Monday, January 30, 2006

Batalyon Terakhir

Oleh Linda Christanty
Sindikasi Pantau


Di warung tepi pantai Ulee Lheue, Banda Aceh, saya duduk dekat sekelompok tentara. Mereka tengah mengaso. Seragam hijau loreng, senapan M16, rambut cepak. Mereka, para prajurit itu, menghirup kopi panas, mengunyah kacang goreng. Mereka tak banyak bicara. Mata tetap awas, meski gaya santai. Sepucuk M16 yang tersandar di dinding dekat pintu, menarik perhatian saya. Cahaya matahari dari luar menajamkan bentuknya. Hitam berkilap.

Mohamad Iqbal, fotografer dari Jakarta, mengajak saya ke Ulee Lheue sore itu. “Dulu pantai yang banyak dikunjungi,” katanya, membujuk. Semula kami hendak makan durian di Penayong, tapi berbelok ke Ulee Lheue. Kami mencegat becak mesin. Angkutan ini perpaduan becak dan kereta—sebutan orang Aceh untuk sepeda motor. Tarif Rp 15 ribu sekali jalan. Jarak tempuh setengah jam dari Simpang Lima. Gerimis mengiringi kami berangkat. Hujan deras menghantam di tengah jalan. Tapi di Ulee Lheue hujan kembali jadi gerimis.

Saya memotret apa saja. Pantai. Pelancong. Runtuhan jembatan. Tiang dermaga. Bekas sumur warga. Mercusuar. Kapal-kapal sandar. Menurut Iqbal, saya punya bakat memotret. Secara naluriah, saya tahu framing dan komposisi, katanya. Senang juga dianggap begitu. Dan kali ini saya ingin membidik tentara. “Boleh dipotret?” Mereka serempak menjawab, “Boleh, boleh…” Ada senyum. Ada tawa. Klik. Klik.

“Kalian seperti tumpukan daun, hijau semua!” seru saya, sambil terus melihat layar Nikon otomatis.

“Kakak menghina!”

“Masa’ kami dibilang daun?”

“Untuk dimuat di mana?”

“Di media mana?”

“Kak, saya mau dipotret berdua kakak, boleh?” celetuk seorang dari mereka. Ia langsung menghampiri saya, duduk bersisian. “Kak, boleh dipeluk sedikit ya?” pintanya. Saya mengangguk. Ia senang, lalu merangkul. Iqbal memotret kami. Klik. Prajurit itu berasal dari Maluku. “Untuk kenang-kenangan, kak.” Wajahnya cekung. Kulitnya gelap.

“Kalau saya dari Semarang,” ujar yang lain. “Tentara itu ‘kan multi etnis.” Nama prajurit yang bicara ini H. Christ. Tak jelas kepanjangan H maupun Christ. Saya jadi teringat tulisan orang tentang akronimisasi atau penyingkatan istilah di masa Suharto. Tindakan ini merusak kekayaan bahasa. Tentara dianggap pihak yang paling gencar membuat singkatan.

Mungkin H. Christ pemimpin kelompok prajurit ini. Ia kerap mengeluarkan uang dari dompet, membayari makan minum teman-temannya.

Sudah sepuluh bulan mereka di Aceh, tergabung dalam Yonif 400/Raider. Ini nama baru Yonif 401/Banteng Raider yang dibekukan dua tahun lalu. Markas batalyon tersebut di Semarang, Jawa Tengah.

Iqbal terkenang Alfian Hamzah yang dulu meliput tentara perang di Aceh untuk majalah Pantau. Alfian ikut serta saat pasukan menyergap orang-orang Gerakan Acheh Merdeka (GAM) atau menembak mereka.

“Nggak mungkin. Wartawan nggak boleh sampai ikut operasi,” kilah sang pemimpin. Alfian memang nekad, batin saya.

Mereka menamakan diri tentara plus. “Kami dididik Kopassus (Komando Pasukan Khusus),” celotehnya, bangga.

“Besok kami pulang. Kami inilah batalyon terakhir. Habis masa tugas. Sudah damai sekarang. Biar kita serahkan pada kawan di sini. Iya’ kan? Nanti kalau raportnya baik, kami nggak kembali. Kalau buruk, ya terpaksa ke sini lagi.” Kawan yang dimaksud adalah GAM.

Ia kemudian menanyakan kerja Iqbal, “Wartawan ya? Banyak ya, Mas, wartawan yang mati dalam konflik?”

Iqbal tak menjawab, sibuk menghisap rokok. Mungkin, ia waswas berdebat soal pelanggaran hak asasi dengan prajurit bersenjata. Tentara paling banyak melakukan tindak kekerasan di Indonesia. Menghajar mahasiswa. Menembak petani atau buruh. Memperkosa perempuan atau ibu-ibu. Menembak orang tua, anak-anak, dan bayi. Merampas harta-benda penduduk di zona konflik.

“Tapi tentara dan wartawan punya persamaan, sama-sama langganan sakit tipus dan lever,” kata si prajurit, tergelak.

Besok, 26 Desember 2005, peringatan 1 tahun tsunami akan berlangsung di Ulee Lheue. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bakal datang. Pengamanan sekitar lokasi sudah dimulai. Para prajurit ini ambil bagian.

Ulee Lheue termasuk daerah paling parah kena tsunami. Dari 2000 penduduk desa tinggal 350 orang yang hidup. “Dulu di sini pemukiman padat. Sekarang jadi laut,” kisah Nani Afrida, redaktur Ceureumen, tabloid dua mingguan yang berbasis di Banda Aceh. Ceureumen didanai Decentralization Support Facility, sebuah lembaga pendukung desentralisasi Aceh. Ketika itu ia dan temannya, Hotli Simanjuntak, fotografer paruh waktu, mengantar saya melihat-lihat Ulee Lheue di awal bulan.

Tak berapa lama para prajurit pun pamit. Si Maluku menyalami saya, “Kak, pamit dulu ya, mau istirahat.” Saya tak sempat mengetahui namanya.

“Jangan lupa ke 400 kalau ke Semarang nanti, cari saja saya pasti ketemu,” ujar Anjar, yang posturnya lebih mirip remaja belasan ketimbang tentara. Ia dari etnik Jawa. Saya berkali-kali memergokinya menatap saya.

“Mungkin melihat kamu dia ingat seseorang. Mungkin ingat anaknya. Jangan-jangan setelah perang ini mereka malah mempertanyakan kenapa harus ada perang, merasa sia-sia jadi tentara,” kata Iqbal, mirip psikolog.

Hujan tiba-tiba menderas di Ulee Lheue. Pikiran saya masih tertuju pada tentara.

Pada 31 Desember ini 14.700 prajurit non organik sudah harus mundur dari Aceh. Aceh Monitoring Mission atau disingkat AMM bebas tugas pada Maret 2006. AMM memantau proses perdamaian di Aceh. Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Mayor Jenderal Supiadin, menegaskan tugas AMM tak usah diperpandang. Padahal GAM ingin AMM aktif sampai Juni 2006.

Tiba-tiba Kuntoro Mangkusubroto, kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Kepulauan Nias, ingin mendatangkan 10 ribu prajurit untuk membantu rekonstruksi Aceh. Gagasan Mangkusubroto menimbulkan pro dan kontra. Sebagian orang cemas kalau kehadiran mereka dibonceng agenda politik. Bisa-bisa Aceh bergolak lagi seperti dulu.

Namun, Tjipta Lesmana, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Pelita Harapan menyebut TNI atau Tentara Nasional Indonesia memang punya tanggung jawab politik. “Artinya, kalau masalah NKRI ini terserempet, kalau integritas negara ini dirasakan terancam, di sana TNI diundang atau tidak, harus masuk, harus intervensi,” kata Lesmana dalam sebuah wawancara di Radio Nederland. Wah… Tampaknya jalan menuju damai belum mulus benar.

Saturday, January 28, 2006

Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita


Naskah "Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita" dibuat mulanya sebagai pengantar buku Jurnalisme Sastrawi. Ia sudah terbit dua kali, termasuk edisi revisi, yang warna putih.


SEMUA ini bermula dari keisengan belaka. Pada Maret 2000, dari sebuah apartemen kecil di dekat Harvard Square, jantung kota Cambridge, Amerika Serikat, saya mengirim sebuah email kepada dua mailing list yang anggota-anggotanya kebanyakan warga Indonesia: wartawan, seniman, dosen, peneliti, dan sebagainya.

Isinya sebuah pertanyaan yang diterangkan dengan agak panjang lebar. Mengapa di Indonesia tak ada surakabar di mana orang bisa menulis narasi secara panjang dan utuh? Mengapa jurnalisme sastrawi (literary journalism) tak berkembang di kalangan wartawan, sastrawan, seniman, dan cendekiawan Indonesia?

Pertanyaan itu muncul sejak semester sebelumnya ketika saya mengikuti matakuliah non-fiction writing dalam program Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard. “Kalau di Amerika Serikat mereka punya majalah Time, Newsweek, dan sejenisnya, kita juga punya Tempo, Gatra, dan lain-lain. Kalau Amerika punya harian The New York Times, The Washington Post, kita juga punya harian sejenis. Tapi mengapa kita ompong di jurnalisme sastrawi?”

“Jurnalisme sastrawi” adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama "new journalism" (jurnalisme baru). Kritisi menanggapi, “Apanya yang baru?”

Maka pada 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi dengan judul The New Journalism. Mereka jadi editor. Mereka memasukkan narasi-narasi terkemuka zaman itu. Antara lain dari Hunter S. Thompson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin, dan Wolfe sendiri. Wolfe dan Johnson menulis kata pengantar. Mereka bilang genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.

Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan, narasumber. Risetnya tidak main-main. Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Tapi bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal.

Beberapa pemikir jurnalisme mengembangkan temuan Wolfe. Ada yang pakai nama "narrative reporting." Ada juga yang pakai nama "passionate journalism." Pulitzer Prize menyebutnya “explorative journalism”. Apapun nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. lebih dalam daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya panjang dan utuh –tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.

Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W 1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (dimana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana).

Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esei Nieman Reports, “who” berubah menjadi karakter, “what” menjadi plot atau alur, “where” menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motivasi, dan “how” menjadi narasi.

Ada juga yang bilang genre ini adalah jawaban media cetak terhadap serbuan televisi, radio, dan internet. Hari ini praktis tak ada orang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Orang mengandalkan media elektronik. Suratkabar tak bisa bersaing cepat dengan media elektronik. Namun media elektronik sulit bersaing kedalaman dengan media cetak. Suratkabar bisa berkembang bila ia menyajikan berita yang dalam dan analitis. Genre ini makanya disajikan panjang. Majalah The New Yorker bahkan pernah menerbitkan sebuah laporan hanya dalam satu edisi majalah. Judulnya “Hiroshima” karya John Hersey yang dimuat pada 31 Agustus 1946 tentang korban bom atom Hiroshima.

Pada Maret 2000 itu, mingguan The New Yorker merayakan ulang tahunnya yang ke-75. Editor David Remnick datang ke Harvard dan bicara panjang lebar soal tantangan majalah tersebut. Banyak orang mengatakan The New Yorker adalah ikon dunia pemikiran di Amerika Serikat. Ada lebih dari 10 judul buku diterbitkan dalam kesempatan ini.

Di Indonesia, kehidupan pers bebas baru mulai 1998 saat Soeharto ambruk kejeblok. Negara baru ini dibentuk pada 1950-an dengan menghancurkan semua suratkabar “peninggalan” kolonialisme Belanda. Tak ada garis sambung antara media pemula di Hindia Belanda –dengan jagoan-jagoan macam Tirto Adisurjo, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, Mas Marco Dikromo, Kwee Kek Beng, Adi Negoro, atau J.H. Pangemanann– dan media pascakemerdekaan dengan tokoh macam Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Joesoef Isak, Umar Said, serta L.E. Manuhua.

Buntutnya, republik baru ini tak punya sejarah jurnalisme yang panjang. Ia belum pernah punya majalah atau harian yang secara sadar menggunakan narasi sebagai tulang punggung cerita-ceritanya. Berapa wartawan yang bisa dan biasa menulis lebih dari 15,000 kata dalam satu cerita? Kebanyakan wartawan di negara baru yang didirikan dari Hindia Belanda ini tumbuh hanya dengan batas 1.000 atau 2.000 kata per cerita. Apalagi pada zaman Orde Baru.

Saya menulis bahwa di Indonesia genre ini tak berkembang karena tak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah panjang. Memang ada media kecil yang memberikan kesempatan menulis panjang, itu pun kebanyakan esei, macam majalah Sastra, Horizon, Kalam, Basis, atau Intisari. Namun ukuran mereka relatif kecil, bukan media mainstream, dan isinya lebih banyak esei yang kering (kecuali mungkin Intisari), plus catatan kaki, daripada narasi yang bisa dinikmati orang banyak. Apakah jurnalisme sastrawi tidak berkembang karena pasarnya kecil? Apakah mereka ompong karena zaman rezim Presiden Soeharto belum memungkinkan gaya begitu?

“Saya tidak tahu jawabnya secara persis,” kata saya.

Keisengan itu ternyata mendapat reaksi. Dari mailing list penerima beasiswa Fulbright Scholarship, ada jawaban dari tiga mahasiswa Indonesia yang sedang studi lanjut di Amerika: Fadjar I. Thufail, Biranul Anas, dan Wicak Sarosa. Dari mailing list Institut Studi Arus Informasi, saya mendapat jawaban dari Yosep Adi Prasetyo, Alip Kusnandar, Nirwan Dewanto, maupun Atmakusumah Astraatmadja.

Yosep Adi Prasetyo kritis mempertanyakan genre ini, “Saya kuatir penamaan-penamaan jurnalisme ini tak bermakna apa-apa, kecuali hanya ingin menandai serta membedakan karya yang satu dari karya yang lain.” Alip Kusnandar dari Makassar mempertanyakan apa sebenarnya ciri-ciri genre ini? Apa yang membedakannya dari jurnalisme biasa?

Fadjar Thufail mengatakan, “Menurut saya, kuncinya justru terletak pada Anda, atau kawan-kawan di sektor media, untuk mulai bereksperimen dengan segala macam kemungkinan genre penulisan. Saya yakin, sekali ada yang mulai, pasti nantinya kita paling nggak punya satu majalah semacam itu....”

Nirwan Dewanto menulis, “Penerbitan majalah yang bisa menyelenggarakan jurnalisme sastrawi (seperti The New Yorker) memang harus diusahakan atau kita usahakan bersama …. Namun, kalau berpikir tentang pembaca dan pasar, sampeyan pasti gemetar juga untuk membuat majalah ala The New Yorker di Negeri Melayu. Tapi soal yang lebih penting, seperti yang sudah saya bilang, siapa wartawan dan penulis kita yang bisa dan siap untuk itu?” kata Nirwan.

Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers, pesimis pada proposal Fadjar Thufail karena genre ini “tidak mungkin” berkembang di Indonesia. Pasalnya? Kebanyakan media bermodal kecil atau sama sekali tidak berkeuntungan. Para pengasuhnya, termasuk wartawan, sangat sedikit jumlahnya.

Astraatmadja memberi contoh. Harian Tifa Papua (Jayapura) hanya diasuh lima wartawan. Ada harian Palu dan Kendari yang hanya diasuh oleh kurang lebih tiga wartawan saja. Jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden Soeharto hanya sekira 7.000, mengasuh hampir 300 media cetak. Ada hampir 700 stasiun radio (walaupun sangat sedikit yang memiliki kegiatan jurnalistik) dan enam stasiun televisi. Sekarang, ketika media cetak jadi sekira 600-700, stasiun radio lebih dari 1.000, dan televisi menjadi lebih dari sepuluh di Jakarta, paling-paling wartawan bertambah menjadi 8.000-10.000. Bandingkan dengan Jerman, misalnya, yang 90.000, termasuk 40.000 wartawan freelance. Jadi ada kekurangan wartawan.

“Media massa kita lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas –yang memerlukan lebih banyak waktu untuk membuatnya. Mengingat sangat kurangnya tenaga wartawan, walaupun sejumlah kecil media seharusnya sudah mampu menyisihkan sebagian wartawannya untuk lebih memusatkan perhatian pada, misalnya: peliputan penyidikan (investigative reporting), peliputan berkedalaman (in-depth reporting), dan jurnalisme baru,” kata Astraatmadja, maka tak mungkin penulisan narasi bisa berkembang di Indonesia.

Debat itu sangat menarik. Ia berjalan hingga dua bulan. Saya puas dengan jawaban-jawaban yang muncul. Kesimpulan diskusi, tak mungkin bikin media dengan narasi di Jakarta. Negeri ini ditakdirkan bernasib malang!


ROBERT VARE seorang lelaki paruh baya. Rambutnya memutih. Dia biasa datang Jumat siang ke Lippmann House, Cambridge, naik mobil sedan warna hijau. Lippmann House adalah rumah petani yang diubah jadi kantor, perpustakaan, dan ruang kelas milik Nieman Foundation di Harvard. Nama Lippmann, tentu saja, diambil dari teoritikus jurnalisme terkenal Walter Lippmann, penulis Public Opinion, buku babon jurnalisme awal abad ke-20. Harvard sengaja menamakan rumah itu untuk menghormati Lippmann.

Robert Vare pernah bekerja untuk majalah The New Yorker dan Rolling Stones. Dia mengajar kelas narasi saya. “Kelas” mungkin pengertian yang agak kaku karena kami lebih sering diskusi di ruang yang hangat. Makan. Minum. Ruang kelas, pakai karpet tebal. Penerangan warna kuning hangat. Kursinya macam-macam. Ada sofa, ada kursi Victorian, terkadang malah tiduran. Seringnya, para murid membaca bergantian. Lalu saling memberi komentar. Ketika musim dingin, perapian dinyalakan.

Setiap Jumat, Robert membawa daftar bacaan. Truman Capote. Tom Wolfe. Joan Didion. Jimmy Breslin. Joseph Mitchell. John McPhee. Juga generasi baru. Mark Kramer. Susan Orlean. Andrian Nicole LeBlanc. Joseph Nocera. Mark Singer. Mark Bowden. Kami sampai “mabuk” karena tiap minggu membaca karya demi karya. Hampir semuanya bikin saya tercengang.

Menurut Vare, ada tujuh pertimbangan bila Anda hendak menulis narasi.

Pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Biru biru.

Jurnalisme sastrawi bukan, bukan, sekali lagi bukan, reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Sering orang salah mengerti. Narasi boleh puitis tapi tak semua prosa yang puitis adalah narasi. Kebanyakan narasi bawaan Robert Vare malah tak puitis. John Hersey menulis “Hiroshima” layaknya laporan suratkabar. Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Maka apa yang disebut sebagai jurnalisme sastrawi juga mendasarkan diri pada verifikasi.

Saya sering ditanya apakah kumpulan cerita pendek karya Seno Gumira Adjidarma Saksi Mata masuk dalam kategori jurnalisme sastrawi? Adjidarma cerita soal pembunuhan orang-orang Timor Leste oleh tentara-tentara Indonesia pada November 1991. Ceritanya memukau. Tapi karya itu fiktif. Nama-nama diganti. Tempat tak disebutkan jelas. Adjidarma membuat cerita fiksi justru karena dia tak bisa menuliskan fakta. Harap maklum, rezim Soeharto dengan anjing-anjing penjaganya melarang media bercerita bebas soal pembantaian Santa Cruz 1991.

Kedua, konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Bila Anda berminat bikin narasi, Anda sebaiknya pikir berapa besar sengketa yang ada?

Sengketa bisa berupa pertikaian satu orang dengan orang lain. Ia juga bisa berupa pertikaian antarkelompok. Misalnya, upaya Arnold Ap, cendekiawan Papua, mengembangkan kesenian dan nasionalisme Papua berbuntut ketegangan dengan tentara Komando Pasukan Khusus dari Jawa yang dikirim ke Jayapura. Ap ditahan dan ditembak mati. Banyak sekali cerita di Republik Indonesia yang mengandung sengketa. Dari Sabang sampai Merauke, isinya banyak berdarah.

Namun sengketa juga bisa pertentangan seseorang dengan hati nuraninya. Sengketa juga bisa pertentangan seseorang dengan nilai-nilai di masyarakatnya. Soal interpretasi agama sering jadi sengketa. Pendek kata, konflik unsur penting dalam narasi. Dalam fiksi, seluruh cerita terkenal dibangun di atas gugusan konflik. Bahkan lapis-lapis konflik. Tanpa elemen konflik, orang tak akan membaca Harry Potter, bahkan kisah Cinderella atau Putri Tidur dan Tujuh Kurcaci.

Ketiga, karakter. Narasi minta ada karakter-karakter. Karakter membantu mengikat cerita. Ada karakter utama. Ada karakter pembantu. Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Ia harus punya kepribadian menarik. Tak datar dan tak menyerah dengan mudah.

Pada 15 November 1958, di kota kecil Holcomb, Kansas, terjadi pembunuhan terhadap bapak, ibu, dan dua anak keluarga Clutter. Ini keluarga petani. Mereka ditembak dengan senapan laras pendek. Jaraknya, dekat dengan wajah mereka.

Wartawan The New Yorker Truman Capote mengikuti kasus ini selama enam tahun hingga pemuda Richard Hickock dan Perry Smith ditemukan polisi, diadili, dinyatakan bersalah, dan dihukum gantung karena kasus tersebut. Maka Capote pun menerbitkan serial In Cold Blood di majalah The New Yorker. Dick dan Perry adalah karakter dalam cerita Capote.

Keempat, akses. Anda seyogyanya punya akses kepada para karakter. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.

Capote mengikuti kasus Dick dan Perry selama lima tahun, empat bulan, dan 28 hari. Capote menyaksikan penangkapan mereka. Pemeriksaan. Pengadilan. Hukuman. Capote juga menyaksikan ketika Dick dan Perry dihukum gantung. Serial itu dibukukan dan difilmkan. Capote punya akses yang luar biasa terhadap keduanya.

Kelima, emosi. Ia bisa rasa cinta. Bisa pengkhianatan. Bisa kebencian. Kesetiaan. Kekaguman. Sikap menjilat dan sebagainya. Emosi menjadikan cerita Anda hidup. Emosi juga bisa bolak-balik. Mulanya cinta lalu benci. Mungkin ada pergulatan batin. Mungkin ada perdebatan pemikiran. Capote menangkap emosi Dick dan Perry.

Di Indonesia, saya kira tidak susah mencari karakter dengan emosi. Mulai drama perlawanan orang-orang Acheh terhadap Jakarta hingga gerakan kemerdekaan di Timor Leste. Mulai diskriminasi terhadap orang Tionghoa –disuruh meninggalkan identitasnya, agamanya, namanya, dan dipaksa “berasimilasi”– hingga pembunuhan massal terhadap orang-orang Madura di Kalimantan.

Keenam, perjalanan waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan suratkabar “biasa” dengan sebuah potret. Snap shot. Klik. Klik. Klik. Laporan panjang adalah sebuah film yang berputar. Video. Ranah waktu jadi penting. Ini juga yang membedakan narasi dari feature. Narasi macam video. Feature macam potret. Sekali jepret.

Vare menyebutnya “series of time.” Peristiwa berjalan bersama waktu. Konsekuensinya, penyusunan struktur karangan. Mau bersifat kronologis, dari awal hingga akhir. Atau mau membuat flashback. Dari akhir mundur ke belakang? Atau kalau mau bolak-balik bagaimana agar pembaca tak bingung? Teknik-teknik ini diajarkan dan didiskusikan bersama selama setahun di ruang kelas yang hangat itu. Saya sangat menikmati masa dua semester bersama Vare.

Panjang perjalanan waktu tergantung kebutuhan. Cerita kehamilan bisa dibuat dalam sembilan bulan. Tapi bisa juga dibuat dalam kerangka waktu dua tahun, tiga tahun, dan sebagainya. Tapi bisa juga sekian menit ketika si ibu bergulat hidup dan mati di ruang melahirkan.

Ketujuh, unsur kebaruan. Tak ada gunanya mengulang-ulang lagu lama. Mungkin lebih mudah mengungkapkan kebaruan itu dari kacamata orang biasa yang jadi saksi mata peristiwa besar. John Hersey mewawancarai dua dokter, seorang pendeta, seorang sekretaris, seorang penjahit, dan seorang pastor Jerman untuk merekonstruksi pemboman Hiroshima.

Secara detail, Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus bom rahasia, ada kematian menyeramkan, ada dendam, ada rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah satu cerita termasyhur dalam sejarah jurnalisme Amerika.

Pada Maret 1999, Universitas New York menunjuk 37 ahli sejarah, wartawan, penulis, dan akademisi untuk memilih 100 karya jurnalistik terbaik di Amerika Serikat pada abad ke-20. Hasilnya, “Hiroshima” menduduki tempat nomor satu.


PADA Agustus 2000, saya kembali ke Jakarta dan mendapat kesempatan menyunting majalah Pantau –sebuah bulanan terbitan Institut Studi Arus Informasi yang isinya melulu soal media dan jurnalisme. Tujuannya, memantau perilaku media dan wartawan di kawasan ini. Alasannya, Presiden Soeharto ambruk kejeblok. Demokratisasi mulai maju jalan. Kebebasan media juga maju jalan. Harus ada orang media yang mengawasi media. Jangan orang pemerintah yang mengawasi media.

Debat itu pun membuat saya terdorong menyisihkan halaman dan dana majalah Pantau untuk reportase panjang. Kami minta bantuan Suzanne Siskel dari Ford Foundation serta Novalina Kusdarman dari United States Agency for International Development (USAID) untuk membantu pendanaan Pantau. Siskel berbaik hati dengan memberikan US$200,000 kepada Pantau. Kami juga dapat bantuan $60,000 dari Partnership for Governance Reform in Indonesia.

Maka pada Desember 2000-Februari 2001, majalah ini disiapkan dengan kebijakan baru. Ia misalnya melakukan sistem freelance di mana wartawan yang menulis untuk Pantau hampir semuanya bekerja secara freelance.

Kami juga memakai byline serta firewall –sesuatu yang asing dalam dunia persuratkabaran Indonesia walau sudah berjalan sekitar 100 tahun dalam praktik di banyak negara lain. Byline adalah penyebutan nama si penulis cerita pada awal suatu laporan jurnalistik (bedakan dari tagline di mana diletakkan nama-nama kontributor laporan). Firewall adalah garis tipis yang dicetak di antara semua iklan dan semua berita sebagai simbol bahwa iklan dan berita tak boleh dibuat samar.

Lima tahun sebelumnya, saya bekerja untuk harian The Nation di Bangkok. Saya mulai sadar bahwa standar jurnalisme Thailand beda dari di sini. Mereka pakai byline, pakai firewall, menugaskan wartawan jadi kolumnis, meliput media secara independen, dan sebagainya.

Di Jakarta, masih banyak alasan untuk menjadikan wartawan tidak accountable kepada publik. Byline sebagai wujud akuntabilitas wartawan, tidak dipakai. Iklan campur aduk dengan muatan redaksional (disebut advertorial, gabungan kata “advertisement” dan “editorial”) dan wartawan lebih dianggap kuli daripada orang kreatif.

Saya juga ingin ikut meningkatkan mutu jurnalisme Indonesia. Ini juga kesempatan memperkenalkan jurnalisme sastrawi ke kawasan ini. Tanpa sadar, saya ternyata menjawab debat dengan Atmakusumah Astraatmadja, Nirwan Dewanto, dan lainnya dengan menciptakan sebuah majalah dengan narasi sebagai tulang punggungnya. Bisa gagal, bisa berhasil.

Maka laporan demi laporan muncul sejak Maret 2001. Liputan media. Adegan. Karakter. Byline. Pagar api. Kami mulai meliput media hingga jurnalisme. Saya tak membesar-besarkan kalau mengatakan bahwa kami memperkenalkan kali pertama liputan media yang independen terhadap media lain dalam sejarah jurnalisme di kawasan ini –sejak zaman suratkabar pertama Batavia Nouvelles terbitan 1745 di kota Batavia.

M. Said Budairy jadi ombudsman. Dia berhak memeriksa semua catatan wartawan bila ada keluhan terhadap Pantau. Budairy memantau si pemantau. Di Indonesia, memang belum ada praktik media memantau media lain. Pantau melakukannya. Maka ia pun harus mengadakan sistem agar dirinya juga dipantau. Tiap bulan Budairy menulis laporannya di halaman Pantau.

Honor laporan ditetapkan Rp 400 per kata. Ini tergolong tinggi untuk ukuran kantong kami. Ternyata ia juga tinggi untuk ukuran Jakarta.

Wisnu Tri Hanggoro dari Lembaga Studi Pers dan Informasi, Semarang, menulis di harian Suara Merdeka bahwa kami menghargai wartawan dengan “honorarium yang cukup tinggi untuk terbitan di Indonesia.”

“Begitu juga gambar-gambar kartun … atau foto-foto yang menghiasi beberapa halaman Pantau, bayaran yang diterima para kontributornya barangkali bisa dikatakan tertinggi dibanding yang pernah mereka terima dari media lain,” kata Wisnu.

Kami berpendapat wartawan harus dibayar layak. Kami tahu betapa banyak wartawan di Indonesia yang menerima amplop. Moral mereka rusak. Amplop sering diakibatkan gaji yang tak layak. Gaji mereka tak cukup. Maka amplop dan saudara-saudaranya sering dihalalkan. Tapi saya juga berpendapat gaji kecil bukan pembenaran terhadap korupsi.

Ide bertutur ini menarik perhatian Janet Steele, seorang dosen matakuliah narasi di Universitas George Washington. Steele usul Pantau bikin kursus menulis narasi. Kami suka ide itu. Pada Juli 2001, kursus ini diadakan kali pertama.

Steele menyusun silabus yang diadaptasi dari kelas serupa ampuannya di Washington DC. Sambutan baik. Janet mengajar bersama saya. Masing-masing seminggu. Kursus itu dijalan mulanya setahun sekali, lalu jadi satu semester sekali.

Tapi manajemen majalah ini ternyata tak setangguh ruang redaksinya. Ia berhasil menarik pelanggan hingga hampir 1.000 orang per bulan. Ia dicetak 3.000 eksemplar tiap bulan. Hingga pertengahan 2002, sekitar 2.000-2.500 terjual dan beberapa edisi malah habis. Ia juga menerima sponsor. Tapi itu baru menutup sekitar 40 persen biaya operasi yang rata-rata Rp 110 juta per bulan. Susah memang. Saya terkadang merasa tertekan.

Pada 11 Februari 2003, Institut Studi Arus Informasi mengumumkan penutupan Pantau karena masalah keuangan. “Saya berat sekali. Majalah ini majalah yang bagus dan belum ada di Indonesia. Tapi majalah yang bagus kan butuh uang? Di Amerika, majalah seperti ini juga tidak hidup dari perdagangan, harus disubsidi dan itu yang kita tak punya," kata Goenawan Mohamad, ketua Yayasan Institut Studi Arus Informasi.

Kami semua tercekat. Saya sedih tapi saya juga sadar kesulitan manajemen. Wisnu Tri Hanggoro, yang mengenal Pantau cukup dekat, mengatakan, “Yang tampaknya luput dari penanganan manajemen Pantau adalah faktor pemasaran majalah ini. Di dalam marketing theory, betapa pun tinggi kualitas suatu produk, bila tidak didukung kiat-kiat pemasaran yang jitu, secara tak terelakkan produk tersebut akan memenuhi gudang atau tempat-tempat penyimpanan barang, yang dalam perkembangannya justru akan menuntut biaya tambahan.”

Faktor pemasaran ini pula yang coba diperbaiki ketika sejumlah kontributor berusaha menghidupkan kembali majalah Pantau. Tidak lagi diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi tapi oleh Yayasan Pantau yang didirikan khusus demi tujuan memajukan jurnalisme di Indonesia. Titik lemah ini ternyata tak mampu juga ditangani dengan baik. Kami bahkan mengulang kesedihan yang sama. Pantau hanya mampu hadir dengan tiga edisi karena pemasaran yang buruk dan investor, yang dulu bilang tertarik menanamkan modalnya, ternyata tarik diri hanya dengan kata “minta maaf.” Atmakusumah benar. Media dengan genre ini sulit berkembang di Indonesia.


CHIK RINI seorang wartawan Banda Aceh. Dia bekerja untuk harian Analisa, Medan. Almarhum ayahnya, juga mantan wartawan Analisa. Rini orangnya agak pendiam. Dia berkerudung rapat yang terkadang disetel dengan blue jeans berkantong samping, macam celana naik gunung. Dia tak pakai kata “saya” atau “aku.” Ia mengacu dirinya sendiri dengan kata “Rini” –sehingga terkesan agak kekanak-kanakan tapi metode kerjanya sebagai wartawan tak diragukan lagi.

Suatu hari, dia datang ke Jakarta untuk mengobrol dan tukar pendapat. Dia terkesan pada naskah “Hiroshima” karya John Hersey. Kesan itulah yang mendorong Chik Rini mencari suatu isu yang bisa dituangkannya sebagai karya Herseyian. Maka Rini pun menggali pembunuhan orang-orang Acheh oleh tentara Indonesia di Simpang Kraft. Saya kagum pada karya tersebut.

Delapan cerita yang dimuat antologi ini adalah hasil kerja majalah Pantau antara 2001 dan 2004. Chik Rini salah satu dari delapan. Sisanya, Agus Sopian, Alfian Hamzah, Budi Setiyono, Coen Husain Pontoh, Eriyanto, Linda Christanty, dan saya. Namun kami tak mau menyebutnya sebagai versi Indonesia dari jurnalisme sastrawi.

Kami tahu diri. Karya-karya ini belum layak disandingkan dengan karya legendaris John Hersey atau Truman Capote. Ini hanya percobaan. Mulai cerita Alfian Hamzah soal tentara-tentara Indonesia di Aceh hingga cerita Agus Sopian soal seorang warga Malaysia yang mengebom Atrium Senen –satu pusat belanja di Jakarta. Semuanya adalah karya coba-coba. Ada juga karya Budi Setiyono soal band Koes Bersaudara. Atau Linda Christanty yang menghidupkan kembali cerita seorang pemulung yang mati dibakar warga Jakarta.

Ada yang memuji. Ada yang mencela. Nani Afrida, koresponden The Jakarta Post di Banda Aceh, mengatakan bahwa karya Alfian “bagus” karena wartawan Acheh tak mungkin bisa mewawancarai tentara Indonesia sedalam Alfian.

Hasballah Saad, orang Aceh yang pernah jadi menteri dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, mengatakan dia terpingkal-pingkal membaca “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan.”

Rini sengaja meniru struktur John Hersey. Linda “menghidupkan kembali” Kebo dengan menelusuri riwayat hidup pemuda itu. Dari desa hingga kematiannya di sebuah sudut panas kota Jakarta. Budi dan saya mencoba flask back.

Semua karya ini dipilih ramai-ramai lewat mailing list kami. Bukan pekerjaan mudah. Ada debat kiri dan kanan. Chik Rini punya karya lain soal kematian Panglima Gerakan Acheh Merdeka Teungku Abdullah Syafi'ie pada 22 Januari 2002. Naskah ini tak kalah bagus dengan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.”

Intinya, kami mencari naskah yang isinya benar serta mencoba secara sadar meniru apa yang diajarkan Robert Vare. “Benar” bukan kriteria yang gampang. Minimal, kami mengukurnya dari reaksi publik. Di luar kedelapan naskah ini juga masih banyak karya Pantau yang layak dijadikan bahan diskusi.

Pertimbangan lain adalah komposisi. Budi Setiyono dan saya memilih isi cerita yang beragam, dari cerita soal wartawan, juga Acheh, juga terorisme, juga Ambon. Kami menyusunnya agar ia enak dibaca. Langsung maupun sendiri-sendiri.

Kami hanya mau belajar dari Tom Wolfe. Siapa proses belajar ini bisa berguna untuk wartawan atau penulis lain? Atmakusumah Astraatmadja menyebutnya, “Ini karya ibarat kawan lama datang bercerita.”

Pada 2004, John Dugdale dari harian Guardian menulis bahwa “jurnalisme baru” Tom Wolfe, “… lies behind much contemporary newspaper and magazine writing, from profiles to political reporting, and not just (as is often assumed) style journalism” (ia mempengaruhi kebanyakan penulisan suratkabar dan majalah belakangan ini, dari penulisan profil hingga reportase politik, dan bukan hanya (seperti banyak diasumsikan orang) pada jurnalisme yang bergaya.”

Tom Wolfe mungkin tak mengira bahwa gerakan pada 1970-an itu juga ditiru di Jakarta pada 2001-2004.

Jakarta, Januari 2006

Norman's Birthday Parties


We celebrated Norman's birthday in his school this Wednesday. I bought a chocolate cake at the nearby Sheraton Media Hotel and brought it to the school. I talked with his classmates while waiting for Norman to finish another session outside his classroom.

Zarine suggested that they were to hide under their desks while waiting for Norman to come in. They did it quietly. The whole class, including Ms. Neelam, their teacher, hid under their respective desks. Sshhhh. Norman was confused when entering his classroom. It was so quiet.

"Happy birthday Norman!" we shouted and yelled. He smirked and looked confused. Then everyone sang "Happy Birthday."

The birthday boy smiled and shook hands with his teacher and friends. He gave me a big huge. He blew a candle (numbered nine indeed), playing games, posing for pictures and sharing lunch of fried noodle, fruit juice, cookies and cakes.

Image hosting by Photobucket

The girls initially decided to pose rocket-styled in their class. Only girls. But Norman later joined them right in the middle. They include (from left to right) Aakriti, Zarine, Maab, Norman, Sonia, Divya and Lee Hyen Ju. Cho Yong Gie, Norman's little cousin, also joined this line up. His mother, Heylen Prisca Harsono, helped me to prepare the meals and embroidered hand towels as gifts.

Image hosting by Photobucket

Later Norman's classmates grabbed him, holding him together for a picture. I was a little bit worried that they are not strong enough to hold Norman. Well, it was groundless indeed as they were so many. They showed the "V" sign (from left to right) Sonia, Divya, Megha, Arif, Nishad, Levana, Aakriti, Maab and Lee.

Norman studies in an international school. I am not sure how many nationalities his classroom has. His teacher is an Indian. Lee is obviously a Korean. Maab is a new student who speaks Arabic better than English.

Image hosting by Photobucket

On Thursday, Norman joined a Kitten Walk contest at his school in Kemayoran. Three of his classmates also joined the walk, wearing "African Civilization" clothing. He posed with Akshika too (middle).

Image hosting by Photobucket

On Saturday, my colleagues at Pantau Foundation came to our apartment, gathering for another birthday party. Norman blew his second cake by the swimming pool. It was an informal small gathering. We actually used this opportunity to have our own gathering.

Image hosting by Photobucket

We shared fried noodles, ice cream, soda, fried tempe, the Chinese kue ranjang (due to the Chinese New Year), starting from 4 pm till 11 pm with some friends decided to watch a video movie together. Norman was so enthusiastic this Saturday with his new toys.

Image hosting by Photobucket

This year, my present for Norman is a Hot Wheel track, a popular toy among boys his age. He dreamed about this Swamp Beast track since months ago. He shared the instruction manual with his buddies, Nishad and Ryan, who have also their Hot Wheel items.

Saturday, January 14, 2006

IAIN Rancang Program Jurnalistik Terpadu

Serambi Online

BANDA ACEH - Menghadapi tantangan yang semakin kompleks terutama di dunia informasi, dalam waktu dekat Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry Banda Aceh merancang sebuah program pendidikan jurnalistik terpadu dengan melibatkan berbagai unsur terkait, termasuk tokoh pers.

Langkah awal merancang program tersebut, diawali dengan menggelar diskusi yang digagas bersama International Center for Jurnalis (ICFJ), Jumat (13/1) di Auditorium kampus setempat. Meski demikian, langkah awal program jurnalistik itu telah berjalan dengan melibatkan beberapa praktisi dari ICFJ, seperti keterlibatan David Case dalam proses perkuliahan di Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry. Diskusi yang digelar tersebut, melibatkan sejumlah dosen Fakultas Dakwah IAIN dan beberapa wartawan dari media cetak maupun elektronik di Aceh. Dalam kesempatan diskusi tersebut, ICFJ sebagai sebuah organisasi jurnalisme international, dalam salah satu makalahnya yang ditulis Carolyn Robinson dan dibahas pada diskusi tersebut, menawarkan satu bentuk pendidikan jurnalistik terpadu.

