun kecil. Makan nasi pecel. Lihat-lihat museum Soekarno. Ada juga cerita soal lukisan Soekarno yang "hidup" --selalu berdenyut-denyut walau tak ada angin. Atau meramal nasib dengan pecahan uang rupiah dengan gambar Soekarno.

Petugas museum mengeluarkan koleksi langka itu. Ia mengetesnya di tangan kami. Bila uang kertas itu "menggiling" diri, artinya kami akan mendapat keberuntungan. Maka aku mencoba tanganku. Ternyata uang itu, tanpa aba-aba, bergiling di tangan. Sapariah juga demikian. Bahkan lebih cepat.

Aku mewawancarai beberapa pengunjung makam Soekarno. Ada rombongan ibu-ibu petinggi polisi. Tapi ada juga sepasang suami-isteri, berdoa depan makam Soekarno, minta dikarunia keturunan. Macam-macam deh. Aku geli saja lihat mereka. Soekarno adalah playboy besar. Matanya tak bisa berkedip bila lihat perempuan cantik.

Blitar adalah bagian dari bab Jawa dalam bukuku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Aku sudah belajar soal pemikiran Soekarno ketika masih duduk di bangku sekolah lanjutan. Aku membaca biografi karya Cindy Adams ketika kumisku belum tumbuh.

Di bangku lanjutan atas, aku bikin paper soal Soekarno muda dan pemikirannya. Kini aku membaca banyak sekali buku tentang Soekarno. Aku seorang pengagum Soekarno. Namun kekaguman itu juga kini diimbangi oleh sikap kritis. Ketika Soeharto menggulingkannya, Soekarno sibuk ngeloni seorang isteri mudahnya, yang belum umur 20 tahun.

Kami juga mengelilingi Candi Palah. Indah sekali. Kebetulan kami bisa mengerti sedikit soal relief Ramayana di candi itu. Ceritanya soal pasangan Rama dan Sinta. Bagaimana Sinta diculik oleh Rahwana dari kerajaan Alengka lalu Rama mencari isterinya itu. Rama dibantu oleh raja kera Hanuman. Aku membeli buku kecil Memperkenalkan Komplek Percandian Panataran di Blitar karya Soeyono Wisnoewhardono.

Sapariah adalah teman perjalanan yang menyenangkan. Kami banyak diskusi soal kesulitan disain negara ini. Dia cerita banyak soal perdagangan gula yang tidak fair di Kalimantan Barat. Indopahit, tentu saja, banyak kami guraukan. Soekarno seorang sosok besar tapi juga banyak kekeliruannya ketika merancang nasionalisme versi Majapahit untuk Indonesia.

Aku tak menyangka Sapariah menciptakan "lima dasar negara" Majapahit. Mulanya sebagai olok-olok a.l. Indopahit itu dasarnya korupsi, rasialisme, militerisme dan sebagainya. Tapi lama-lama, aku kira, dasar-dasar itu melekat pada negeri ini.

Kami kenal mulanya di Pontianak pada akhir 2004. Dia membantu aku banyak memahami soal ethnic cleansing orang Madura di Kalimantan. Belakangan ia pindah ke Jakarta. Lebih sebagai kawan. Tapi juga merasa bisa saling cocok, saling bergurau dan meledek. Hubungan kami enak.

Aku kira ini hubungan yang menenangkan. Ia orang yang strict di bidang kehidupan pribadi namun simpatinya pada golongan yang tertindas. Kami pulang ke Jakarta pada hari Rabu naik pesawat terbang dari Malang. Badan capek. Riset dapat banyak hasil. Sayang, tak ada foto-foto karena kamera dicuri.

Di Jakarta, kami juga terhadang kemacetan besar. Namun kami kembali ke Jakarta dengan relasi yang jauh berbeda. Kami akan belajar mengenal diri kami dengan lebih baik. Kami ingin menata kehidupan ini dengan jalan bersama.

3 comments:

Anonymous said...

Untung ya "From Sabang to Merauke", tetap bisa saya baca nanti, karna tidak ikut hilang dalam Laptop.

Tapi tampaknya dalam perjalanan Mas AH ke blitar kali ini harus berhadapan dengan dua pencuri? pencuri yang satu, buat jengkel dan satunya buat mas AH jadi misterius di akhir tulisan. Saya tidak kenal nona Sapariah, perkenalan saya dengan beliau hanya lewat blogs ini, tapi menurutku nona Sapariah punya semangat yang sama dengan mas AH. Sukses buat kalian berdua

Salam
Yudi

Anonymous said...

Nice trip Andreas, at the end.You said you did not take any photograph because your camera was stolen but I can see Palah temple, beautiful.

Regards,
Bejo

hanung665 said...

saya orang blitar kebetulan lewat dan baca tulisan bapak.

sekarang saya bekerja di kota Luwuk, Sulawesi Tengah. Jika kebetulan jalan-jalan ke Luwuk (barangkali dalam rangka penulisan buku bapak)hubungi saya (hanung665@gmail.com), insyaallah akan saya bantu segala sesuatunya di sini (freee of charge tentunya..:D).

salam kenal dan jebat erat,

--
hanung_665