Monday, August 19, 2019

Terbebas dari Diskriminasi adalah Tugas Kita Semua

Saya melakukan wawancara tertulis dengan Aulia Meidiska dari Greatmind soal diskriminasi dan rasialisme di Indonesia. Saya terbitkan tanya jawab tersebut

Pada blog Anda dikatakan Anda peneliti di Human Rights Watch. Sejak kapan Anda bekerja disana dan apa yang bisa masyarakat Indonesia pelajari?

Saya mulai bekerja untuk Human Rights Watch pada 2008. Kebetulan persoalan intoleransi juga muncul dalam propaganda kebencian terhadap Ahmadiyah --sebuah minoritas Muslim, yang dituduh secara salah, punya nabi baru Mirza Ghulam Ahmad. Kacaunya, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan anti-Ahmadiyah pada Juni 2008. Dasarnya, pasal penodaan agama di Kitab Hukum Pidana pasal 156a. Peraturan yang diskriminatif selalu jadi pembenaran tindakan main hakim sendiri. Tak pelak lagi, peraturan 2008 tersebut memicu penutupan puluhan masjid Ahmadiyah serta pembakaran rumah, pengusiran bahkan penyerangan mematikan di Pandeglang dan Pulau Lombok.

Pada 2009, Gus Dur serta tiga ulama lain plus enam organisasi menggugat pasal 156a –disebut “blasphemy law” dalam bahasa Inggris-- di Mahkamah Konstitusi. Mereka berpendapat aturan tersebut tak sejalan dengan kebebasan beragama yang diatur UUD 1945. Pada April 2010, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Gus Dur dengan voting 8-1. Ini kemunduran buat kebebasan beragama di Indonesia.

Kalau saja hakim-hakim Mahkamah Konstitusi punya keberanian moral dan analisis tajam soal diskriminasi pada blasphemy law, dalam satu dekade berikutnya, Indonesia takkan dibikin repot oleh intoleransi yang makin menjadi. Takkan ada pemakaian pasal penodaan agama terhadap Gubernur Jakarta Basuki Purnama pada 2016. Takkan ada kasus ibu Meliana di Tanjung Balai yang bicara soal suara masjid terlalu keras dan dimasukkan ke penjara pada 2018.

Saya praktis dibuat sibuk dengan berbagai kekerasan terhadap minoritas non-Islam (termasuk Kristen) maupun non-Sunni (termasuk Ahmadiyah) dalam satu dekade ini. Pemerintahan Yudhoyono juga bikin peraturan “kerukunan umat beragama” pada 2006. Ini juga diskriminasi dimana berlaku prinsip mayoritas punya kuasa veto terhadap minoritas. Ada ribuan gereja ditutup atas dasar aturan tersebut. Bukan rahasia umum, bila Anda belajar soal agama, bahwa “religious harmony” adalah tandingan terhadap “religious freedom.” Kini diskriminasi di Indonesia dibuat bukan saja terhadap minoritas agama tapi juga pada perempuan dan minoritas seksual: gay, lesbian dan seterusnya.

 Seberapa jauh media di Indonesia memiliki pengaruh terhadap fenomena ini?

Pada 1999, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan hukum pers di Indonesia. Ini produk hukum yang menjamin kebebasan pers, termasuk pembentukan Dewan Pers, yang dibuat sebagai mekanisme penilaian bila sebuah berita dituduh mencemarkan nama baikk. Orang yang keberatan tak perlu lapor ke polisi. Dewan Pers bekerja dengan tak berat sebelah. Maka mutu jurnalisme meningkat dengan baik.

Namun ia perlahan-lahan menurun. Bila Anda perhatikan ranking Reporters Sans Frontieres, kebebasan pers Indonesia pun menurut dalam satu dekade ini. Pada 2013, Indonesia ranking 139, turun terus setiap tahun, sampai menjadi 124 pada 2018 dari total 180 negara. Sebabnya banyak hal. Google dan Facebook menggurita dan mengambil banyak kue iklan di Indonesia. Banyak ruang redaksi menekan anggaran. Banyak harian dan mingguan tutup buku. Faktor lain bias wartawan Indonesia. Banyak wartawan tak bisa memisahkan antara iman dan profesi mereka. Sebuah survei 2011 mengungkap bahwa 63 persen wartawan Indonesia setuju pelarangan Ahmadiyah, 37 persen setuju formalisasi Syariah Islam dan 41 persen setuju perempuan Muslim wajib berjilbab. Mereka ikut menyebarkan kebencian terhadap minoritas agama, gender dan seksual.

Salah satu kasus kekerasan sektarian adalah pengusiran terhadap sekitar 8,000 anggota Gerakan Fajar Nusantara dari Kalimantan. Ia dipicu oleh kepanikan wartawan Yogyakarta pada kasus seorang dokter “diculik” Gafatar pada 2015. Mereka menyebut Gafatar “sesat” bahkan “makar.” Di Pontianak, kepanikan tersebut memicu penyerangan terhadap rumah pertanian Gafatar di Mempawah. Mereka diusir paksa, mereka ditahan secara illegal selama sekitar enam bulan di berbagia tempat Jawa, Sumatra dan Sulawesi.

Saya percaya makin bermutu jurnalisme dalam suatu masyarakat maka makin bermutu pula opini publik dalam masyarakat tersebut dan demokrasi. Sebaliknya, makin tak bermutu jurnalisme dalam masyarakat, makin tak bermutu pula masyarakat tersebut. Saya kuatir melihat mutu jurnalisme di Indonesia makin menurun mutunya. Ia membuat usaha kita menandingi intoleransi juga makin berat.

Menurut Anda sejauh apa diskriminasi, baik atas nama agama atau ras, terjadi di Indonesia?

Menurut Komnas Perempuan pada 2017 ada lebih dari 400 peraturan daerah yang diskriminatif terhadap minoritas gender dan agama. Mereka tak memasukkan diskriminasi rasial, misalnya, terhadap etnik Madura di Kalimantan. Michael Buehler dari Universitas London, yang meneliti diskriminasi atas nama Syariah Islam, memperkirakan ada lebih dari 600 peraturan diskriminatif di Indonesia pada 2019.

Kita harus bedakan antara diskriminasi, yang dilakukan oleh pemerintah, serta rasialisme, yang dilakukan masyarakat. Rasialisme terhadap orang Papua, misalnya, dilakukan praktis tanpa aturan resmi. Ada film fiksi, “Lost in Papua” karya Irham Bachtiar, soal 16 perempuan Papua “memperkosa” lelaki Indonesia agar para perempuan kulit hitam dan rambut keriting tersebut mendapatkan “bibit unggul.” Ini rasialisme. Orang Indonesia dianggap bibit unggul sedang orang Papua digambarkan terbelakang dan tidak unggul. Filep Karma, seorang tokoh pro-kemerdekaan Papua, menyebut bahwa orang Indonesia umumnya menganggap orang Papua “setengah binatang.” Ini persoalan mendasar –rasialisme terhadap orang Papua—sehingga banyak orang Papua ingin merdeka dari Indonesia.

Rasialisme ini terjadi tanpa aturan negara namun bisa terjadi karena pemerintah Indonesia, sejak 1963, membatasi jurnalisme independen berkembang di Papua. Wartawan lokal ditekan. Wartawan lokal banyak disuap. Wartawan asing dibatasi masuk ke Papua.

Keadaan sudah serius karena Indonesia sering mengalamai kekerasan besar. Kita mengalami kekerasan massal pada 1965. Setidaknya 500 ribu orang mati. Kita juga mengalami kekerasan pada 1998. Setidaknya 90 ribu orang mati. Kalau kita tak mau belajar dari berbagai kesalahan masa lau, kita akan merasa biasa saja lihat diskriminasi dan rasialisme.

Sebenarnya diskriminasi itu hanya berasal dari para mayoritas ke minoritas atau secara tak langsung bisa saling mendiskriminasi satu sama lain?

Di negara yang majemuk macam Indonesia mungkin orang mudah mengatakan bahwa agama Islam adalah agama mayoritas dan orang Jawa adalah etnik terbesar. Dari sensus 2000, Muslim diperkirakan sekitar 177 juta atau 88 persen dari total penduduk 201 juta. Etnik Jawa diperkirakan 84 juta atau 42 persen dari total penduduk.

Namun persoalan tak sesederhana itu di lapangan. Lebih dari 30 ribu orang Jawa diusir dari Aceh sebelum tsunami 2004, kebanyakan pindah ke Riau dan Jambi. Etnik Madura nomor empat terbesar di Indonesia –sesudah Jawa, Sunda dan Melayu—namun ada lebih dari 6,500 orang Madura dibunuh di Kalimantan terutama kabupaten Sambas dan Sampit.

Ada empat provinsi dengan jumlah penduduk Kristen lebih dari 50 persen: Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat. Bali tentu mayoritas Hindu. Di sana, warga beragama Islam sering diperlakukan dengan tidak pantas. Ini belum lagi dengan lima provinsi dengan komposisi agama yang kurang lebih seimbang.

Persoalan minoritas dalam minoritas jarang dibahas.

Bagaimana melihat minoritas Muslim di Papua yang mayoritas Kristen? Ini belum lagi melihat minoritas Jawa di Sumatra, yang mayoritasnya sama beragama Islam, tapi bahasanya dari Aceh sampai Palembang, dari Melayu sampai Minang?

Saya kira pemerintah Indonesia –pusat maupun daerah—harus ingat betul soal prinsip kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini diatur diatur dalam konstitusi Indonesia maupun berbagai perjanjian internasional yang sudah diteken negara Indonesia, termasuk International Covenant on Civil and Political Rights maupun International Covenant on Economic, Cultural and Social Rights.

Apakah mungkin sebuah negara bisa terbebas dari diskriminasi? Apa cara yang bisa menjadi solusi diskriminasi?

Pertanyaan sulit karena harus membandingkan lebih dari 190 negara di dunia. Paling mudah adalah melihat index demokrasi. Ada beberapa index dibuat, antara lain dari Freedom House. Ada juga index kebebasan pers. Ada juga index hak perempuan, antara lain, bekerja dan berekspresi –termasuk soal pakaian—maupun akses pada pendidikan. Biasanya, kekerasan domestik juga indikasi buat hak perempuan.

Secara umum, semua negara ini naik turun prestasinya. Kadang naik, kadang turun. Jangan lupa bahwa Facebook ikut berperan bikin kacau pemilihan umum di Amerika Serikat pada 2016 dengan bocornya email Partai Demokrat. Donald Trump terpilih dengan cara yang mencurigakan. Namun ada negara-negara yang secara umum cukup lama bertahan dalam index demokrasi dan hak asasi manusia. Mereka kebanyakan ada di daerah Skandinavia. Artinya, mereka juga berhasil mengurangi diskriminasi sebanyak-banyaknya.

Bagaimana sebaiknya kita menghadapi atau menanggapi seseorang yang melakukan diskriminasi terhadap suatu ras?

Di Indonesia, Anda bisa laporkan tindakan kejahatan rasialis atau sektarian kepada polisi maupun berbagai lembaga hukum lain, termasuk ombudsman, dewan pers dan lainnya. Atau kalau tak mau repot, saya usul ditulis dan direkam dalam cataan pribadi. Dokumentasi adalah perlawanan yang paling dasar. Dicatat saja, mungkin kelak bisa berguna buat masyarakat luas. Anda tentu tahu buku harian Anne Frank di Amsterdam zaman pendudukan Jerman dalam Perang Dunia II? Ia adalah dokumentasi paling dikenal dari diskriminasi terhadap orang Yahudi di Eropa.

No comments: