Monday, February 26, 2007

Undangan Menulis soal Pantau


Kongkow dan makan adalah salah satu kegiatan rutin kalangan Pantau. Tak ada agenda namun diskusi sering jadi serius. Sering juga ia diselingi dengan nonton video, biasanya, film dokumenter. Pantau lebih suatu komunitas daripada organisasi dengan struktur jelas. Bill Kovach menyebut sebagai "sebuah suku."

Saya menawarkan ide kepada mahasiswa, wartawan atau siapa pun untuk menulis sejarah organisasi Pantau. Entah mahasiswa komunikasi, sejarah, sastra, pers mahasiswa atau siapa pun lainnya, yang mengerti metode penulisan sejarah dan tertarik pada media. Kesempatan ini terbuka untuk mahasiswa di Pulau Jawa maupun di pulau-pulau lain.

Kalau ada yang mau menulisnya, entah sebagai skripsi, makalah atau laporan pers mahasiswa, kami akan membukakan arsip Pantau: majalah, notulensi rapat maupun perdebatan dalam semua mailing list organisasi ini. Riset bisa dilakukan lewat internet. Ada ribuan dokumen bisa diakses online.

Penulisan ini, kami kira, perlu senyampang organisasi ini masih relatif muda dan orang-orangnya masih hidup semua. Saya sadar prestasinya masih sedikit tapi justru kependekan itulah yang membuat saya merasa ia relatif lebih mudah ditulis. Saya percaya, mudah-mudahan tidak salah, kelak organisasi akan dianggap berperan dalam jurnalisme berbahasa Melayu.

Awalnya, Pantau terbit sebagai newsletter pada 1999. Namanya diusulkan oleh kolumnis Ulil Abshar-Abdalla. Newsletter ini diterbitkan sebagai proyek kerja sama Article XIX dan Institut Studi Arus Informasi. Pada 2000, Article XIX selesai, maka ia hanya dikelola ISAI menjadi apa yang disebut sebagai jurnal "media watch" dengan pimpinan editorial Veven Sp. Wardhana.

Pada Maret 2001, ia terbit sebagai majalah bulanan media dan jurnalisme dengan saya sebagai redaktur pelaksana. Namun ia ditutup pada Februari 2003 karena masalah cash flow.

Ia terbit lagi selama tiga bulan pada Desember 2003-Februari 2004 dengan struktur baru: Yayasan Pantau. Namun majalahnya tutup lagi karena kesalahan manajemen dan janji palsu seorang pengusaha media besar. Ini periode krisis besar. Pelan-pelan, yayasan ini membenahi diri dan membayar utang-utangnya. Kini ia berubah jadi organisasi NGO media dengan tiga kantor: Jakarta, Banda Aceh dan Ende. Masing-masing kantor punya independensi. Mereka bergerak dengan minat berbeda.

Aceh dipimpin Linda Christanty. Ende dikelola Esti Wahyuni. Linda fokus pada sebuah sindikasi. Esty membantu harian Flores Pos. Jakarta mengadakan pelatihan menulis dan penerbitan buku.

Cakupan kerjanya meluas. Secara fisik, Pantau benar-benar bekerja dari Sabang sampai Merauke. Misinya, meningkatkan standard jurnalisme Melayu. Ia misalnya, membantu menterjemahkan buku The Elements of Journalism dari bahasa Inggris ke versi Indonesia, baik untuk orang melek maupun tuna netra (versi Braille). Bill Kovach, salah satu penulis buku itu, menyebut Pantau adalah organisasi yang berperan penting dalam memperkenalkan ide-ide buku ini di Indonesia. Buku ini sudah diterjemahkan ke 22 bahasa namun hanya di Indonesia ia cetak tiga kali dan punya versi Braille.

Pantau juga bikin kursus jurnalisme sastrawi secara rutin tiap semester dengan instruktur Janet Steele dari Washington. Gerakan dalam penulisan genre ini terasa getarannya di Indonesia, Malaysia dan Timor Leste.

Sejarahnya menarik. Ia melibatkan orang-orang yang punya pemikiran alternatif sekaligus perbedaan tajam sekali dengan para pemikir jurnalisme mainstream di Jakarta.

Karakter-karakternya berwarna. Kawin dan cerai mewarnai perjalanan individu-individu dalam organisasi ini. Ada kisah perselisihan kronis. Ada gasak-gasakan. Namun juga ada pengorbanan yang mengharukan.

Saya beberapa kali membaca cerita "sejarah-sejarahan" di Indonesia dan kecewa dengan banyaknya kesalahan dan ketidakakuratan disana. Saya duga ada bias kepentingan dan lemahnya ingatan.

Kini mumpung waktu baru berjalan delapan tahun, saya ingin membuka kesempatan kepada siapapun, untuk menulis masa-masa awal Pantau. Kami akan membuka arsipnya. Paling penting, kami akan berusaha menjaga jarak dari proses penulisannya sehingga siapa pun yang menulis tak harus merasa terikat dengan "sejarah resmi" kami.

Dimanakah buku2 saya?

Saya lagi mulai mengatur rak buku saya, membaginya berdasarkan kriteria dalam pembuatan bab demi bab dalam buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Ada bab soal Aceh. Ada bab soal Borneo. Ada soal Jawa. Ada juga sub bab soal rasialisme anti-Cina di Indonesia. Ada juga soal Papua, Timor Leste dan seterusnya. Lemari buku saya juga punya bagian khusus teori ilmu politik, nasionalisme, globalisasi, upaya perdamaian dan sebagainya.

Saya jadi sadar malam ini bahwa ada beberapa buku yang dipinjam orang belum kembali. Misalnya, buku "Wars Within" karya Janet Steele atau "The Elements of Journalism" karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel atau "Imagined Communities" karya Benedict Anderson. Ada juga buku soal batik encim yang berisi gambar-gambar pengaruh Cina dalam motif batik di Pulau Jawa. Atau ada juga buku disain suratkabar. Ada buku Sterling Seagraves soal overseas Chinese di Pacific (terjemahannya Hamid Basyaib).

Buku Steele dan Kovach bahkan ada tandatangan saat peluncurannya. Saya sayang sekali pada buku-buku itu. Saya juga kehilangan buku "The New Journalism" karya Tom Wolfe. Ada juga buku "Sebongkah Emas di Kaki Langit" karya Bondan Winarno. Ini buku penting yang sulit didapatkan di pasar mengingat buku ini sempat ditarik dari peredaran karena gugatan pencemaran nama baik.

Walau tak saya perlukan langsung, ada juga buku karya Bob Woodward tentang Perang Irak. Ada buku Seymour Hersh tentang John F. Kenndey. Saya memang tak mencatat satu demi satu para peminjam buku itu. Saya ingat ada beberapa mahasiswa meminjam buku untuk pembuatan skripsi. Ada juga rekan wartawan untuk referensi atau bacaan. Entah berapa judul lagi yang saya keluarkan dari perpustakaan kecil saya.

Lewat surat terbuka ini, saya mau memberitahu bahwa saya membutuhkan buku-buku itu. Saya mohon bantuan Anda yang meminjam, bisakah dikembalikan? Atau kalau masih dibutuhkan, tolong kontak saya untuk dicatat, kapan bisa dikembalikan?

Saya kini membutuhkan sebagian besar buku itu dan sekaligus hendak merapikan perpustakaan saya. Awal bulan depan, saya akan mulai masuk periode membaca buku dan mencatat lagi. Mudah-mudahan dalam enam bulan lagi, penulisan buku saya selesai. Terima kasih sebelumnya.

Sunday, February 25, 2007

"I'm Huge in Hong Kong"

Oleh Ardita Caesari


Don
Keributan itu terjadi tahun 1988, memaksa Tri Sabdono ganti merek. Terbitlah “Bre Redana”. Akunya, “Bre” digunakan orang Batak untuk menjelaskan garis ibu. Sisanya tak berarti. Andreas Harsono, mentor kami memanggilnya “Don”. Dia mengatakan juga sulit menulis panjang, padahal itu tuntutan wajib kelas menulis narasi yang menghadirkannya siang itu, di rumah makan berlabel “Warisan Kuliner Indonesia”, label yang sedikit diprotes Andreas, yang memang kritis pada banyak hal. Hari itu kelas kami berniat menambang wawasan dari reporter gaek yang siang itu mengenakan kaos merah gambar sketsa “Hong Kong Phooey” bertuliskan “I’m Huge in Hong Kong”.

Sreg
Sebagian besar dari peserta kelas khawatir tidak bisa menulis panjang dengan macam-macam alasan. Don sendiri tidak peduli panjang-pendeknya tulisan. Baginya, ketika kita punya kebutuhan untuk mengungkapkan sesuatu, maka hal itu harus diungkapkan dengan pas dan kita harus sreg dengan bentuk yang ingin kita ungkapkan. Bingung? Kira-kira intinya begini, kalau ingin menulis, harus langsung menulis dan harus merasa pas dan nyaman dengan panjang, pendek, tipe dan gaya tulisan. “Sreg itu penting buat penulis.” Selain itu, “Penulis harus menemukan dirinya sendiri. Harus punya gaya.” Imbuhnya.

Panjang-pendek
Soal panjang-pendek tulisan, Harsono dan Don punya kisah. Harsono bilang, Janet Steele (dosen narasi dari George Washington University) mengkritiknya karena gaya tulisan Harsono khas wartawan Indonesia. Tak punya nafas panjang untuk menjadi buku. Harsono juga menambahkan, di Indonesia wartawan kurang punya kesempatan berlatih menulis panjang karena industri media Indonesia berpendapat tidak ada yang mau baca tulisan panjang. Harian Kompas dulu punya liputan bersambung untuk memecah tulisan panjang, namun sekarang sudah tidak ada. Apalagi sejak layoutnya ditata makin kompak. Menurut Don, di negara Barat ada istilah ”sabbatical leave”, semacam cuti panjang bergaji untuk wartawan dan cuti itu bisa digunakan untuk keperluan macam-macam, yang penting bisa lari dari rutinitas harian untuk kemudian untuk menulis buku (yang juga) panjang.

Obsesi Don pada segala hal yang berbau urban dan post modernisme nampaknya menjelaskan kerajinannya mengulas kosmetik bermerek hingga masalah ruang di perkotaan. Tapi saya lupa tanya kenapa ia menggilai masalah itu.