Hadir dalam diskusi itu antara lain, Rektor IAIN Ar Raniry Prof Dr Yusny Saby, Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia, H Sjamsul Kahar, David Case (ICFJ), Andreas Harsono (Yayasan Pantau), dan sejumlah dosen pada fakultas dakwah IAIN yang akan membidangi pengembangan program jurnalistik di kampus tersebut. David Case yang memberikan apresiasinya di hadapan peserta diskusi mengatakan program yang dijalankan itu akan memberikan konstribusi bagi kemajuan Aceh ke depan.

Disebutkannya pula keberhasilan pelaksanaan otonomi di Aceh harus sukses dengan melibatkan institusi-institusi yang ada, termasuk di dalamnya institusi pers. Terkait berlimpahnya bantuan yang masuk ke Aceh, katan David Case, harus dapat dibuktikan bahwa bantuan tersebut harus tersalur tepat guna.

Sementara itu, Rektor IAIN Prof Yusny Saby dalam sambutannya pada diskusi itu mengatakan, terkait rencana pengembangan program jurnalistik di fakultas dakwah tersebut merupakan peluang bagus. Dikatakannya, program pengembangan disiplin ilmu jurnalistik pada fakultas dakwah tersebut harus didukung oleh semua pihak termasuk pendanaan dan tenaga pengajar yang profesional pada bidangnya. “Program ini merupakan awal munculnya aset bangsa dan semuanya akan bermula dari IAIN Ar Raniry,” katanya. Sementara itu, Andreas Harsono mengatakan kerjasama yang sedang dijalankan antara IAIN Ar Raniry dan ICFJ tersebut adalah sebuah upaya untuk menghasilkan wartawan Aceh yang bermutu. Dalam sesi diskusi kelompok membahas rancangan program jurnalistik di fakultas dakwah tersebut, muncul beberapa gagasan dari peserta diskusi terkait format dan teknis yang akan dijalankan.

Salah satunya, jurusan Komunikasi Penyiaran Islam yang selama ini memberikan pembekalan ilmu komunikasi dinilai belum mampu secara maksimal melahirkan jurnalis yang berkualitas di bidangnya. Hal tersebut terkait masih belum terakomodasinya beberapa mata kuliah ilmu jurnalistik pada jurusan KPI di Fakultas Dakwah. Sementara itu, Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Dakwah, Yusri M LIS mengatakan, program jurnalis terpadu tersebut akan dimulai pada semester mendatang, dan tetap berada dalam Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). “Jadi di jurusan tersebut akan ada konsentrasi penuh pada disiplin ilmu jurnalistik, dan kurikulumnya pun akan dirancang bersama dengan ICFJ,“ katanya.(ar)

Friday, January 13, 2006

ICFJ Presentation at IAIN Ar Raniry


A. Karim Syekh, A. Rani Usman, Ade Irma, Ahmad Syauqi, Andreas Harsono, Arif Hamdan, Ayi Jufridar, Bachtiar Gayo, Bukhari Muslim, Chik Rini, David Case, Donna Lestari, Fakhurradzie, Fakri, Firmansyah, Hotli Simanjuntak, Husni Arifin, Jailani, Linda Christanty, Luthfi Aunie, M. Sufi Abdul Muthalib, Maemun Saleh, Muhammad Saleh, Murizal Hamzah, Nani Afrida, Saidulkarnain Ishak, Sjamsul Kahar, Suardi Saidi, Syukri Syamaun, Tarmizi, Uzair, Yasran, Yusny Saby, Yusri, Zainuddin T.

(Nani Afrida, Linda Christanty, Bukhari Muslim and Andreas Harsono took notes)


ICFJ Representative David Case and IAIN Rector Yusny Saby opened the discussion at 9:10 am. Case said that the ICFJ proposal is still an idea. It still has no funding yet. Yusny said an offer like this comes only once in a lifetime, “We could work together to raise the funding.”

Andreas Harsono summarized the ICFJ paper in a Power Point presentation. It took about 15 minutes. It includes Carolyn Robinson’s suggestions to bringing in visiting fellows to teach and mentor in IAIN; revitalizing student media outlets; curriculum development; English-language journalism research training; overseas university partnerships and exchanges; internship program for the students; media annual awards etc.

The paper’s Indonesian translation was three days earlier made available in the participant’s invitation but also once again in the meeting room. Each one got a folder with a note, a ballpoint and the paper. Later books on the IAIN curriculum as well as a Pantau book on literary journalism were also distributed.

Yusri of IAIN divided the participants into three different groups. Each group has between eight to 10 people. They moved into their respective circles. Zainuddin T., Andreas Harsono and Sjamsul Kahar led the discussion groups. The discussion took place until 11:30 and the groups took a photo op, a lunch break and the Friday prayer.

Many were also involved in informal talks. Yusny and Sjamsul talked with Case. Most men went out to a nearby mosque. The second session began again at 1:30 pm and ended at 3:00 pm although some people stayed on with informal talks. Muhammad Saleh of Modus weekly talked about politics with the lecturers. Each group sent a speaker to present their results in the forum. It was quite rich.

They basically welcomed the proposal, expecting the ICFJ to help raise funds, send Knight Fellows, develop curriculum etc. Some remarks were also quite critical toward how Jakarta handles the so-called “national curriculum.” IAIN could only handles 60 percent of 145 credits a student should take. The 40 percent should be “national curriculum” courses.

The forum decided to hold a smaller meeting later in the evening to summarize the groups’ presentations. It is needed to set the priorities. Case said it is important to work first, showing donor agencies that we could develop IAIN journalism school without waiting for the big funding.

Later in the evening, Yusri, Nani, Hotli, Saleh, Radzie, Linda, Case, Jufridar and Andreas gathered at Pantau office in downtown Banda. These are the responses and priorities:

1. IAIN is going to change its school name from the “Dakwah Faculty” to the “Dakwah and Communication Faculty”

2. While waiting for Knight Fellows to visit and to help teach, the group will start employing Aceh journalists to be “extraordinary lecturers” (dosen luar biasa) to teach classes. The problem is IAIN could only pay Rp 8,000 (80 cents) per visitation. “It is even not enough to pay for the gasoline,” said Saleh.

Yusri said it is a national standard. IAIN could not change that standard. Andreas compares with Jakarta’s Universitas Pelita Harapan, once offered him to teach, that pays Rp 400,000 ($40) per visitation. The group realizes IAIN should be sustainable. It should not pay a Jakarta price. They decided to set the platform at Rp 100,000 ($10).

3. David Case will help establish the editorial board of the inactive Ar Raniry Post newspaper. Case and Yusri will organize a student journalist’s workshop in Sabang next week. They will use the occasion to select Ar Raniry Post staffers. The budget to print the newspaper is available. Other student outlets, including the student radio, should be handled separately. The radio has a transmission problem (too powerful for a community radio).

4. Curriculum will also be changed. They would like to hear from Peter du Toit, a South African journalism lecturer, who will come to Aceh to have a workshop next month. It is needed to compare notes. Andreas also mentioned Janet Steele, a George Washington University professor, who is now a Fulbright scholar in Jakarta. She might be interested to help IAIN.

5. English courses will wait for the ICFJ. The forum also suggested that these courses should open opportunities to non-dakwah students and working journalists. The forum believes that many non-dakwah students become journalists too.

6. Internship program could be done Banda Aceh, Jakarta and Kuala Lumpur. Aceh editors, who were present in the forum, welcome IAIN students to work in their newsrooms. They will also provide some pocket allowances. They included Serambi, Modus (5 slots), Ceureumen (6 slots), Acehkita (2-3) and Aceh magazine.

Andreas said Pantau Foundation might help to seek the internship in Jakarta newsrooms. He will also try to approach Kuala Lumpur editors. Andreas used to work for The Star daily in KL. But IAIN should first train the students who will seek internship –at least when the formal course are not fully developed yet. Yusri agrees. Case will also help. The Malaysian internship needs journalists who master English.

