Sunday, May 01, 2016

Ziarah ke Makam Abdurrahman Wahid

Kami sekeluarga ziarah ke makam Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di pesantren Tebuireng, Jombang. Saya kenal Gus Dur sejak 1980an lewat dosen saya, Arief Budiman di Salatiga, yang juga kawan Gus Dur. 

Arief pernah menugaskan Wisnu Tri Hanggoro dan saya buat wawancara Gus Dur. Ia liputan buat jurnal Kritis

Kami menunggu Gus Dur di ruang tamu Nahdlatul Ulama. Saya lupa kami wawancara soal apa. Tapi ada cerita menarik yang selalu saya ingat. Ketika sudah giliran wawancara, mungkin kami bertanya terlalu panjang atau membosankan, Gus Dur ... tertidur. 

Gus Dur tertidur di kursi kulit dengan sandaran yang nyaman. 

Wisnu dan saya cuma bisa diam. 

Kami menunggu Gus Dur terbangun. Begitu terbangun, Gus Dur lanjut saja jawab pertanyaan kami. 

Saya takkan pernah lupa pengalaman itu. 

Ketika pindah ke Jakarta pada 1991, mulai bekerja sebagai reporter, saya lebih sering bertemu Gus Dur. Kejadian Gus Dur tertidur juga saya saksikan lagi. Pernah jadi panelis dalam sebuah seminar, Gus Dur tertidur tapi langsung terhenyak dan bicara ketika giliran ceramah. 

Isinya bernas. Saya selalu menyimak omongan dan gurauan Gus Dur. Saya juga melipout ketika beliau sakit, namun sembuh, dan sesudah kejatuhan Presiden Soeharto, lantas sebentar di bawah Presiden B.J. Habibie, Gus Dur jadi presiden selama 22 bulan.

Saya pergi ke makam Gus Dur untuk mengenang seorang kawan. Kami berangkat naik mobil sewaan dari Surabaya, sekitar tiga jam, mencapai gerbang "Kawasan Makam Gus Dur."

Ada museum peradaban Islam dalam kawasan ini. Ia masih dalam tahan persiapan. Gedung museum sudah dibangun. Saya duga koleksi masih diatur. Ia belum dibuka buat umum.

Tempat parkir luas. Saya hitung setidaknya cukup buat 100 bus. Ini belum lagi parkir buat mobil kecil. 


Makam Gus Dur terletak jauh di dalam kawasan ini. Ia terletak bersama makam-makam lain keluarga besar pesantren Tebuireng. Ada papan nama, terbuat dari beton, mencantumkan nama-nama orang dalam pemakaman keluarga ini, termasuk kakek Gus Dur, Hasyim Asy'ari, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama pada 1926.

Menariknya, ada puluhan kios dalam kawasan ini. Mereka menjual banyak kaos bergambar Gus Dur, serta berbagai gelar kepadanya. "Bapak Pluralisme" adalah gelar paling sering saya jumpai di berbagai kios ini. 

Saya heran dengan keinginan banyak orang menjadikan Gus Dur sebagai "pahlawan nasional." 

Kaos ini menunjukkan bahwa Gus Dur sudah jadi pahlawan rakyat. Dia tak perlu dimasukkan ranah negara. Saya tak perlu mengingatkan betapa berbagai peringatan soal Gus Dur diabadikan, misalnya, sebuah klenteng di Gang Pinggir, Semarang. Atau sebuah kalimat Gus Dur di Monumen Nasional, Jakarta. Ini belum lagi berupa munculnya Gusdurian Network --sebuah jaringan orang muda di seluruh Indonesia yang mendapat inspirasi dari Gus Dur. 

Pahlawan adalah ranah rakyat. Ia tak perlu dimasukkan ke ranah negara karena justru akan timbul percekcokan. Soekarno termasuk "pahlawan nasional" tapi banyak orang tak suka Soekarno. Saya ragu misalnya apakah Soekarno dihormati di Papua? Saya percaya Gus Dur dihormati di Papua karena dia tak pernah melukai hati orang Papua. Ranah rakyat inilah yang harus diperjuangkan buat para pahlawan.

Menurut Pusaka Nasional, Indonesia kini memiliki 163 "pahlawan nasional" dari Tan Malaka sampai Mohammad Mangoendiprojo. Kalau nama mereka dijadikan nama jalan praktis orang tak mengenalnya kecuali beberapa tokoh yang memang terkenal.

Tan Malaka dan Alimin, dua tokoh komunis Indonesia, masuk dalam daftar "pahlawan nasional" zaman Presiden Soekarno. Rezim Orde Baru tak suka dengan keberadaan dua nama tersebut dalam daftar. Nama mereka tak pernah dijadikan nama jalan atau nama gedung. Jangan tanya deh bila ada memorial Tan Malaka atau Alimin. 

