Saturday, August 30, 2025


"Andreas Harsono is not well known to the public but he is very well known among a small network of human rights activists, dissident scholars, Indonesian journalists, and foreign correspondents. He is often the fixer behind their stories – unacknowledged, unassuming, unselfish. Now he has shown just what a superb chronicler he is in his own right."

Clinton Fernandes of University of New South Wales University
on Andreas Harsono's book Race, Islam and Power

Andreas Harsono meliput dampak dari tsunami 2014 di Aceh. Ombak raksasa tersebut membunuh lebih 100,000 orang dan mengakhiri perang selama tiga dekade antara Gerakan Acheh Merdeka dan Indonesia lewat perjanjian damai Helsinki pada Agustus 2015. ©Hotli Simanjuntak

Media dan Jurnalisme

Saya pernah bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post, The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur) serta majalah Pantau (Jakarta) soal media dan jurnalisme. Saya suka menulis soal jurnalisme, mulai dari sejarah sebuah majalah mahasiswa di Salatiga sampai kebebasan pers di Asia Tenggara. Bill Kovach, guru jurnalisme, mendidik saya buat menjadi wartawan ketika belajar di Universitas Harvard.


Saya menerbitkan dua antologi –Jurnalisme Sastrawi (2005) bersama Budi Setiyono dan “Agama” Saya Adalah Jurnalisme (2011)—serta beberapa laporan termasuk Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners (2010), In Religion’s Name: Abuses Against Religious Minorities in Indonesia (2013) serta "I Wanted to Run Away": Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia (2021). Pada 2019, buku Race, Islam and Power terbit.

Sejak 2008, saya bekerja sebagai peneliti buat Human Rights Watch. Ia membuat saya banyak menulis soal diskriminasi terhadap minoritas agama di Indonesia: minoritas dalam Islam termasuk Ahmadiyah dan Syiah; minoritas non-Islam termasuk Protestan, Katholik, Buddha, Hindu dan Khong Hu Chu; minoritas agama kecil maupun agama baru macam Millah Abraham. 

Minoritas gender --termasuk perempuan serta LGBTIQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex, queer)-- juga sering saya bahas. Secara geografis saya juga banyak menulis minoritas etnik macam Aceh, Kalimantan, Jawa, Maluku, Timor serta Papua.

Perjalanan

Saya pernah jalan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, lebih dari 80 lokasi, selama tiga tahun. Saya menulis tempat menarik. Saya juga sering menulis perjalanan di negeri jauh, dari Eropa sampai Amerika, praktis berbagai kota besar di Asia Tenggara. 

Cerita

Pengalaman hidup, dari kegembiraan sampai kesedihan, dari kawan sampai adik. Saya selalu tinggal di Pulau Jawa --Jember, Lawang, Malang, Salatiga, dan Jakarta-- namun pernah bermukim di Phnom Penh dan Cambridge, dekat Boston. Kedua anak saya lahir di Jakarta. Isteri saya, Sapariah Saturi, kelahiran Pontianak, pindah ke Jakarta buat bekerja. Mungkin kawan saya di luar Indonesia, paling banyak di New York sehingga saya sering berkunjung ke New York maupun kota-kota sekitarnya.



Al Jazeera interview on protests in Jakarta and other cities in Indonesia

My interview with Al Jazeera last night about the ongoing protests in Jakarta and other cities in Indonesia. I called on the National Police to release hundreds of peaceful protesters detained in multiple police precincts, some were beaten, when joining the demonstrations. Police excessive use of force is pretty common over the last decade in Indonesia.



Monday, August 18, 2025

Topeng Pers: Jejak Intelijen dalam Dunia Jurnalistik Indonesia

Christ Belseran

Praktik aparat keamanan yang menyusup ke dunia pers bukanlah cerita baru di Indonesia. Sejak masa Orde Baru hingga era reformasi, bayang-bayang intelijen kerap hadir di ruang redaksi, rapat redaksi, hingga forum-forum jurnalis.

Di ruang redaksi, kamera dan mikrofon lazimnya menjadi simbol suara publik. Namun, apa jadinya jika di balik alat kerja itu tersembunyi seragam aparat keamanan? Kasus terbaru seorang polisi aktif yang selama lebih dari satu dekade berperan sebagai wartawan TVRI kembali menyingkap praktik lama: penyusupan intelijen ke ruang-ruang pers, dari Papua, Aceh, Sulawesi, hingga Maluku.

Pertanyaan penting muncul: bagaimana dengan Maluku saat ini? Apakah praktik serupa masih berlangsung—aparat menyusup dalam tugas jurnalistik, atau justru jurnalis yang didorong berperan sebagai informan, bahkan mata-mata?

Untuk menelusuri hal ini, pekan ini Redaksi Titastory mewawancarai Andreas Harsono, peneliti senior Human Rights Watch. Harsono ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (1994), Institut Studi Arus Informasi (1995), menjadi anggota awal International Consortium of Investigative Journalists (1997), serta mendirikan Yayasan Pantau (2003) dan Suara Papua (2011). 

Latar belakang pendidikannya berakar dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dan pada 1999 ia mendalami jurnalisme sebagai Nieman Fellow di Universitas Harvard.

Christ Belseran dari Titastory (Ambon) wawancara Andreas Harsono di Jakarta sambil makan nasi uduk.  

Christ Belseran: Kasus seorang polisi aktif yang selama 14 tahun menyamar sebagai wartawan TVRI, lalu mendadak dilantik menjadi Kapolsek, menguak pertanyaan lama: seberapa dalam aparat negara menyusupi ruang redaksi dan ekosistem pers Indonesia? Di Papua, Maluku, dan Aceh—daerah yang kerap jadi pusat protes—jejak operasi intelijen disebut berkelindan dengan kerja-kerja jurnalistik. Taruhannya bukan kecil: kredibilitas pers, keselamatan narasumber, dan hak publik atas informasi yang independen.

Mas Andreas, bisa ceritakan sedikit profil Anda: siapa Anda, dari mana asal Anda, lahir di mana, kapan mulai tertarik pada dunia jurnalistik, karya-karya apa saja yang pernah Anda hasilkan, dan berapa buku sudah Anda terbitkan?

Andreas Harsono: Saya kelahiran Jember, Pulau Jawa, pada tahun 1965. Keluarga papa saya suku Heng Hua. Keluarga mama saya suku Hakka. Mereka pindah dari Tiongkok ke Jember dan Kalisat, pada awal abad XX. Orang Hing Hua dikenal sebagai suku yang terampil di bidang transportasi. Dari keluarga mama, selain berdagang, ada yang suka menulis puisi dan memotret. 

Minat saya pada jurnalisme mulai tahun 1984 ketika saya kuliah d Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Saya beruntung dapat mentor Arief Budiman, kolumnis-cum-dosen, serta George Junus Aditjondro, mantan wartawan Tempo, juga pemikir lingkungan hidup. Saya bergabung dengan pers mahasiswa di Salatiga.

Sebagai wartawan, saya pernah bekerja buat The Jakarta Post, The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur) dan Yayasan Pantau (Jakarta). Pada tahun 1994, ketika pemerintah Indonesia membredel mingguan Detik, Editor dan Tempo, saya ikut melawan, lantas mendirikan Aliansi Jurnalis Independen. Tujuannya, memperjuangkan kebebasan pers dan meningkatkan kesejahteraan wartawan. 

Kini sudah umur 60 tahun, saya sudah menulis beberapa buku, termasuk yang lumayan terkenal Jurnalisme Sastrawi (2008) dan “Agama” Saya Adalah Jurnalisme (2010). Dalam bahasa Inggris, saya menulis Race, Islam and Power (2019). 

Dari perjalanan hidup dan karya-karya Anda itu, adakah momen spesifik yang membuat Anda fokus pada isu kebebasan pers dan operasi intelijen?

Sejak jadi wartawan, saya kadang-kadang dengar ada kawan juga bekerja buat dinas anu, instansi tertentu, entah polisi, militer atau intelijen. Banyak gosip di kalangan wartawan bukan? Namun yang membuat saya memperhatikan keterlibatan wartawan dalam dunia mata-mata adalah Leo Batubara dari harian Suara Karya

Batubara juga bekerja buat Badan Koordinasi Intelijen Nasional. Ini pernah jadi liputan majalah Pantau edisi Maret 2001. Dalam wawancara Pantau, dia bilang tugasnya memantau Amnesty International dan Human Rights Watch. Dia kecewa dengan naik-turun Bakin terutama ketika pertimbangan agama masuk. Batubara seorang Batak Kristen. Dia merasa dibedakan. Sesudah Presiden Soeharto mundur, Batubara pensiun dari Bakin, lantas ikut berjuang meloloskan Undang-undang soal pers tahun 1999. Ini hukum yang memenuhi standar internasional. Dia juga pernah jadi wakil ketua Dewan Pers. 

Bagaimana Anda memandang kasus Iptu Umbaran Wibowo—polisi aktif yang 14 tahun menyamar sebagai wartawan TVRI—dalam konteks kebebasan pers di Indonesia?

Saya tidak kaget ketika baca berita tahun 2022 soal Umbaran Wibowo diangkat jadi kapolsek di Blora. Kok bisa lebih dari satu dekade bekerja sebagai wartawan, tahu-tahu jadi kepala polisi? Wibowo bilang memang dia “ditugaskan” menjadi mata-mata dengan kedok wartawan. Jabatannya, intel khusus. Artinya, selama bekerja sebagai wartawan TVRI, dia juga rajin bekerja, setor informasi kepada Polres Blora soal apa saja yang dia pantau. 

Coba Anda baca biografi Susilo Bambang Yudhoyono, SBY Sang Demokrat (2004). SBY mengaku bahwa pada tahun 1978 dia pernah menyamar sebagai wartawan di Pulau Bangka. Pangkatnya, letnan satu. Tugasnya, memantau penyelundupan timah. Ini penugasan dari Brigif Linud 17/Kujang Kostrad. SBY bertugas mengukur sebuah lapangan golf guna pendaratan pasukan Kostrad. 

Jadi sesuatu yang biasa bila ada tentara, polisi atau intel, ditugaskan menyamar sebagai wartawan. Ini adalah penugasan dari lembaga dimana mereka bekerja. 

Apakah ini hanya kasus tunggal atau bagian dari pola infiltrasi yang lebih luas?

Kalau melihat begitu banyak kejadian, saya kira, ini bukan kasus tunggal. Ini sebuah praktik yang lazim. Wartawan adalah pekerjaan yang menarik karena dia berada di sektor publik, bisa mencari informasi atas nama kepentingan publik. Masyarakat juga mengerti bahwa tugas wartawan adalah mencari informasi. 

Pencarian informasi diperlukan juga oleh berbagai institusi –termasuk sektor militer, polisi, politik, juga berbagai perusahaan besar. Saya beberapa kali dapat bocoran dokumen, ratusan nama wartawan, yang bekerja buat lembaga keamanan di Papua. Ada yang disebut “agen” –mungkin semacam karyawan tetap– dan ada yang disebut “informan” –wartawan yang bisa diajak kerja sama buat mencari informasi tertentu. 

Pada 2010, Victor Mambor, editor harian Jubi di Jayapura, menemukan bahwa seorang staf desain Jubi ternyata seorang polisi. Ketika Mambor menanyakannya, ia mengakui bahwa atasannya di markas polisi Papua memang menugaskannya untuk bekerja di Jubi. Tugasnya membuat laporan harian tentang rapat redaksi serta apa yang ia lihat di ruang redaksi setiap hari.

Jo Kelwulan, editor harian Manokwari Express, suatu hari kedatangan seorang istri yang mengadu bahwa suaminya, seorang wartawan, punya perempuan simpanan. Sudah beberapa waktu tak pulang ke rumah. Persoalannya, istri mengatakan bahwa suaminya adalah tentara,  yang tak boleh poligami.  Ternyata wartawan Manokwari Express tersebut seorang tentara. 

Apakah Anda menemukan praktik serupa di daerah lain seperti Maluku atau Aceh, selain di Papua, dan lainnya?

Kalau bocoran dokumen, saya hanya dapat dari Papua. Daerah-daerah lain lebih informasi satu demi satu. 

Apakah daerah-daerah yang rawan protes terhadap negara memang menjadi sasaran utama operasi seperti ini karena kepentingan politik dan keamanan negara?

Kalau Papua, rekrutmen wartawan buat mencari informasi cukup tinggi mengingat daerah ini, sejak tahun 1960an ada gerakan buat memisahkan diri dari Indonesia. Istilah Papua buat mata-mata adalah suanggi

Gerakan di Kepulauan Maluku relatif melemah sesudah pasukan Republik Maluku Selatan dikalahkan. Tokoh RMS Christiaan Robbert Steven Soumokil ditangkap tahun 1963. Namun ketidakpuasan terhadap pemerintah Indonesia bisa meledak menjadi kekerasan sektarian pada 1999-2005. Saya pernah meliput di Ambon, Ternate, dan Halmahera, menyeramkan sekali.

Aceh juga reda dengan perjanjian Helsinki antara Indonesia dan Aceh Sumatra National Liberation Front pada Agustus 2005. Kini sudah dua dekade umurnya, Aceh relatif stabil walau saya tahu ada ketidakpuasan di Aceh terhadap pelaksanaan perjanjian Helsinki. Ia dianggap belum 100 persen dijalankan. Kedua belah pihak, Indonesia maupun Aceh, belum sepenuhnya menjalankan perjanjian Helsinki. Aceh juga salah satu provinsi termiskin di Indonesia. 

Apa dampak paling serius dari penyusupan aparat keamanan ke media terhadap kualitas jurnalisme dan kepercayaan publik?

Dampaknya adalah kepercayaan publik terhadap wartawan jadi menurun. Ini bukan gejala baru. Namun kepercayaan publik makin menurun sejak banyak media warisan kocar-kacir karena media sosial –termasuk Google dan Facebook– mengambil banyak kue iklan. Media warisan terpaksa potong anggaran redaksi. Banyak pemakai media sosial menyediakan informasi –terlepas sesuai standar jurnalistik atau tidak– sehingga kerja jurnalistik jadi dianggap tak sepenting dulu. Keadaan jadi sulit sekali. 

Apakah Anda melihat ada media atau organisasi pers yang secara sadar menutup mata atau bekerja sama dengan aparat?

Ada yang resmi bekerja dengan institusi keamanan. Misalnya, kantor berita Antara, sebagai media milik pemerintah, ada keputusan Presiden Soeharto pada April 1979 membentuk "dewan pembimbing" dengan tiga anggota: Sekretaris Kabinet (sebagai ketua), Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan serta Deputi Bidang Pengamanan Bakin. Namun ada juga media yang tak tahu bahwa reporter mereka punya loyalitas ganda. Ada juga yang tak mau serius selidiki bila ada reporter mereka digosipkan bekerja buat institusi lain dengan memanfaatkan profesi kewartawanan. 

Human Rights Watch pernah mengungkap dokumen militer terkait operasi mata-mata di Papua. Apakah modus di Papua dan juga terjadi di Maluku?

Saya memang terlibat dalam pembuatan laporan dari Human Rights Watch. Judulnya, Sesuatu yang Disembunyikan? Pembatasan Indonesia terhadap Kebebasan Media dan Pemantauan Hak Asasi Manusia di Papua (2015). Banyak cerita soal polisi atau tentara menyamar jadi wartawan dalam laporan ini. 


Kedua laporan punya bagian dimana instansi-instansi Indonesia terlibat dalam disinformasi (sengaja bikin berita bohong buat manipulasi) dan misinformasi (sengaja bikin berita bohong). Usaha-usaha tersebut juga melibatkan wartawan maupun semi-wartawan. 

Saya kurang tahu soal Maluku. Saya belum pernah menulis khusus soal disinformasi di Maluku walau dalam buku Race, Islam and Power, saya menulis soal surat palsu yang diedarkan di Pulau Tidore dan Ternate pada Oktober 1999. Isinya, seakan-akan Gereja Protestan Maluku dan Gereja Masehi Injili Halmahera terlibat dalam suatu konspirasi menyingkirkan suku Makian dari Pulau Halmahera. Surat tersebut bikin panas suasana di Tidore, Ternate dan Halmahera. Ia ikut membuat kekerasan. Ribuan orang mati dibunuh. Sampai sekarang saya belum tahu siapa yang membuat surat palsu tersebut. 


Apakah Papua menjadi “laboratorium” bagi pola operasi intelijen yang kemudian diadaptasi di daerah lain seperti di Maluku?

Saya tak tahu soal laboratorium atau kerja intel. Saya juga sadar ada wartawan yang memang bekerja dengan aparat keamanan –memberikan informasi atau bikin laporan– karena keinginan bantu aparat. Bukan karena uang atau proyek.  

Pada Desember 2014, saya dan dua rekan saya bertemu dengan Jenderal Luhut B. Pandjaitan, penasehat Presiden Joko Widodo. Saya sampaikan kekhawatiran  saya soal campur-baur antara kegiatan intel dan kerja wartawan. Saya khawatir dampaknya pada kepercayaan publik. 

Beliau mengatakan negara Indonesia punya kewenangan buat menjaga keamanan semua warga termasuk dengan penyamaran sebagai wartawan. Saya tak membantah. Persoalannya, bagaimana agar kerja kedua belah pihak, wartawan dan aparat, bisa bekerja tanpa melanggar hak asasi manusia. Bagaimana bila pertukaran informasi tersebut berdampak pada pelanggaran? Ada orang meninggal? Ada tuduhan yang meleset dan korban berjatuhan? Penyiksaan atau penculikan? Tidakkah ini justru bikin repot negara? 

Bagaimana praktik penyamaran aparat menjadi wartawan bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik dan hukum internasional?

Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia disebutkan bahwa wartawan harus menjalankan tugas dengan profesional, menggunakan cara-cara yang etis, dan tidak menyalahgunakan profesi. Artinya, wartawan tak boleh menyalahgunakan profesi mereka buat kepentingan di luar jurnalisme. Entah kepentingan instansi keamanan. Entah kepentingan perusahaan yang menyewa mereka guna mengumpulkan informasi. Ada juga ketentuan wartawan tak boleh menerima suap atau sogokan yang dapat mempengaruhi independensinya.

Namun secara hukum, tak ada larangan bagi instansi keamanan –polisi, militer dan lainnya– buat menyamar sebagai wartawan. Ini salah satu lubang dalam dunia pers di Indonesia. Saya kira perlu ada hukum yang melarang aparat keamanan —termasuk polisi, militer maupun intelijen— buat menyamar sebagai wartawan.

Apakah ada contoh di negara lain yang mendapat sanksi atau kecaman internasional karena menyusupkan aparat ke media?

Di Amerika Serikat, ada Undang-Undang Otorisasi Intelijen tahun 1997. Isinya, melarang penggunaan wartawan maupun organisasi berita, baik di dalam negeri maupun luar negeri, atau mereka yang secara resmi diakui oleh pemerintah asing sebagai wartawan, sebagai agen berbagai instansi keamanan. Perkecualian, Presiden Amerika Serikat boleh mengesampingkan larangan ini dalam kasus tertentu untuk keamanan nasional, namun Presiden harus minta persetujuan komite intelijen dari Kongres Amerika Serikat. Ini membuat instansi Amerika Serikat juga tak boleh menggunakan wartawan non-Amerika di seluruh dunia sebagai agen. 

Hukum tersebut dibuat karena praktek mata-mata jadi wartawan atau wartawan jadi mata-mata terjadi luas di dalam maupun di luar Amerika Serikat. Keadaan di Amerika Serikat sebelum 1997 sama dengan keadaan di Indonesia sekarang. Namun ada banyak protes terutama dari kalangan wartawan profesional sehingga dibuat larangan. 

Soal sanksi, Indonesia sering dikritik dalam forum internasional karena membatasi akses wartawan internasional berkunjung ke seluruh Papua Barat serta intimidasi terhadap wartawan lokal, maupun kegiatan mata-mata atas nama jurnalisme. Pembatasan di Papua Barat diberlakukan Indonesia sejak tahun 1967. 

Apa yang dilakukan Indonesia melanggar Prinsip Johannesburg tahun 1995 tentang standar global mengenai pembatasan terhadap wartawan atas nama keamanan nasional. Sebuah pemerintah boleh membatasi wartawan dalam area tertentu dan waktu tertentu. Kalau sudah enam dekade membatasi akses ke semua wilayah Papua, Indonesia tentu melanggar Prinsip Johannesburg. 

Sekarang di Amerika Serikat, dalam praktik, ada instansi keamanan yang minta informasi dari wartawan namun tak merekrut wartawan sebagai agen. Kalau si wartawan memberikan informasi karena dia percaya pada apa yang dia berikan kepada instansi keamanan –atau organisasi mana pun– dia tak melanggar hukum. Mungkin dia melanggar etika dari media dimana dia bekerja. 

Bagaimana menerangkan perbedaan ini? 

Dalam buku The Elements of Journalism (2007), Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menjelaskan bahwa independensi adalah elemen dari jurnalisme. Menjadi netral bukan dasar jurnalisme. Imparsialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektivitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. 

Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting daripada netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap lakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat luas, bukan sekedar organisasi atau instansi yang mereka dekat, serta memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan. 

Apakah langkah serupa bisa ditempuh terhadap Indonesia?

Di Indonesia, Dewan Pers dan berbagai organisasi wartawan, di berbagai kota besar, dari Jakarta sampai Jayapura, termasuk Ambon, bisa membuatnya sebagai agenda pelatihan jurnalisme. Organisasi wartawan perlu memperjelas soal independensi wartawan serta pentingnya meningkatkan kepercayaan publik terhadap media. 