Struktur di balik Struktur
Dari peluncuran sebuah produk pewangi badan bermerek, Don mengamati struktur kekuatan di balik struktur bangunan mal mewah Jakarta. Konon, tahun 1825 Guerlain, tukang parfum Paris sukses membuat esens aroma miwak wangi. Alhasil, pewangi badang kaum elit itu bisa dipasarkan ke seluruh dunia dan disemprotkan oleh kaum di luar elit. Konon, toko besar eksklusif di sebuah mal di Jakarta menggariskan hanya merek eksklusif kelas dunia yang bisa nangkring. Lokal dilarang. Ini soal image, Bung. Secara galak, meski punya duit untuk sewa lahan atau bikin merek baru atau punya merek lokal, tetap tidak bisa memasukkan barang karena mereknya belum mendunia. Lalu, benda-benda merek wahid itu dibeli putus alias beli barang dan barang lalu jadi hak pembeli. Jika tak laku, barang lantas dijual dengan diskon. Sedikit banyak, praktek ini menyisakan untung buat pembeli yang menjual. Untuk merek lokal, barang dibeli dengan sistem konsinyasi alias jual titip. Artinya, apabila produk tak laku, maka produk harus hengkang dari si toko dingin. Bicara soal Asia Tenggara, di Bangkok produk lokal dapat tempat di mal besar, dengan biaya sewa lahan lebih murah pula..

Yang menarik, seorang rekan sekelas menambahkan, mal mewah membagi kelas pembeli tiap lantai. Biasanya, lantai satu untuk pembeli kelas A atau kelas menengah ke atas, lantai dua untuk kelas AB atau menengah saja dan lantai tiga, dia bilang kelas BC atau ”brondong”, istilah anak muda gaul.

Lihai
Garis bawah dari cerita Don adalah, penulis harus lihai menangkap isu. Dia suka mengulang kata ”alert” ketimbang lihai. Banyak baca adalah keharusan berikutnya. Lelaki rambut panjang warna ”salt and pepper” alias abu-abu itu mengangkat buku saku dengan sampul warna hitam. Tadi dia sempat berkunjung ke toko buku kecil di sayap kanan restoran dan membeli beberapa buku: ”Hard Times” (Charles Dickens), ”The Graduate” (Charles Webb) dan entah apa lagi. Don mulai cerita lagi. Tentang kota. Katanya, buku ”Hard Times” berkisah tentang kota London. Bicara soal kota, orang banyak mengira kota dibangun sebagai pusat ekonomi. Padahal, sejarah menunjukkan kota dibangun karena alasan spiritual, sebagai tempat pemujaan. Ketika revolusi industri, baru kota dibangun sebagai pusat industri.

Bintaro
Sebagai penghuni perumahan Bintaro selama 13 tahun, Don punya pengalaman menarik. Pada malam terakhirnya sebelum pindah ke Ciawi, pembantu rumahnya bertanya, ”Pamit ke siapa ya, Pak?” Demi etika, karena telah tinggal lama di Bintaro dan akan pindah esoknya, lebih afdol kalau mohon izin atau pamit kepada tetangga sekitar. Pertanyaan itu membuat Don seperti disambar badai. Dia baru sadar, tak ada satu pun tetangga yang ia kenal. Jadi, dia tidak bisa pamit. Satu-satunya manusia yang tinggal di sekitar rumahnya dan ia tahu betul namanya adalah Pak Sukro, sang satpam lingkungan. Setelah Don pamit, Pak Sukro lantas mengunjungi rumahnya. Mulia sekali. Ternyata menyodorkan map seraya berkata, ”Pak, iuran satpamnya dibayar dulu ya ....” Tragedi sosial..

Profesi
Seorang rekan lain bertanya, bila profesi menulis yang ia lakoni sekarang diterjuni sebagai pilihan atau karena tak ada pilihan. Jawaban laki-laki yang tawanya memunculkan sederet gigi putih sehat ini mundur puluhan tahun ke masa sekolah dasar. Dulu, sekolahnya di Salatiga sering mengajak murid-murid pesiar ke Rawa Pening. As a catch, setiap murid wajib bikin laporan. Cerita Don tentang kunjungan ke Rawa Pening ia kawinkan dengan Baudrillard tentang kesadaran. Jadi begini, Jean Baudrillard bersabda, kesadaran manusia ditentukan oleh narasi. Saat itu, populasi ular masih tinggi di Rawa Pening. Guru Don meminta agar anak didiknya tidak mengganggu ular karena konon ular-ular itu ada hubungannya dengan legenda Baru Klinting. Kemudian, Bre baru sadar bahwa himbauan itu dikeluarkan agar ekologi Rawa Pening tak diusik. Contoh Baru Klinting dan pelestarian ekologi inilah perwujudan nyata dari sabda Beaudrillard tadi, bahwa kesadaran orang tentang pelestarian ekologi rawa dipengaruhi oleh legenda si Baru Klinting.

Zich
Ada turning point dalam kerja tulis-menulis Don. Sekitar tahun 1983-1984, jurnalis National Geographic bernama Arthur Zich bertandang ke Jakarta untuk menulis tentang Indonesia. Oleh kantornya, harian Kompas, Don diminta menyetir mobil kantor, mangantar Zich ke mana dia mau. Upahnya, dia dapat kuliah malam soal menulis yang baik dan benar. Waktu itu, Don bingung melihat Zich bertemu dan berbicara dengan begitu banyak orang dari berbagai latar belakang kehidupan. Bagaimana nanti Zich akan menulis secara menarik dari hasil wawancaranya?

Zich yakin, masalah Indonesia adalah jumlah penduduk yang terlalu banyak. Sebagai bahan tulisannya, dia ingin mengikuti proses kelahiran seorang bayi. Karena tak mau cari cara mudah nongkrongin rumah sakit, keduanya keluar-masuk kampung, cari ibu yang akan melahirkan bayi. Tibalah kedua wartawan itu di Dataran Tinggi Dieng. Entah bagaimana, mereka tiba di sebuah gua. Zich ingin bertemu dengan kuncen gua tersebut. Dia lalu mewawancarainya. Usut punya usut, ternyata gua tersebut tempat kramat dan konon, RI-1 jaman itu sering bertapa di situ. Si kuncen pun menunjuk helipad di sekitar lokasi gua.

”Politik Indonesia tidak didasarkan pada konsensus, tapi pada wahyu.” Demikian kalimat pamungkas Zich. Kami yang duduk melingkar di dekatnya sedikit tersentak. Don kemudian menambahkan, bahwa wawancara adalah proses konfrontasi kesadaran. Ketika kita wawancara orang, kita juga dituntut berpikir dan hendaknya membuka kesadaran kita tentang suatu hal yang sedang dibahas.

Yang lucu
Masih tentang Zich. Sesudah perjalanan menyusuri Jawa, Zich kembali ke Jakarta dan mewawancarai RI-1. Pokok bahasan utama tentunya keberhasilan pembangunan Indonesia masa itu. Kelar diskusi soal kesuksesan, Zich bertanya tentang kritik yang beredar bahwa pembangunan hanya dikuasi keluarga sang pemimpin. Konon sang pemimpin senyum dan berkata bahwa mereka yang melihat pembangunan dengan cara itu hanya lihat dengan sebelah mata. Dasar wartawan, Zich menimpali, bahwa sebagai tentara, dengan melihat sebelah mata, maka sasaran yang dibidik pasti kena. Konon lawan bicara Zich berkata bahwa dengan menutup kedua matanya pun ia masih bisa mengenai bidikannya. Detik itu juga Zich angkat kaki.

Ketika seorang rekan bertanya tentang ukuran ketrampilan menulis, Bre Redana menjawab ringan, bahwa ia dulu selalu minta ibunya untuk memeriksa tulisannya, karena ibunya adalah orang yang sederhana. ”Kalau ibu saya bisa mengerti, artinya tulisan saya bisa dimengerti.“

Wednesday, February 21, 2007

Mining Workshop Offers Insights into Indonesian Journalism

Andreas Harsono, Journalist - Pantau Foundation, Indonesia, February 21, 2007

I just had one of the most spirited journalist workshops that I have ever helped organize. It took place for four days since Sunday in Manokwari, a town in the Bird Head area in Papua.

Columbia University's Initiative for Policy Dialogue helped sponsor this program in Manokwari and Balikpapan. Pantau also works with the Institute of Research, Analysis and Development for Legal Aid (LP3BH) in Manokwari to organize this workshop.

It began on Sunday afternoon with around 20 journalists, coming from as far as Teluk Wondawan (about 20 hours by wooden boat) and Sorong (one night ship ride). Agustinus Nauw is a veteran reporter, covering mostly human rights abuses in the Teluk Wandawan area. He came late due to the slower wooden boat. Wilman Ramdani of Tambang (Mining) magazine in Jakarta also attended this workshop, saying that it is worthwhile to travel several hours from the metropolitan Jakarta for our workshop in remote Manokwari.

Wilman and I arrived on Saturday, working with Jo Kelwulan and Jimmy Prawar to distribute workshop material door-to-door, to check the venue at Hotel Forest Papua and to discuss about an unexpected conference of the government-sponsored Indonesian Journalists Association (Persatuan Wartawan Indonesia or PWI) in Manokwari to start Wednesday.

Jo, who is a Tanimbaran, writes columns for the Sorong-based Fajar Papua daily while Jimmy, who is a Biak but born in Manokwari, works at Matoa FM radio in Manokwari. Tanimbar is a small island south of Papua.

PWI is a rather notorious organization. It helped clamp down media freedom during the Suharto era. In 1995, it reported an independent journalists' group to the police for publishing "unlicensed and thus illegal." Three journalists, namely Ahmad Taufik, Eko Maryadi and Danang K. Wardoyo, were arrested in 1995 and later jailed between two and three years. Now it tries to set up a branch in Manokwari.

Max Simatauw, the PWI leader in Manokwari, already called Jo, asking Jo why the workshop organizer didn't report to him about having a workshop. Jo replied that they had already secured a police permit. Jo and Jimmy were a litle bit worried if the PWI was to retaliate. In Manokwari, the PWI is an organization closely related to the government. Simatauw already aired his idea of having Manokwari journalists to wear PWI press card when covering the West Irian Jaya's Governor Office. Without that card, they cannot enter the office.

But the workshop opened with a warm introduction Sunday afternoon. I began the sessions with a refreshment on the basics of journalism, using Bill Kovach and Tom Rosenstiel's "Elements of Journalism." It was an interactive session. Keith Slack and Eva Danayanti also arrived from Jakarta Sunday afternoon. Keith works for Oxfam America. Eva is our office manager in Pantau's Jakarta.

Keith began his sessions on mining Monday morning. He led two sessions. The first was an introduction to mining. The second on the "Resource Curse." He spoke softly and used Power Point projector to illustrate his points and to show many pictures from mining sites from Africa to Latin America, from the United States to Indonesia. I did the translation. Keith might be soft-spoken but his material is hard-hitting. Many participants had better understanding of mining processes, environmental result and mining-related social issues. I conducted the third session Monday after lunch.

Monday evening, some participants, Eva, Keith and I took a boat ride to Mansinam Island near Manokwari. It is a historial site. Two German missionaries came to this island in 1855 to start their mission works. Papua is now a predominantly Christian area due to their pioneering works in Mansinam.

Keith also led two sessions Tuesday morning. Media Papua daily headlined my comment that says Manokwari need not to have a PWI presence.

Toharsat Saragih of LP3BH, a local legal aid group that helped organize the workshop, addressed the class at the third session. Eva and Keith left Manokwari Tuesday evening for Makassar. They stayed one night in a Makassar hotel prior to fly to Balikpapan.

They also asked to debate Max Simataux on the Matoa FM radio Tuesday evening. We took some motorcycles to visit the Manoa station on a Manokwari hill. The view is breathtaking. Max, however, didn't come for the debate.

Meanwhile, these journalists kept on talking and gossiping about the PWI's Max Simatauw ("a womanizer" or "using a rental car for free"). What I see is a resistance. The journalists feel that they're tired to be continuously cowed by the PWI.

Since the end of World War II, the PWI is known to have mixing journalism and politics. Tarman Azzam, the PWI national president, is also a Parliament member, representing former president Suharto's Golkar party. One PWI founder became an Indonesian vice president. Many PWI leaders also became ministers and government officials. Tarman arrived in Manokwari from Jakarta Tuesday evening and opned the PWI conference Wednesday morning.

The Manokwari workshop had three sessions Wednesday. I was encouraged to see that the workshop participants chose to stay with us than to attend the PWI conference. The conference is obviously a big event for most journalists in Manokwari. It is a relatively small town on the gorgeous Wosi Bay. Our workshop was still crowded Wednesday.

Wilman and I said goodbye Wednesday afternoon. Several journalists took their motorcycles to the airport with us. Their message is, "Please do another workshop in Manokwari." I don't want to leave them alone.

Wilman said it is the best workshop that he has ever attended. Mostly said it is the first workshop in which they are required to do homeworks (writing). I also told the journalists to start using bylines, firewall (lines to separate editorial content and advertisement), to acknowledge their news sources (not just saying in their stories' initials that the sources is "int" which means "internet."). They should acknowlege sources like Kompas, Associated Press, Reuters etc.

Andreas Harsono heads the Pantau Foundation in Indonesia, a media think tank doing journalism courses, newspaper consultancy, and media research. He's also an active member of the International Consortium for Investigative Journalists and is currently working on a book, "From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism." He keeps a web log (blog) at http://andreasharsono.blogspot.com/.

Friday, February 16, 2007

Kabar Baik Itu Akhirnya Datang Juga

HORISON

Reporter: Ahmad Baehaqi - Iwan Munandar
Juru Kamera: Joni Suryadi - Warsam Aji
Lokasi: Tangerang & Jakarta
Tayang: Rabu, 14 Februari 2007, Pukul 12:00 WIB


Inilah pemukiman etnis Tionghoa yang biasa disebut Cina Benteng, di kawasan Kali Dadap Kamal, Tangerang, Banten. Gubuk-gubuk bilik bambu dan suasana kumuh menunjukkan kemiskinannya.

Mereka sudah merasa sama dengan penduduk pribumi lainnya, karena nenek moyang mereka sudah tinggal disini sejak tahun 1500-an lalu.

Terdapat lebih dari 10 ribu jiwa etnis Tionghoa miskin yang tinggal di kawasan ini. Dari tampilan wajah mereka sudah tidak ada bedanya dengan penduduk pribumi. Kulitnyapun hitam, tidak seperti etnis Tionghoa kebanyakan.Mata pencarian mereka sehari-hari mengais sampah dan mengumpulkan barang bekas.

Namun menurut Rebeka Harsono, Koordinator Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia, perlakuan terhadap mereka tidak sama dengan penduduk pribumi. Karena tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan RI atau SBKRI, mereka tidak memiliki akte lahir, kartu keluarga dan kartu tanda penduduk.

Akibatnya mereka tidak dapat bersekolah di sekolah formal dan sulit mendapat pekerjaan. Sehingga mereka tidak dapat keluar dari kemiskinan.

Mereka tidak memiliki SBKRI karena tidak punya uang untuk mengurusnya. Hal ini masih berlangsung hingga kini, meskipun Undang-undang Kewarganegaraan telah diperbarui dengan keluarnya Undang-undang Nomor 12 tahun 2006.

Nyonya Wan Nio misalnya. Dia tinggal di rumah gubuk bersama anak dan suaminya. Selama berpuluh-puluh tahun dia dan keluarganya tidak memiliki kartu identitas apapun. Baik itu berupa akte kelahiran maupun SBKRI. Dia tidak mengurus SBKRI karena biaya pengurusannya mahal. Beruntung, setahun belakangan dia dan suaminya telah memiliki KTP.

Lain lagi dengan Ria. Ibu satu anak yang merupakan etnis Tionghoa ini sehari-hari bekerja sebagai pemulung bersama suaminya. Dia sempat menyelesaikan sekolahnya hingga ke tingkat SMP.

Ria dan suaminya sama sekali tidak memiliki KTP. Karena itu, dia berharap dengan adanya Undang-undang Kewarganegaraan RI yang baru, dapat mempermudah dirinya mendapat KTP.

Sebenarnya, sejak Undang-undang No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI disahkan, terjadi perubahan yang siginifikan dalam ketentuan kewarganegaraan di Indonesia. Undang-undang ini juga sekaligus menghilangkan perilaku diskriminatif dalam praktek pemerintahan bagi warga keturunan. Sehingga tidak diperlukan lagi surat kewarganegaraan dalam pengurusan paspor maupun kartu tanda penduduk.

Setelah bertahun-tahun, pemerintah melihat, pemilahan status warga negara berdasarkan latar belakangnya, tidaklah menguntungkan. Terlebih Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki latar belakang yang beragam.

Sebelumnya, Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis, dimana seseorang mendapat kewarganegaraan berdasarkan garis keturunan dari ayah. Namun kini hal itu telah berubah.

Menurut Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, dulu anak yang lahir dari pasangan ibu WNI dan ayah WNA, maka otomatis anak itu menjadi WNA, karena ikut ayahnya.

UU baru mengatakan, ayah WNA, ibu WNI, anak ada dua kemungkinan, ikut ayahnya jadi WNA, atau saat yang sama jadi WNI sampai berusia 18 tahun. Ini konsep kewarganegaraan ganda terbatas.

Saat ini, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia telah memproses sedikitnya 260 orang, yang mengajukan diri untuk menjadi Warga Negara Indonesia, setelah sebelumnya tidak jelas kewarganegaraannya, karena merupakan anak hasil perkawinan campuran.

Kebijakan ini disambut baik oleh Andreas Harsono, yang beristrikan wanita berdarah Madura. Dengan adanya undang-undang kewarganegaraan yang baru, tidak ada lagi perdebatan mengenai diskriminatif dan konflik mengenai warga negara Indonesia asli dan tidak asli. Konsep ini diilhami paradigma bahwa status kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh status yuridis, bukan etnis dan ras.

Kebijakan ini juga memberi arti, adanya penyetaraan hak seperti warga negara lainnya. Dalam bidang politik, seorang warga keturunan kini mempunyai hak untuk memilih, atau dipilih.

Dengan kondisi seperti ini, ragam latar belakang yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, menjadi suatu khasanah yang memperkaya budaya, serta menjadi bekal Indonesia untuk mengembangkan diri di masa mendatang. (Helmi Azahari/Idh)

Monday, February 12, 2007

The Click of the Week

For this Click Of The Week, Tuhu has already make up his mind and choose Andreas Harsono's blog. In his blog, we also able to read about his story as a newly wed. Tuhu said that Andreas Harsono’s blog is very interesting, because it depicts his personal day to day life stories as a journalist, book author, a new husband, and a caring father.

In his life as a journalist we can find writings on his passion to support the many struggling minorities in Indonesia. In his blog he tells stories on his travels around Indonesia from Sabang all the way to Merauke, and his exposure of the many different ethnic minorities’ and their struggles.

We can read these stories and his findings in the articles published in his blog, or the anthology book that he plans to publish soon.

In the blog Andreas also shares his personal life stories. You can find stories on love life, new wife, family and his relationship with his son. He tells the public all types of details of what is happening in his life.

"I think it’s sweet, because he is giving a glimpse of his life. His writings in the blog show his “humanistic” point of view, instead of “journalistic” jibber jabber. He conveys to us his dreams, his daily life, and his opinions about his country in a truthful, unedited, compelling and simple writings," said Tuhu.

Sunday, February 11, 2007

Rukmanda

Sebutkan segala penjara
dan itu adalah aku

Sebutkan segala badai
kepahitan pembuangan
kerinduan pada kecapi
kesunyian malam sepi
kenangan pada Priangan
dan kelayuan dari menanti.

Aku yang telah menghitung
rangkaian detik
berpuluh tahun
aku serahkan segala
pada pesta perlawanan
selama ini jiwa remaja
setiap detak nafas nyawaku
dan kala ini juga diminta
aku nyanyikan bangunlah kaum terhina

Aku kini tiada lagi
bersatu dengan bumi tanah air tercinta
tapi lagu aku tamatkan
bersama bintang seminar kelam
dengan debar jantung terakhir
yang melihat fajar bersinar
kelahiran tunas penyambung keremajaanku.

Sebutkan segala penjara
dan itu adalah aku
tapi sebutkan juga kesetiaan
kegairahan dan kepahlawanan
itulah aku!

-- Klara Akustia, 1954

Klara Akustia nama pena A.S. Dharta, penyair Sunda kelahiran 1924, yang meninggal 7 Februari 2007, di Cianjur. Dia sekretaris jenderal pertama Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dia dekat dengan Presiden Sukarno maupun novelis Pramoedya Ananta Toer. Ketika Sukarno dan Partai Komunis Indonesia dihancurkan 1965-1966, Dharta ditahan hingga 1978.

Saturday, February 10, 2007

Diskusi Kurikulum Sekolah Wartawan


Dear Jandy Luik di Surabaya,

Terima kasih banyak untuk kehormatan bagi saya membantu memberi masukan soal arah pendidikan jurnalisme di Universitas Kristen Petra. Saya ingin sekali bisa membantu --saya punya rumah di Surabaya-- namun sejak Februari ini, saya lagi konsentrasi menulis buku saya, From Sabang to Merauke: Debungking the Myth of Indonesian Nationalism. Buku ini sudah terlambat dari deadline. Pratiwi Setianto dari Ford Foundation sering minta saya memperhatikan deadline ini. Mudah-mudahan saya bisa selesai Juli nanti.

Namun sebagai gantinya, saya akan menulis surat agak panjang soal kritik saya terhadap pendidikan jurnalisme di Pulau Jawa. "Jurnalisme" berbeda dengan "komunikasi" karena jurnalisme memang lebih sempit dari komunikasi. Jurnalisme adalah bagian dari komunikasi. Namun tidak semua bentuk komunikasi adalah jurnalisme. Kritik saya --atau bisa juga dianggap sebagai "masukan"-- berkisar pada soal pendidikan jurnalisme.

Dasarnya, riset Thomas Hanitzsch dari Universitas Ilmenau, Jerman, yang pernah kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Gadjah Mada, serta meneliti pendidikan jurnalisme di Surabaya, Medan, Jakarta dan Jogja. Saya baca riset awalnya, Rethinking Journalism Education in Indonesia: Nine Theses, yang diterbitkan jurnal Mediator terbitan Universitas Islam Bandung (2001).

Intinya, Hanitzsch mengatakan kurikulum pendidikan jurnalisme tak memadai, bahkan sama sekali tak cukup buat membuat lulusan sekolah bekerja sebagai wartawan. Mereka tak melatih kecakapan menulis mahasiswa (vital untuk industri media) maupun teknik-teknik baru dalam jurnalisme (misalnya, internet, news design, video, audio, film dan sebagainya). Ini belum lagi soal industri media yang dominan Jakarta, masih diracuni amplop, komersialisme, sensasionalisme dan aktivisme wartawan serta redakturnya.

Saya pernah menulis sedikit dengan acuan Hanitzsch dalam dua esai: Diskusi Pendidikan Jurnalisme di Jawa serta Masa Depan Wartawan Aceh.

Acuannya, saya kira Anda dan rekan-rekan di Petra bisa belajar dari kurikulum di Journalism School di Universitas Columbia (New York) atau School of Journalism and Media Studies di Rhodes University (Afrika Selatan).

Dalam dua situs itu, Anda bisa mempelajari bagaimana menyusun kurikulum untuk mahasiswa jurnalisme. Dari tingkat satu hingga tingkat empat. Ada juga yang program dua tahun untuk gelar master. Saya kebetulan agak kenal dengan kedua sekolah itu. Saya pernah bertemu dengan dosen-dosennya, pernah panel bersama dan diskusi bareng.

Praktisnya, menurut Peter du Toit dari Rhodes, tahun pertama sekitar 80-100 persen pelajaran umum yang penting untuk wartawan (sejarah, anthropologi, ekonomi, ilmu politik dan sejenisnya) serta dasar-dasar jurnalisme (saya rekomendasikan antaranya pakai buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel).

Tahun kedua, pelajaran khusus mulai masuk, misalnya riset internet, penulisan (piramida terbalik dan feature), blogging, pengenalan video, pengenalan audio, total sekitar 25-40 persen. Pelajaran umum masih ada.

Tahun ketiga, mulai ada pembagian antara broadcasting, print, news design dan fotografi. Mereka diberikan pengenalan yang lebih dalam sehingga bisa memilih mau masuk bidang mana. Total sudah tak ada pelajaran umum. Tahun
keempat adalah tahun spesialisasi, yang mau print ya belajar narasi serta proses printing, yang mau video ya belajar documentary dan seterusnya. Saya pernah jadi penterjemah du Toit ketika dia kasih ceramah di IAIN Ar Raniry.

Dari kacamata orang yang bekerja sebagai wartawan, saya kira, kebutuhan bisa menulis dalam bahasa Inggris juga sangat, sangat, sangat besar. Kalau Petra bisa melatih mahasiswanya menulis bahasa Inggris, saya kuatir, dalam 10-20 tahun ke depan, mayoritas wartawan internasional asal Indonesia akan keluaran Petra.

Entah di Reuters, Associated Press, BBC, CNN, al Jazeera, AFP, DPA, Bloomberg, New York Times dan lain-lain. Hari ini praktis tak ada wartawan asal Indonesia yang punya reputasi internasional. Padahal penghasilan dari media internasional jauh lebih besar dari media Jakarta. Gajinya, bisa sampai 10 kali lipat lebih besar.

Satu isu lagi adalah matakuliah yang disebut oleh mahasiswa Columbia sebagai "Reporting and Writing." Ini semacam ruang redaksi dimana mahasiswa praktek langsung dengan rapat redaksi, reportase dan penulisan. Ini adalah backbone sekolah jurnalisme.

Di Columbia, ia diadakan hingga tiga atau empat semester (khusus spesialis broadcasting disebut "R&W Jumbo"). Produknya, ya harian mahasiswa, radio mahasiswa atau TV mahasiswa. Petra juga perlu memikirkan bagaimana bikin matakuliah begini.

Singkatnya, kira-kira begitu pikiran saya. Saya tahu dari pengalaman pribadi mengajar tak tetap di Universitas Indonesia dan IAIN Ar Raniry, bahwa ide ini mungkin belum bisa dijalankan di Petra. Thomas Hanitzsch menulis hambatan dari apa yang disebut "kurikulum nasional" atau hambatan dari ketersediaan dosen. Mungkin ide ini akan dianggap ideal. Saya hanya mencoba menjawab secara jujur dari apa yang dianggap masalah pendidikan jurnalisme di Pulau Jawa.

Mudah-mudahan email ini membantu ide soal pendidikan di Universitas Kristen Petra. Saya pernah diterima sebagai mahasiswa teknik sipil Petra pada 1984 namun tak jadi masuk kesana karena takut dengan kota besar. Terima kasih.

Thursday, February 08, 2007

Persiapan naskah baru

Saya mau share sedikit tentang sebuah naskah yang kini sedang saya geluti. Saya lagi di tengah-tengah proses penulisan naskah How Jakarta Bought Washington atau Bagaimana Jakarta Membeli Washington. Isinya, tentang upaya politisi dan militer Indonesia, menggunakan uang dan situasi dunia pasca 11/9, guna membeli dan mempengaruhi keputusan dan kebijakan White House dan Kongres Amerika Serikat.

Uang bermilyar-milyar rupiah dipakai untuk membuat dua lembaga itu mau memberikan bantuan militer kepada Indonesia. Hasilnya, nanti Anda akan lihat angka dan detailnya, Indonesia jadi negara penerima bantuan militer Amerika terbesar di dunia. Cerita ini menyentuh soal pelanggaran hak asasi manusia, yang dilakukan tentara-tentara Indonesia di Timor Timur, Papua, Aceh mapun berbagai tempat lain di Indonesia, tanpa ada upaya mencari kebenaran dan keadilan. Tapi ia juga terkait kasus pembunuhan terhadap politikus Theys Eluai dan aktivis hak asasi manusia Munir maupun penyerangan terhadap mobil-mobil PT Freeport Indonesia di Mile 63, dekat Timika, pada Agustus 2002. Ini semua kait-terkait dengan uang dan Washington.

How Jakarta Bought Washington saya kerjakan sejak pertengahan 2006 dan rencananya akan terbit bulan depan. Ia akan terbit di Washington dalam sebuah buku berjudul Collateral Damage dari International Consortium of Investigative Journalists.

Mulanya saya dibantu riset oleh Samiaji Bintang, tapi belakangan saya kerjakan sendiri ketika Bintang pindah ke Banda Aceh. Ketika mengerjakan naskah ini, saya sempat meluncurkan September lalu sebuah laporan tentang bagaimana Gus Dur Foundation membantu Badan Intelijen Negara melakukan lobby di Washington. Ia dikutip oleh banyak media di seluruh dunia.

Naskah yang ini jauh lebih besar lagi. Nanti kita bahas ya fakta-fakta baru yang selama ini belum diketahui soal intrik-intrik kelas tinggi di ibukota Indopahit dan Amepahit. Terima kasih.

Friday, February 02, 2007

What's Pantau?

Pantau is a network of journalists, artists and photographers. Legally it is a non-profit foundation based in Jakarta. Its mission is to elevate the standards of Malay-language journalism. Pantau has three core activities: (1) Journalist trainings; (2) Media development programs; (3) Feature syndication.

It has three offices: Jakarta, Banda Aceh and Ende on Flores Island. The Aceh office runs the feature services. The Ende office runs the media development programs. Jakarta coordinates the three offices as well as the training programs. Pantau is directed by a four-member board of directors: Andreas Harsono (chair), Agus Sopian, Budi Setiyono, and Indarwati Aminuddin. Linda Christanty heads the Aceh office while Esti Wahyuni heads the one in Ende on Flores Island.

Harsono is a former Nieman Fellow on Journalism at Harvard University. He is currently writing a book on the intersection between media and nationalism in Indonesia: From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Agus Sopian is a managing editor of the Jurnal Nasional daily in Jakarta. Budi Setiyono is a writer in Jakarta. Indarwati Aminuddin is the WWF coordinator in Kendari, southeastern Sulawesi. Linda Christanty is an award-winning writer who heads the Pantau Aceh. Esti Wahyuni works closely with the Flores Pos daily.

Pantau also has two advisors. Artine Utomo, the CEO of TPI television in Jakarta, and RTS Masli, the former chairman of Indonesian Advertisement Agencies' Association, are members of Pantau's board of advisors. Masli is also the head of the Strategy advertising company in Jakarta.

The journalists who are involved in this network are members of the mailing list pantau-kontributor@yahoogroups.com with 110 members. They used to be writers, artists and photographers for the now defunct Pantau magazine. The foundation also runs the website www.pantau.or.id that chronicles its activities and archives its magazine stories.

Among younger journalists in Indonesia, Pantau is known as a pioneer of jurnalisme sastrawi (literary journalism). A book Jurnalisme Sastrawi: An Anthology of New Writing was published in November 2005. It also publishes the Indonesian version of Bill Kovach and Tom Rosenstiel's The Elements of Journalism" It works with an NGO for visually impaired people to also publish its Braille version. Pantau works with Columbia University’s Initiative for Policy Dialogue and Revenue Watch to publish some other books on journalism.

Pantau also organizes many journalist trainings in places like Lampung, Balikpapan, Manokwari, Jayapura, Kendari, Manado, Makassar, Pontianak, Bali, Jember etc. In average, it organizes around 20 training and workshops annually over the last two years. Pantau also conducts a course on narrative reporting every semester since 2001. Its instructors are Janet Steele of George Washington University and Andreas Harsono of Pantau.

In Jakarta, Pantau focuses its work on journalist training and writing courses. It regulary conducts a workshop on literary journalism headed by Janet Steele of George Washington University. Steele speaks Indonesian fluently and writes the book Wars Within on a Jakarta magazine. Every semester since 2001, Steele comes to Jakarta and heads this two-week course. A four-month writing course is also being held in Jakarta with Setiyono and Harsono.

In Aceh, Pantau is working with Open Society Institute-Network Media Program to built the syndication, which provides feature service for mainstream and alternative media in Indonesia, Malaysia and East Timor.

In Ende, Pantau is working with Swisscontact to help the Flores Pos daily in its editorial, design, advertising and circulation matters. It is also aimed to elevate the standards of journalism in Flores and western Timor.