Ini salah satu sisi buruk dari pahlawan dimasukkan ke ranah negara. Bila pemerintah tak suka dengan mereka maka jejaknya dihapus. Siapa tahu kelak ada presiden Indonesia yang nilai-nilainya bertolak belakang dengan Gus Dur? Pahlawan seharusnya hak rakyat, hak swasta, tak perlu diatur oleh negara.

"Gitu saja kok repot" ucapan khas Gus Dur.

Saya praktis membaca hampir semua karya tulis Gus Dur. Kolomnya buat majalah Tempo pada 1982, "Tuhan Tidak Perlu Dibela," mungkin karyanya paling populer. Tak perlu diragukan bahwa Gus Dur adalah orang yang membaca banyak, pengetahuan luas, elok dalam argumentasi.

"Gitu saja kok repot" menunjukkan ketidaksabaran, sekaligus keluasan pengetahuan, Gus Dur, disampaikan dengan humor. Layak sekali bila ia dijadikan kaos.

Pemakaman ini buka 24x7. Artinya, ia selalu ramai dikunjungi orang. Beberapa pemilik kios mengatakan mereka juga buka 24 jam. Hari ramai adalah akhir pekan, Sabtu dan Minggu, serta hari libur.

Saya kaget melihat betapa banyak orang datang ziarah ke tempat ini. Lahan parkir mungkin cukup buat 100 buah bus. Kalau satu bus rata-rata 50 penumpang, lapangan parkir ini cukup buat 5,000 orang. Sebuah kunjungan tentu tak sepanjang hari. Jadi jumlah pengunjung bisa lebih dari 5,000 pada hari libur.

Makam Gus Dur terletak dekat pagar pembatas. Persis di sudut. Ia tak diberi batu nisan. Saya diberitahu penjaga bahwa ini makam Gus Dur. Banyak orang mendekati makam, berdoa atau sekedar diam. Saya cerita pada isteri dan anak saya soal apa jasa Gus Dur terhadap mimpin kita bersama soal proyek bernama Indonesia atau pun apa yang dilakukan Gus Dur demi "Islam" --terlepas dari setuju atau tidak tentang visi Gus Dur terhadap Islam. 

Pada 2009, Gus Dur ikut meneken gugatan terhadap pasal penodaan agama di Mahkamah Konstitusi, menuntut agar pasal tersebut dihapus dari hukum pidana di Indonesia. Gus Dur berpendapat pasal tersebut akan selalu jadi beban buat masyarakat Indonesia, termasuk warga yang beragama Islam. Gugatan tersebut kalah dengan voting 8 lawan 1. Gus Dur kalah namun dia sudah memulai sejarah yang benar bahwa pasal tersebut adalah diskriminasi mendasar di Indonesia.   

Ada banyak bunga diletakkan di atas makam Gus Dur. Banyaknya orang yang mendatangi makam Gus Dur, apapun motivasi mereka, menunjukkan bahwa Gus Dur memang orang luar biasa. Dia banyak berpikir soal Islam, Indonesia, demokrasi, hak asasi manusia, terutama minoritas, serta kemajuan umat manusia. Dia salah satu cendekiawan Muslim terbesar abad XX.

Kaos ini bicara soal kuburan dan kesunyian namun makam Gus Dur jauh dari kesunyian.

Kaos Gus Dur juga dijual bersama kaos Hasyim Asy'ari, kakeknya yang ikut mendirikan Nahdlatul Ulama. Juga ada kaos khas anak muda termasuk band rock.

Ia dijual dalam berbagai ukuran, warna serta harga. Pemakaman ini akhirnya juga jadi sumber penghasilan buat cukup banyak orang di sekitar Jombang. Hitungan kasar saja, dari perdagangan kaos sampai makanan, setidaknya Rp 500 juta keluar di sini. Ia belum termasuk ongkos perjalanan. Saya bersyukur bisa mengenang Gus Dur dalam perjalanan ini.


Gus Dur memang hanya menjadi Presiden Indonesia antara Oktober 1999 dan Juli 2001, tak sampai dua tahun. Dia dipecat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat karena berbeda pendapat dengan berbagai kalangan elite di Jakarta, termasuk dengan militer serta beberapa partai politik.

Namun Gus Dur memainkan peran yang jauh lebih besar pada era dimana kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia pasca-Soeharto pada titik yang sangat rendah dengan berbagai kekerasan, dari Aceh sampai Timor Timur, dari Ambon sampai Papua. Masa yang sangat sulit namun kekuatan moral Gus Dur membuat kekerasan tersebut tak membuat Indonesia ke dalam kesulitan lebih besar lagi.

No comments: