Saya memutuskan membatasi komunikasi dengan Rebeka Harsono, adik saya, terutama lewat Whatsapp, karena membaca, menanggapi dan memberi perhatian terhadap pesan-pesannya ini bisa menguras pikiran dan waktu bahkan susah tidur.
Saya konsultasi dengan seorang psikolog di Jakarta, setiap bulan, selama hampir setahun, sejak tahun 2023. Dia bilang saya seharusnya menciptakan batas-batas dengan Rebeka.
Human Rights Watch, tempat saya bekerja, juga menyediakan seorang psikolog di Beirut, buat saya mencurahkan pikiran. Dia juga usul perlu dibuat batas-batas dengan orang yang agresif, istilah orang awam, "suka marah-marah."
Dalam lebih dari satu dekade terakhir keterampilan sosial Rebeka memang makin menurun. Dampaknya, apa yang diketik dan dibicarakan, bukan saja campuran antara harapan dan fakta namun juga khayalan serta ancaman. Dia sering membolak-balik fakta. Dia sering mencampur fakta dan fiksi. Psikolog di Beirut mengatakan bahwa berbagai tindakan Rebeka bisa dikategorikan sebagai "manipulatif."
Pada Juli 2017, Rebeka menjalani pemeriksaan gangguan jiwa di rumah sakit Grogol, Jakarta. Diagnosa seorang psikiater mengatakan Rebeka memiliki schizophrenia paranoid. Dua psikiater lain setuju dengan paranoid namun belum pasti soal schizophrenia.
Pada 14 Agustus 2018, sesudah serangkaian evaluasi, mereka menyimpulkan dia memiliki “bipolar hypermaniac.” Ada obat-obatan yang harus dikonsumsi Rebeka secara rutin. Sayangnya, dia tak mau terus konsultasi, juga tak melanjutkan konsumsi obat-obatan. Dia bahkan tersinggung bila disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa.
Pada 8 Juni 2021, Rebeka meninggalkan rumahnya di perumahan Cisauk, Tangerang Selatan, sesudah beberapa kali ketua RT Henny Wijaya minta “keluarga bertanggungjawab” atas berbagai tindakan Rebeka.
Dia jarang bayar iuran RT. Dia menuduh Henny “korupsi” dan melaporkan Henny ke polisi. Henny jengkel dan beberapa kali menelepon saya. Henny juga menelepon Heylen, adik saya lainnya yang tinggal di Jakarta, juga beberapa kolega saya, yang dikenalnya.
Rebeka juga beberapa kali mengambil barang milik tetangga, misalnya tanaman dan pasir. Bila ditegur, Rebeka marah-marah. Harganya mungkin tak seberapa tapi tetap mengganggu bukan?
Puncaknya, saya sekeluarga, termasuk adik-adik yang lain, mendorong Rebeka pergi ke Jember pada Juni 2021. Kebetulan Susanna, saudara kembarnya, juga sakit. Rebeka punya alasan buat pindah kota. Dia menemani Susanna di rumah sakit.
Rumah Cisauk dijaga seorang kenalan, yang sekaligus mengawasi renovasi rumah tersebut, selama beberapa bulan. Keluarga memenuhi keluhan Rebeka bahwa rumah tersebut terlalu panas. Biaya juga dikeluarkan dari dana keluarga.
Ternyata di Jember, Rebeka juga merepotkan para tetangga. Ketua RT Ayu Sulistyo Putri di bilangan Pasar Loak Blok M juga menghubungi Yohana, adik bungsu saya, dan saya.
Rebeka menuduh Panti Siwi tak melakukan perawatan dengan baik serta minta mamanya dikeluarkan dari Panti Siwi pada 21 Maret 2024. Tujuannya, hari yang sama, Metri ternyata dibawa ke Bank Mandiri buat mencairkan tabungan dan deposito. Namun Metri dinyatakan kurang sehat sehingga pihak bank juga tak mau mencairkan tabungan.
Kami memindahkan Rebeka kembali ke Cisauk pada Mei 2024. Ini juga agar memudahkan para perawat dari Jember Raya Homecare bekerja di rumah Metri di Jember. Susanna tetap berada di rumah tersebut, bergantian dengan para perawat, menjaga Metri.
Berbagai macam keluhan saya dengar dari orang lain soal tingkah-laku Rebeka. Masukan dari para psikolog relevan sekali.
Saya masih menerima email dari Rebeka guna mengirim pemberitahuan soal bantuan keuangan buat dia. Sudah cukup lama Rebeka tak memiliki penghasilan cukup serta mengandalkan bantuan keuangan dari keluarga setiap bulan. Kami bersaudara memastikan bahwa keperluan hidup pokok terpenuhi. Namun menciptakan batas dengan Rebeka, yang punya gangguan jiwa, adalah langkah yang perlu.