7. Re the media annual awards, IAIN will select a committee, which includes journalists, to set up the criteria and to give a recommendation to IAIN. The forum welcomes this idea, believing that it will help improve journalism in Aceh.
Image hosting by Photobucket

Wednesday, January 11, 2006

Mohamad Iqbal

Saya baru tiba di kantor Pantau Banda Aceh Senin pagi ini ketika mendapat kabar kurang baik. Rekan saya, Mohamad Iqbal, kehilangan satu bagasinya yang berisi laptop, kamera, peralatan studio, di atas sebuah becak.

Ceritanya, Iqbal memanggil satu becak mesin dari depan kantor Pantau Minggu sore. Ia meletakkan satu peti alat itu untuk masuk ke kantor mengambil motor. Maksudnya, ia hendak mengikuti becak dari belakang. Ternyata si Abang becak kabur dengan barang-barangnya.

Linda Christanty, yang juga tinggal di kantor, melihat kejadian dari lantai dua. Ia sudah merasa firasat tak nyaman melihat becak tersebut. Linda pula yang pagi ini cerita.

Iqbal seorang fotografer bagus. Ia sedang bikin pameran "Raut Pusaran, Raut Hayat." Ini foto-foto tentang orang-orang Aceh yang selamat dari tsunami. Linda juga penulis bagus. Linda pernah dapat Kathulistiwa Award untuk kumpulan cerita pendek "Kuda Terbang Mario Pinto." Mereka sama-sama mantan redaktur majalah Pantau. Kini mereka juga sama-sama memperkuat Yayasan Pantau. Dan sama-sama jatuh cinta pada dan tinggal di Aceh.

Saya bisa merasakan sakitnya bila seorang fotografer kehilangan alat-alat sebanyak itu. Apalagi saya tahu Iqbal menabung bertahun-tahun, mengumpulkan lensa demi lensa, agar bisa punya alat lengkap.

Iqbal agak sulit dihubungi. Linda bilang Iqbal sudah lapor ke polisi. Saya siap-siap cari ketua perkumpulan "roda tiga" Banda Aceh untuk minta bantuan. Kebetulan dulu saya pernah interview Ismet Nur, seorang tokoh becak di Banda Aceh. Mungkin Ismet bisa membantu.

Eh, Senin siang, Iqbal menelepon. Dia bilang si Abang ternyata pergi duluan ke rumah tujuannya. Si Abang menunggu Iqbal disana tapi tidak datang-datang. Saling menunggu, timbul salah paham.

Rupanya, ini kebiasaan di Aceh. Beri tahu si becak, ia akan berangkat sendiri. Tak ada kekuatiran barang dibawa lari.

Mereka bertemu malam hari ketika Iqbal kembali ke kantor Pantau. Ia segera mengirim SMS kepada Linda. Tapi SMS tidak sampai. Linda cerita pada saya.

Saya cuma bisa tersenyum masam. Juga rekan-rekan sekantor. Mamaknya Chik Rini bilang abang becak di Banda Aceh tidak pernah kedengaran bawa lari barang penumpang. Murizal Hamzah, wartawan Aceh yang sering nongkrong di Pantau, juga sempat panik. Syukur cuma salah paham.

Lain lubuk memang lain ikannya.

Image hosted by Photobucket.com
Mohamad Iqbal di pantai Ule Lheue, hasil jepretan Linda Christanty. Ule Lheue salah satu daerah paling rusak karena tsunami 26 Desember 2004. Ia dihajar ombak hingga lebih dari 5 KM. Garis pantai bergeser. Ribuan orang mati disini.

Tuesday, January 10, 2006

Cuti dari Yayasan Pantau


SAYA hendak mengambil cuti dari Yayasan Pantau selama sebulan, dari 26 Januari hingga 26 Februari 2006. Tujuannya, pergi ke sebuah villa di Puncak dan menyelesaikan dua bab buku saya. Targetnya, menulis delapan jam sehari.

Saya sudah bicara dengan beberapa rekan saya. Mereka mendukung upaya "mengasingkan diri" ini. Saya kira, mereka juga jengkel bila setiap kali hendak melakukan sesuatu pekerjaan yang agak besar, saya beralasan buku belum selesai.

Saya akan menunda menjawab surat atau komentar Anda. Saya tetap menjaga web log ini namun isinya pasti terkait buku semua.

Mengapa tidak tinggal di Jakarta saja? Bukankah lebih murah? Saya juga berpikir demikian. Namun saya sering tergoda pergi ke tempat ini atau itu. Mengundang teman. Membalas surat. Di sisi lain, saya bukan orang yang mudah menolak undangan diskusi.Masih ada waktu 20 hari sebelum cuti. Saya akan menyelesaikan apa yang jadi tanggungjawab saya. Pekerjaan lain, yang belum dimulai, akan dikerjakan rekan lain.

Anyway, saya juga tidak jauh-jauh amat perginya. Setiap akhir pekan saya masih akan bertemu dengan Norman Harsono, anak saya. Saya tidak mungkin cuti jadi Papa bukan?

Image hosted by Photobucket.com
Norman, Nugi, Citra, Hesni, Arif, Wina, Eva, Ari, Clarissa dan Imam mejeng di gazebo. Kami baru selesai sarapan nasi goreng. Malamnya, sempat bakar ikan. Buset dan Eva sibuk bakar ikan. Buset masih tidur ketika kami sarapan. Piknik Yayasan Pantau ini mendorong saya mengambil cuti dan menggunakan villa mungil di Puncak. Tempatnya sepi sekali. Harapannya, tempat sepi bisa membantu disiplin.

Image hosted by Photobucket.com
Terbang atau lompat? Siapa paling berat? Imam, Norman dan Citra sama-sama melompat dari pagar rumah. Aku memotretnya ketika mereka sedang melayang jatuh. Banyak rekan suka foto ini karena kesannya mereka bisa terbang. Gelinya, Citra terkesan tak bisa terbang ... mungkin agak berbobot.

Saturday, January 07, 2006

Ditolak Universitas Pelita Harapan


Ini memang cerita lama. Aku ditolak mengajar di Universitas Pelita Harapan di Lippo Karawaci dengan alasan tidak punya kredibilitas formal untuk mengajar "jurnalisme dasar." Resminya, aku dianggap lulusan sekolah menengah saja. Ijasah insinyur elektro dari Universitas Kristen Satya Wacana tidak diakui karena statusnya "terdaftar." Ijasah dari Nieman Foundation on Journalism at Harvard University, tidak diakui UPH. Alasan mereka, ini aturan dari Departemen Pendidikan.

Bukan rektornya yang menolak. Orang yang menolak adalah Pembantu Rektor Urusan Akademik Muljono. Rektor Johannes Oentoro, yang kebetulan juga alumnus Satya Wacana tahun 1972, justru yang mulanya mengajak aku bicara dan mengajar di UPH. Muljono ini gelarnya profesor doktor dari Universitas Indonesia. Oentoro menaruh gelar Ph.D di namanya. Aku duga Oentoro lebih urusan manajemen. Muljono menolak menemui aku. Padahal mereka yang minta aku menemui Muljono. Aku juga sudah menyisihkan waktu tiga jam untuk menuju Karawaci dan sejam lebih menunggunya interview tiga orang calon dosen lain.

Mulanya aku bertemu Oentoro pada pertengahan 2004. Lalu semua disiapkan. Aku ketemu dekan, pembantu-pembantu dekan, termasuk Naniek Setiajadi dan Andri Oarto. Aku bahkan sudah diminta menyiapkan silabus. Mereka minta aku masuk ke jurusan komunikasi. Aku diminta mengajar jurnalisme dasar, dua kelas langsung paralel. Aku senang sekali. Aku suka dengan ilmu-ilmu dasar. Aku ingin memperkenalkan Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Aku kenal baik dengan Kovach dan Rosenstiel. Aku juga pernah ikut menterjemahkan buku mereka.

Kami makan siang bersama. Mereka senang aku mau bergabung. Mereka juga membaca naskah-naskahku termasuk "Republik Indonesia Kilometer Nol” dan “Dari Thames ke Ciliwung” –dua naskah ini pernah menang penghargaan internasional. Mereka menyatakan kekagumannya pada dua naskah itu. Proses mengisi formulir dan lain-lain butuh waktu dua bulan. Senang sekali rasanya. Tapi Jumat dua minggu sebelum semester awal, aku diminta wawancara, katanya sih formalitas.

Mereka tanya ijasah aku apa? Karena mengajar jurnalisme, aku sodorkan ijasah Harvard, ada tanda tangan Bill Kovach (kurator Nieman) dan Neil Rudenstein (rektor Harvard). Dijawab ini "program non gelar."

Ada ijasah lain?

Aku sodorkan ijasah UKSW teknik elektro.

Agak aneh? Bukankah aku akan mengajar jurnalisme? Orang harus melihat pengalaman atau minimal pendidikan non-formal.

Tapi mereka bilang ijasah apapun tidak apa asal diakui negara Indonesia. Setelah dilihat, ijasah itu ditolak dengan alasan UKSW cuma "terdaftar." Belakangan aku diberitahu Oentoro kena stroke sehingga tak bisa mengurus pencalonanku. Muljono menolak. Lain kepala, lain pandangan.

Aku habis waktu. Juga jengkel karena kebetulan Jakarta banjir. Pulang dari UPH aku kena banjir di jalan selama enam jam. Bahkan naik ojek pun dari Senayan ke rumahku di dekat Senayan juga macet.

Andri Oarto dari UPH lalu minta maaf, “… seharusnya hal tersebut tidak terjadi kalau kami lebih dapat berkoordinasi khususnya fakultas dengan HRD universitas.”

Aku sih enteng saja. Andri Oarto orang sopan. Aku tidak punya hard feeling. Aku mau mengajar di UPH karena suka mengajar. Aku juga sering kritik mutu pendidikan jurnalisme di Pulau Jawa. Aku kira UPH bisa memberikan secercah cahaya harapan. Bayaran mereka lumayan untuk ukuran kampus Jakarta tapi masih lebih kecil dari honor menulis di Bangkok atau Kuala Lumpur. Ternyata mereka tidak mau? Ya tidak apa-apa. Terkadang aku heran bagaimana mereka mau menawarkan kurikulum bermutu kalau cara mereka memandang dosen sangat birokratis sekali?

Awang Ruswandi dari Universitas Indonesia mengatakan aturan tersebut “agak aneh.” Ruswandi bilang di UI ada wartawan macam Masmimar Mangiang yang sudah mengajar lebih dari 25 tahun. “Dulu ketika saya masih mahasiswa, ada Aristides Katoppo dan Rosihan Anwar menjadi dosen tidak tetap,” katanya.

Tahun ini aku mungkin ikut mengajar di Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry Banda Aceh. Statusnya "dosen luar biasa." Dedy Hidayat, rekan Ruswandi, menawari aku memberi colloquium tentang “jurnalisme sastrawi” di Pascasarjana Komunikasi UI. Menarik juga ya. Mudah-mudahan birokrat-birokrat sekolahan di Indopahit ini tak menciptakan aturan yang lebih aneh lagi.

Tuesday, January 03, 2006

.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah… Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer dalam Khotbah dari Jalan Hidup

Image hosting by Photobucket

Hernata Lasamahu stood next to the epitaph of her husband, Josephus, who died when their church, Gereja Masehi Injili di Halmahera Nita, at the village of Duma, Halmahera Island, was attacked by jihad militias in June 2000. All victims were buried here. Hernata saw her father, her brother-in-law and her son being killed in the church compound. Duma is symbolically an important village in Halmahera. Christian missionaries set up Halmahera's first church in Duma.

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's Badan Intelijen Negara used former president Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of controversial military training programs to the country. Press Release and Malay version

Bila Gempa Melanda Jakarta
Sapariah Saturi menulis soal kemungkinan tsunami melanda Teluk Jakarta. Bagaimana dampaknya pada ekonomi dan politik Indonesia? Bagaimana kekuatan pencakar langit disini? Jakarta zona berapa?

Biak, Militer dan Melanesia
Biak punya grafiti, "Papua Pasti Merdeka," tercoret dekat tempat beberapa dokter praktek bersama di Jalan Selat Makassar. Ada grafiti, "Papua Tetap Merdeka" terletak dekat menara air Biak.

Merauke soal HIV dan Populasi
Merauke sebenarnya secara geografis bukan kota yang benar-benar paling timur di Papua. Ada beberapa kota perbatasan dengan Papua Nieuw Guinea di sebelah timurnya lagi.

Perjalanan di Jayapura
Organisasi Papua Merdeka bergerak sejak 28 Juli 1965. Mereka intinya jaringan orang-orang Papua yang hendak mempertahankan kedaulatan Papua dari "aneksasi" Indonesia.

Kepulauan Wakatobi
Namanya berasal dari empat pulau: Wangiwangi, Kaledupa, Tomea dan Binongko. Ia juga dikenal sebagai Kepulauan Tukang Besi. Banyak warga Binongko bekerja sebagai tukang besi.

Blitar dan Laptop Dicuri
Blitar adalah kuburan Soekarno, salah satu pemikir nasionalisme Indonesia. Blitar juga kedudukan Candi Palah, bangunan terbesar sisa kerajaan Majapahit.

Pramoedya, fascism and his last interview
Javaism, Pramoedya Ananta Toer insisted, keeps Indonesia enslaved. Javanism is to be loyal and obedient toward your bosses. Under Javanism, Indonesia has no rule of law, justice or truth.

Dari Swiss untuk Flores
Bagaimana Swisscontact hendak memerangi kemiskinan penduduk di Pulau Flores dengan jualan jambu mete? Rencana ambisius untuk daerah yang transportasi dan komunikasi sulit.

Indonesia Timur Tunggu RUU Aceh
Sejumlah daerah di Sulawesi, kepulauan Maluku, Bali, Kalimantan dan Papua mengamati pembahasan RUU Aceh. Cerita

Televisi Batavia
Widiyanto menelusuri lembaran negara guna mencari tahu para pemilik televisi-televisi besar di Jakarta, dari RCTI hingga SCTV, dari Indosiar hingga Trans TV, serta pengaruh mereka. Cerita

Protes "Indopahit" Lewat Kaos Anarkis
Orang di Jayapura, Kupang, Pontianak, Aceh maupun London menggunakan kaos guna menyampaikan pesan politik, meledek “Indopahit” –Indonesia keturunan Majapahit. More

Tobelo, Tobelo, Tobelo
Kota kecil dinamis di ujung Pulau Halmahera. Ada pantai yang mulia. Kehidupan ekonomi naik. Ada rekonsiliasi pasca konflik yang terbuka, tak dibuat-buat, namun masih ada rasa curiga. More

Ternate dan Gambar Rp 1,000
Ide gambar uang kertas Rp 1,000 asalnya dari pemandangan Pulau Maitara dan Pulau Tidore. Sudut itu diambil dari Pulau Ternate. More

Semuel Waileruny
Pemimpin Kedaulatan Maluku ditahan di penjara Waiheru, Pulau Ambon, dakwaannya mempersiapkan upacara bendera Republik Maluku Selatan. More

Wutung: Satu Desa Dua Negara
Kalau Anda jalan pakai mobil dua jam dari Jayapura ke arah timur, ke arah perbatasan Papua New Guinea, Anda akan menemui kampung Wutung. Kampung mungil, apik, bersih. Satu sisi daerah Indonesia. Sisi satunya, Papua New Guinea. More

Tahun Kelahiran Hasan di Tiro
Gerakan Acheh Merdeka mengatakan ia lahir 4 September 1930. Di Tiro juga memakai tahun 1930 dalam buku hariannya. Paspor Swedia dan sejarahwan Anthony Reid menunjuk tahun 1925. Bagaimana dengan 1923?

Republik Indonesia Kilometer Nol
Pemerintah Hindia Belanda membangun kota pelabuhan Sabang lebih baik dari pemerintah Indonesia. Mengapa ia bukan kota pelabuhan sebesar Singapura? Apa makna nasionalisme Indonesia dari Sabang?

Penyu, Sukamade dan Meru Betiri
Meru Betiri sebuah cagar alam luasnya 56,000 hektar di timur Pulau Jawa. Disini ada jazirah bernama Sukamade dimana selama ribuan tahun penyu-penyu raksasa dari Samudera Hindia dan Pacific datang bertelur.

Referensi Soal Jurnalisme