Thursday, February 23, 2012

Boks Bayi Saksi Sejarah


Ditulis oleh Andreas Harsono, ayah dari Norman (14) dan Diana (1 bulan), reporter khusus hak asasi manusia, jurnalisme, media dan nasionalisme, blog www.andreasharsono.net

Ranjang bayi, buatan Jember 1965, dulu dipakai saya, sekarang dipakai untuk anak saya.

TIGA BULAN sebelum kelahiran putri kami, Diana, saya teringat kembali pada boks bayi milik saya. Terbuat dari kayu jati, berukuran 75 X 100 cm persegi, ranjang putih dan bisa dilipat. Ia digunakan mama saya untuk menjemur saya, setiap pagi di depan rumah.

Saya lahir pada Agustus 1965 di kota kecil Jember di Pulau Jawa. Kegiatan menjemur itu bukan aktivitas biasa. Sejak September 1965, suasana politik Jember sedang panas. Banyak orang komunis ditangkap dan dibunuh. Rasialisme anti-Cina membara di berbagai tempat. Sebagai orang Tionghoa, oangtua saya menjemur saya dengan perasaan waswas. Presiden Soekarno pun digeser pada 1968.

Pada 1967, adik saya lahir dan ranjang itu diwariskan kepadanya, dan begitu terus. Boks bayi itu digunakan turun-temurun dari satu adik ke adik yang lain, bahkan menyeberang sampai ke sepupu-sepupu. Entah sudah berapa bayi yang dibesarkan seiring dengan menuanya ranjang ini. Keluarga saya di Jember tak biasa membeli ranjang bayi, begitu pula dengan pakaian, selimut, popok, dan sebagainya. Semua selalu diwariskan dari satu bayi ke bayi lain.

Menginjak usia remaja, saya pindah sekolah di Malang dan selanjutnya kuliah di Salatiga. Selesai kuliah, saya pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai reporter harian Jakarta Post. Urusan ranjang bayi, tentu saja, bukan pekerjaan reporter kurcaci.

Saya mulai ingat ranjang ini ketika anak pertama, Norman, lahir pada Januari 1997. Papa saya dengan senang hati mengirimkan ranjang itu dari Jember ke Jakarta. Saya membersihkan, mengecat ulang ranjang dan memesan kasur baru. Bayi Norman pun tidur di ranjang bekas ayahnya. Norman lahir dalam suasana Jakarta tegang. Antara Juli 1997 hingga Agustus 1999, Indonesia mngalami krisis moneter, yang berujung pada pembunuhan besar-besaran di Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Jawa, lengsernya Presiden Soeharto dan referendum Timor Leste.

Setelah Norman beranjak besar, saya pinjamkan boks bayi ini kepada kawan. Mula-mula, Agus Sudibyo, kini anggota Dewan Pers. Ketika anaknya besar, ranjang itu berpindah ke tangan Ade Juniarti dari Komunitas Utan Kayu. Sudibyo mengatakan, “Ranjang itu mengingatkan masa kecil saya, ibu saya, nenek saya. Ranjang itu saya merasa nyaman. Seakan-akan ibu dan nenek saya ikut menjaga anak saya.”

Ade Juniarti mengatakan, “Putih, bersih, kokoh, kuat. Membuat aku yakin anakku akan aman ketika tidur di dalam ranjang bayi itu.”

Kini Norman sudah besar dan ranjang itu akhirnya kembali pada saya karena adik Norman, Diana, lahir bulan lalu.

Lagi-lagi saya memesan kasur kecil dan membersihkan ranjang kecil. Isteri saya, Sapariah, melahirkan Diana lewat operasi cesar, dengan berat 3,3 kg dan panjang 41 cm. Kini bayi Diana tidur di ranjang dimana papanya tidur 46 tahun yang lalu.

Sedihnya, rasa waswas tetap ada. Kini kekerasan atas nama Tuhan! Ratusan gereja dan masjid (Ahmadiyah dan Syiah) ditutup di Jawa, Madura, Sumatra dan Sulawesi. Umat mayoritas menindas minoritas. Tampaknya, ranjang kecil ini menjadi bagian dari sejarah negeri dan sejarah keluarga saya. Seolah ia ingin bercerita banyak hal tentang negeri kacau ini.

-- Ayahbunda edisi Maret 2012

Monday, February 20, 2012

Dari Central Park ke Harlem


Duduk di Central Park dengan suhu 0 derajat Celcius.

TERKADANG ada saatnya saya ingin duduk sendirian, jalan sendirian serta menikmati kesendirian tersebut. Saya juga lakukan minggu ini, ketika selesai makan siang dengan seorang kolega di Chinatown Manhattan. Tanpa rencana, tanpa persiapan, saya tiba-tiba memutuskan berhenti di stasiun subway 86th Street dan berjalan ke Central Park.

Mungkin ia bisa terjadi karena saya juga tak ada acara. Sebenarnya ingin pergi ke Museum of Modern Art dan lihat pameran foto Cindy Sherman. Namun entah kenapa saya tiba-tiba ingin sendirian. Central Park relatif ramai. Namun suhu udara masih beku. Ia tak macam musim panas ramainya. Ada orang jogging, ada keluarga bermain.

Saya memperhatikan mereka. Senang lihat anak-anak bermain di taman. Saya juga bayangkan bagaimana bentuk Central Park bila sedang diadakan konser musik. Di musim panas, Central Park biasa mengadakan konser. Dari New York Philharmonic Orchestra hingga musik heavy metal.

Panggung Spiderman seluruh gedung dipakai pertunjukan.

Di New York kali ini saya juga memutuskan nonton musical concert di Broadway. Ini pertama kali saya punya uang, dan bersedia, mengeluarkan US$128 buat membeli tiket Broadway. Di Jakarta, The Phantom of the Opera, juga sedang dipertunjukkan selama dua bulan. Harga tiket juga antara Rp 500 ribu hingga Rp 1.5 juta. Cukup mahal untuk pendapatan saya. Namun dibujuk-bujuk kawan, setelah bertahun-tahun berkunjung ke New York, saya akhirnya mau menonton Spiderman Turn Off the Dark.

Senang juga lihat para pemain bergelantungan di langit-langit Foxwoods Theater. Pertunjukan Broadway biasa merupakan gabungan antara musik, nyanyian, drama, tapi kali ini, ditambah akrobat. Namanya juga Spiderman. Saya juga terkejut lihat suasana 42nd Street malam hari. Lampu semarak luar biasa.

Mungkin pada 1970an, ketika komik Marvel mulai beredar di Pulau Jawa, saya mengenal Spiderman. Ada satu daya tarik lagi di Broadway. Musik untuk Spiderman dibuat oleh Bono dan The Edge. Saya menggemari U2 --band asal Dublin dimana Bono dan The Edge ikut mendirikan.

Suatu pagi di stasiun 125th Street di Harlem.

Saya pertama kali datang ke New York pada musim panas 1995 ketika ikut sebuah pelatihan international advocacy oleh School of International Training, Vermont. Lantas kunjungan kedua pada 1997, ketika menemani Ahmad Taufik dari Aliansi Jurnalis Independen, menerima penghargaan dari Committee to Protect Journalists.

Pada 1999-2000, ketika saya belajar lagi di Universitas Harvard, Cambridge, saya beberapa kali berkunjung ke New York, mulai punya banyak kenalan dan kawan. Biasa naik kereta api Cambridge-New York. Akhirnya, New York jadi tempat dimana saya sering datang: belanja buku (toko Strand), diskusi (City University of New York atau Columbia University), konsultasi (The New York Times), seminar (Human Rights Watch), rapat, beasiswa wartawan dsb.

Beberapa tahun terakhir ini, saya datang ke New York terkadang setahun sekali, bahkan pernah dua kali setahun. Sering tinggal di hotel tapi saya juga pernah tinggal hampir sebulan di sebuah apartemen besar, dua lantai, tiga kamar, dekat Central Park. Ada juga apartemen di daerah Harlem dimana saya beberapa kali menginap.

Tempat makan?

Waduh ini kota gila benar soal makanan. Dari dim sum (Jing Fong, 20 Elizabeth Street) sampai macam-macam wine. Mulai dari paling murah --saya pernah sehari hanya pakai US$5 dari pagi sampai malam, makan kenyang-- hingga makan sepiring ratusan dollar.

Kali ini saya bertemu dengan dua wartawan, seorang dari mereka penerima hadiah Pulitzer, di sebuah restoran Itali dekat stasiun 125th Street. Namanya Bettalona di 3143 Broadway.

Alamak ... kita makan sepiring kerang dengan kentang tumbuk.

Enak sekali.