Pada tahun 1994, ketika saya ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, kata “independen” sengaja dipilih karena kami percaya bahwa independensi-lah yang mengikat kami sebagai wartawan. Kami bukan diikat oleh suku, agama, gender, daerah, ideologi, orientasi seksual atau kebangsaan, tapi diikat oleh independensi. 

Kalau ini sudah menyebar di kalangan wartawan, lebih mudah buat mendorong partai politik dan parlemen buat bikin undang-undang melarang instansi keamanan menyamar sebagai wartawan atau merekrut wartawan.

Apakah Anda sendiri pernah mendapat ancaman atau intimidasi saat membongkar praktik mata-mata di dunia pers?

Rasanya tak ada ketika saya menulis soal suanggi. Kalau ada yang jengkel, serta meluapkannya dalam group, tentu ada. Oktovianus Pogau, seorang wartawan Papua, pernah screenshot celotehan beberapa wartawan di Jayapura soal saya. 

Menurut Anda, jika praktik penyamaran ini tidak dihentikan, seperti apa wajah kebebasan pers Indonesia 5–10 tahun ke depan?

Ada banyak pasal yang bisa dipakai buat kriminalisasi wartawan di Indonesia, dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana sampai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Atmakusumah Astraatmadja, salah satu wartawan terhormat dalam sejarah Indonesia, ada lebih banyak pasal karet di Indonesia daripada zaman Hindia Belanda. 

Contohnya, Diananta Putra Semedi dari Banjarmasin, dihukum penjara 2.5 bulan pada tahun 2020 di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, karena pasal karet soal pencemaran nama seorang pengusaha sawit, yang dilaporkan merampas tanah di pulau tersebut. Reporter Muhammad Yusuf meninggal dalam tahanan polisi di Pulau Laut pada tahun 2018, juga dengan kriminalisasi pasal karet, soal pencemaran. 

Tantangan wartawan di Indonesia, yang sudah sulit sekali dengan keberadaan pasal-pasal karet, maupun kedatangan media sosial, tambah ruwet dengan rasa saling curiga di antara sesama wartawan atau normalisasi wartawan jadi agen. Kebebasan pers bakal makin menurun. Bila kebebasan pers menurun, mutu jurnalisme juga menurun, dampaknya, demokrasi bakal menurun juga. 



Thursday, June 12, 2025

Biodata


Pada 1993, dia mulai kerja jurnalistik dengan harian The Jakarta Post lantas The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur). 

Pada 1994, dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen ketika pemerintahan Presiden Soeharto hanya memperbolehkan organisasi tunggal buat wartawan menyusul pembredelan mingguan Detik, Editor dan Tempo

Pada 1995, dia ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi di Jakarta, bekerja sampai 2003 ketika dia ikut mendirikan Yayasan Pantau, yang bergerak di bidang pelatihan jurnalistik. 

Dia anggota dari International Consortium of Investigative Journalists sejak 1997 di Washington DC. Pada 2019, organisasi tersebut memberinya penghargaan atas sumbangannya dalam mengembangkan liputan investigasi secara global. Dia anggota dewan pakar dari Fetisov Journalism Award di Geneva. 

Pada 2011, dia ikut mendirikan Suara Papua di Jayapura, mendukung Oktovianus Pogau (1992-2016), seorang wartawan asal Sugapa, Papua, sebagai redaktur pendiri. Dia juga menerima John Rumbiak Human Rights Defenders Award pada 2010. 

Pada 1995, dia ikut program School of International Training, Vermont, Amerika Serikat. 

Pada 1999, dia belajar jurnalisme sebagai Nieman Fellow di Universitas Harvard dan kembali ke Jakarta menyunting majalah Pantau khusus media dan jurnalisme.

Dalam Bahasa Indonesia, bukunya termasuk
Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (bersama Budi Setiyono) dan “Agama” Saya Adalah Jurnalisme serta dalam Bahasa Inggris Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia

Thursday, May 08, 2025

Indonesian Court Restricts Criminal Defamation Lawsuits

Rulings Offer Greater Protections for Online Speech, Critics of Government and Companies

Andreas Harsono

Daniel Tangkilisan (center), the environmentalist who filed the petition, and Todung Mulya Lubis (grey hair) and other lawyers from the LSM law firm, at Indonesia’s Constitutional Court in Jakarta, April 29, 2025. ©2025 LSM Law Firm



In an important step towards protecting online speech, Indonesia’s Constitutional Court on April 29 issued two rulings that provide important clarifications to the country’s Electronic Information and Transaction Law, used to regulate the internet.

For decades, government officials and powerful private actors, including companies and religious groups, have brought criminal defamation lawsuits under the internet law to silence their critics. According to the advocacy group Safenet, hundreds of cases have been filed, with 170 defamation claims in 2024. But the court’s recent rulings restrict how the law’s defamation clauses can be used going forward.

The first ruling said that the law’s definition of “public unrest” is limited to physical space, not “digital/cyber space,” rejecting lawsuits involving online posts. The second saidthat government agencies, companies, or “groups with specific identities,” including religious groups, can no longer file criminal defamation complaints under provisions designed to protect an individual’s reputation.

The petition to review the internet law’s criminal defamation clause was filed by environmental activist Daniel F.M. Tangkilisan. Tangkilisan was convicted in 2023 for “defaming” shrimp farmers operating in protected waters. He appealed and was acquitted in May 2024. In July, Tangkilisan and his lawyer, Todung Mulya Lubis, petitioned the Constitutional Court to revoke provisions of the internet law, including article 27 on criminal defamation.

The government defended the law, saying it “emphasizes the importance of accountability in freedom of speech and prevents the abuse of such freedom in the digital era.”

The court has not revoked article 27 but said that by restricting complaints only to individuals, it was preventing “arbitrariness by the law enforcer.” Lubis told Human Rights Watch that the ruling falls short because “powerful public figures” can still file lawsuits against activists who lack the resources to defend themselves.

International human rights law allows for restrictions on freedom of expression to protect the individuals’ reputations so long as such restrictions are necessary and narrowly drawn. The United Nations Human Rights Committee has said that governments should consider the decriminalization of defamation and that “imprisonment is never an appropriate penalty” for defamation. Human Rights Watch considers criminal defamation laws to be incompatible with the obligation to protect freedom of expression.

Indonesia retains several criminal defamation laws, including in the new 2022 criminal code, that do not meet international standards. In March 2024, the Constitutional Court found three defamation articles in the criminal code to be unconstitutional.

The government should review these laws and repeal all criminal defamation articles.

Friday, April 25, 2025

Metri W. Harsono Meninggal Dunia di Lawang

Metri Wongso Harsono, ibu saya, meninggal dunia di panti lansia Lawang, pada 23 April, dan Jumat ini disemayamkan di Jember, sesudah terkena stroke keenam kali. Dia meninggal dalam usia 82 tahun.

Saya sedang berada di Dubai, Uni Emirat Arab, ikut upacara penghargaan wartawan, Fetisov Journalism Awards, ketika ditelepon adik saya Yohana Harsono dan isteri Sapariah Saturi agar segera balik ke Indonesia. Maka dimulailah perjalanan panjang sejak Kamis pagi sampai Jumat malam, Dubai-Jakarta-Surabaya-Jember dalam 36 jam.

Ibu saya dikenal dengan beberapa nama: Christina (nama baptis), Tjen Ik Lan (nama lahir, bahasa Mandarin), Tjan Mie Miong (nama versi Melayu sebelum aturan ganti nama masa Orde Baru) dan Metri Wongso Harsono, sesudah ganti nama.

Dia kelahiran Kalisat pada September 1943, sekolah di Jember dan Surabaya, sesudah menikah, dia tinggal di Jember dan Yogyakarta.

Suaminya, Ong Seng Kiat, papa saya, meninggal pada Juli 2013 di Jember. Mereka memiliki enam anak: Andreas (lahir 1965), Debora (1967), kembar Susanna dan Rebeka (1969 dan Susanna meninggal 2024), Heylen (1977) serta Yohana (1979).

Dia memiliki dementia, perlahan-lahan mengalami penurunan daya pikir dan daya ingat, sampai lupa nama sendiri. Pada Januari 2024, terkena stroke besar sampai tak bisa berdiri, harus berada di ranjang.

Di rumah Jember, sebuah perusahaan home care mendampingi dan merawat ibu saya, namun keadaan jadi berbeda sesudah Susanna, yang mendampingi selama tiga dekade, meninggal November 2024. Tak ada lagi anak yang mendampinginya.

Perjalanan hidupnya sudah selesai. Sakit dan ngilu juga berakhir. May she rests in peace.

Wednesday, April 16, 2025

"Guru juga bisa stress dengan wajib jilbab"

Pernyataan dibacakan dalam pertemuan dengan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza ul Haq di Jakarta. Pertemuan ini dimintakan oleh Forum Berbagi, sebuah pelayanan online buat para korban dan penyintas perundungan jilbab. 



Nama saya, Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, menulis laporan, “I Wanted to Run Away”: Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia terbitan Maret 2021. 

Sejak April 2021, saya ikut bantu Forum Berbagi mendengar keluhan para ibu dan ayah, juga anak-anak mereka, yang mendapat diskriminasi lewat aturan wajib jilbab. 

Idenya datang dari seorang psikolog Bandung dengan puluhan pasien perempuan karena perundungan dan pemaksaan jilbab.

Di Forum Berbagi, kasusnya bermacam-macam. Banyak murid pindah sekolah negeri. Ada yang pindah ke sekolah swasta. Sedihnya, di sekolah negeri kedua ada yang dapat perundungan juga. Ada yang home schooling, frustasi dengan sekolah negeri. Ada guru yang dipindah, ada kenaikan pangkat ditunda atau mengundurkan diri. Guru juga bisa stress dengan wajib jilbab. Ada ibu dilarang masuk sekolah, ambil rapor, karena tak pakai jilbab. Ada beberapa keluarga terancam kehilangan rumah.  Ada yang pindah daerah. 

Banyak yang merasa cemas. Mereka cemas bila busananya dianggap kurang. Forum Berbagi menganjurkan berobat dengan bantuan psikolog, kadang juga psikiater. Mereka mengalami anxiety. Mereka mengalami trauma. Mereka mengalami body dismorphic disorder. Beberapa korban, perempuan dewasa, yang alami perundungan sejak kecil, masuk rumah sakit jiwa, antara 2 sampai 3 minggu.

Saya sering dapat telepon sesudah tengah malam guna mendengar kekecewaan mereka. Kecewa pada guru. Kecewa pada keluarga. Kecewa pada negara. 

Saya sendiri pada September 2022, minta bantuan psikolog karena sulit tidur. Konsultasi selama dua tahun. Kini kami menjadi lebih kuat secara kejiwaan. 

Saya usul Kementerian pendidikan bergerak lebih sigap buat mengatasi perundungan dan pemaksaan jilbab. Berikan pelatihan kepada para guru. Berikan sanksi kepada pelanggar. Review semua aturan yang memberi peluang perundungan jilbab. 

Di Indonesia, ada sekitar 150,000 sekolah negeri dengan sekitar 53 juta murid. Saya tak bisa bayangkan berapa banyak siswi yang trauma karena aturan wajib jilbab. Mereka seharusnya juga bisa mendapat bantuan dari psikolog, psikiater, minimal hotline service semacam Forum Berbagi. 

Terima kasih.

Friday, February 21, 2025

Rebeka Harsono dan Berbagai Kesulitan di Cisauk dan Jember

Saya memutuskan membatasi komunikasi dengan Rebeka Harsono, adik saya, terutama lewat Whatsapp, karena membaca, menanggapi dan memberi perhatian terhadap pesan-pesannya bisa menguras pikiran dan waktu bahkan susah tidur. 

Saya tentu komunikasi dengan Rebeka selama beberapa dekade. Kami sama tinggal di Jakarta sejak dia lulus dari Universitas Gadjah Mada pada 1992. Namun dia menimbulkan banyak masalah. Saya harus konsultasi dengan seorang psikolog di Jakarta, setiap bulan, selama hampir setahun, sejak tahun 2023. Dia bilang saya seharusnya menciptakan batas-batas dengan Rebeka. 

Human Rights Watch, tempat saya bekerja, juga menyediakan seorang psikolog di Beirut, buat saya mencurahkan pikiran. Dia juga usul perlu dibuat batas-batas dengan orang yang agresif --istilah orang awam, "suka marah-marah."  

Dalam lebih dari satu dekade terakhir keterampilan sosial Rebeka memang makin menurun. Dampaknya, apa yang diketik dan dibicarakan, bukan saja campuran antara harapan dan fakta namun juga khayalan serta ancaman. Dia sering membolak-balik omongan siapa pun. Dia sering mencampur fakta dan fiksi. Psikolog Beirut mengatakan bahwa berbagai tindakan Rebeka bisa dikategorikan sebagai "manipulatif."  

Mei 2024: Yohana, adik saya, bicara dengan kakaknya, Rebeka Harsono, dekat ranjang dimana Metri W. Harsono istirahat di Jember. Pertemuan ini mendorong Rebeka agar pindah dari Jember ke Cisauk agar perawatan Metri bisa dijalankan para perawat homecare
Pada Juli 2017, Rebeka menjalani pemeriksaan gangguan jiwa di rumah sakit Grogol, Jakarta. Diagnosa seorang psikiater mengatakan Rebeka memiliki schizophrenia paranoid. Dua psikiater lain setuju dengan paranoid namun belum pasti soal schizophrenia. 

Pada 14 Agustus 2018, sesudah serangkaian evaluasi, mereka menyimpulkan dia memiliki “bipolar hypermaniac.” Ada obat-obatan yang harus dikonsumsi Rebeka secara rutin. Sayangnya, dia tak mau terus konsultasi, juga tak melanjutkan konsumsi obat-obatan. Dia bahkan tersinggung bila disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa. 

Pada 8 Juni 2021, Rebeka meninggalkan rumahnya di perumahan Cisauk, Tangerang Selatan, sesudah beberapa kali ketua RT Henny Wijaya minta “keluarga bertanggungjawab” atas berbagai tindakan Rebeka. 

Dia jarang bayar iuran RT. Dia menuduh Henny “korupsi” dan melaporkan Henny ke polisi. Henny jengkel dan beberapa kali menelepon Heylen, adik saya lainnya yang tinggal di Jakarta, serta saya, juga beberapa kawan saya. 

Rebeka juga beberapa kali mengambil barang milik tetangga, misalnya tanaman dan pasir. Bila ditegur, Rebeka marah-marah. Harganya mungkin tak seberapa tapi tetap mengganggu apalagi dengan bantahan dan kebohongan.  

Puncaknya, saya sekeluarga, termasuk adik-adik yang lain, mendorong Rebeka pergi ke Jember pada Juni 2021. Kebetulan Susanna, saudara kembarnya, juga sakit. Rebeka punya alasan buat pindah kota. Dia menemani Susanna di rumah sakit. 

Rumah Cisauk dijaga seorang kenalan, yang sekaligus mengawasi renovasi rumah tersebut, selama beberapa bulan. Keluarga memenuhi keluhan Rebeka bahwa rumah tersebut terlalu panas. Biaya juga dikeluarkan dari dana keluarga. 

Ternyata di Jember, Rebeka juga merepotkan para tetangga. Ketua RT Ayu Sulistyo Putri di bilangan Pasar Loak Blok M juga menghubungi Yohana, adik bungsu saya, dan saya.  

Maret 2024: Dokter Hans Kristian Owen dari Panti Siwi menerangkan bahwa perawatan terhadap Metri W. Harsono menunjukkan perbaikan namun perlu ditambah dengan kerja sama Susanna dan Rebeka tak datang ke Panti Siwi. Mereka mengganggu para tenaga perawat. 
Sejak Januari 2024, Rebeka juga mengganggu beberapa tenaga kesehatan di Panti Siwi --sebuah panti wredha dimana mama kami, Metri W. Harsono dirawat-- sedemikian sampai dokter Hans Kristian Owen dari Panti Siwi menyerah. 

Rebeka menuduh Panti Siwi tak melakukan perawatan dengan baik serta minta mamanya dikeluarkan dari Panti Siwi pada 21 Maret 2024. Tujuannya, hari yang sama, Metri ternyata dibawa ke Bank Mandiri buat mencairkan tabungan dan deposito. Namun Metri dinyatakan kurang sehat sehingga pihak bank juga tak mau mencairkan tabungan. 

Kami memindahkan Rebeka kembali ke Cisauk pada Mei 2024. Ini juga agar memudahkan para perawat dari Jember Raya Homecare bekerja di rumah Metri di Jember. Susanna tetap berada di rumah tersebut, bergantian dengan para perawat, menjaga Metri. 

Berbagai macam keluhan saya dengar dari orang lain soal tingkah-laku Rebeka. Masukan dari para psikolog relevan sekali. 

Saya masih menerima email dari Rebeka guna mengirim pemberitahuan soal bantuan keuangan buat dia. Sudah cukup lama Rebeka tak memiliki penghasilan cukup serta mengandalkan bantuan keuangan dari keluarga setiap bulan. Kami bersaudara memastikan bahwa keperluan hidup pokok terpenuhi. Namun menciptakan batas dengan Rebeka, yang punya gangguan jiwa, adalah langkah yang perlu. 

Monday, January 20, 2025

Tonggak Tonggak Bambu

Putu Oka Sukanta

Tonggak tonggak bambu
Dipasang di laut biru
Membegal negara
Atas kuasanya

Tombak tombak raja
Mengawal istana
Tonggak tonggak bambu
Taring dan Cakar
Menjepit nelayan  di samudra 

"Yang kuasa,
yang pengusaha.
Yang pengusaha,
yang kuasa."
Dendang nelayan tak berdaya

Tonggak tonggak bambu
Tombak tombak raja
Membegal negara atas kuasa
Menjepit nelayan di lahan samudra.

Tonggak tonggak bambu
Cabut pembegal laut biru.

Rmangun, 20.02.25

Thursday, January 09, 2025

Atmakusumah Astraatmadja, Pejuang Kebebasan Pers dan Jurnalisme Bermutu

Andreas Harsono

Atmakusumah Astraatmadja, 20 Oktober 1938 – 2 Januari 2025 (Project M/Adrian Mulya).

Atmakusumah Astraatmadja, wartawan yang ikut melembagakan kemerdekaan pers lewat Undang-undang pers tahun 1999, serta membuatnya agar memenuhi standar internasional, meninggal dunia di RSCM Jakarta pada 2 Januari 2025. Dia punya masalah ginjal, menurut anak-anaknya. 

Atmakusumah kelahiran Labuan, Kabupaten Pandeglang, pada 1938. Ayahnya, Joenoes Astraatmadja, seorang birokrat yang pernah menjabat sebagai Wedana Leuwidamar, Kabupaten Lebak, serta pejabat bupati Bekasi. Ibunya, Ratu Kartina, mengelola sawah dan penggilingan padi di Lebak. Mereka tinggal di Rangkasbitung, ibu kota Lebak. Ratu Kartina memiliki pabrik kecap Tjap Ratu di Rangkasbitung. 

Pada 1957, ketika tamat sekolah menengah di Jakarta, usia baru 19 tahun, Atmakusumah sudah jadi wartawan Indonesia Raya Minggu.

Pada 1958, dia menulis feature soal lima wartawan pemenang Magsaysay, termasuk Mochtar Lubis, pemimpin redaksi harian Indonesia Raya yang sedang ditahan. Feature tersebut membuat beberapa perwira Corps Polisi Militer datang ke ruang redaksi dan minta agar laporan tidak dilanjutkan. Empat bulan kemudian, Indonesia Raya kena bredel.

Atmakusumah kuliah jurnalisme sembari bekerja sebagai penyiar Radio Republik Indonesia. Dia lantas bekerja untuk Duta Masyarakat Minggu, harian milik Nahdlatul Ulama, tapi berurusan lagi dengan sensor militer soal tulisan tentang film. Duta Masyarakat diancam akan dibredel. Nama wartawan muda ini diperhatikan oleh sensor militer.

Sesaat setelah peristiwa itu, dia bertanya kepada Mahbub Djunaidi, editor Duta Masyarakat, apakah dia perlu pergi dari Indonesia.

“Secara pribadi, saya tidak ingin Anda meninggalkan koran ini. Tapi, kalau saya menjadi Anda, saya akan pergi,” begitu jawaban Mahbub.

Pada Desember 1961, umur 23 tahun, Atmakusumah pindah ke Melbourne, bekerja selama tiga tahun untuk Radio Australia seksi Indonesia.

Di Melbourne, dia menyewa kamar dari keluarga Australia. Pindah rumah beberapa kali, masing-masing rumah milik keturunan Yahudi-Inggris, Yahudi-Hungaria, dan Yahudi-Polandia. Melbourne adalah kota di Australia yang ditinggali banyak orang Yahudi pelarian dari penindasan di Eropa pada Perang Dunia II. Dia berkenalan dengan orang dari berbagai latar belakang, termasuk orang-orang keturunan Indonesia yang menetap di sana sejak sebelum Perang Dunia II, kebanyakan dari orang-orang kiri yang dibuang ke Boven Digoel oleh pemerintahan Hindia Belanda. 

Atmakusumah mengatakan dalam buku Menjaga Kebebasan Pers: 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja, “Pasti ada orang baik di mana pun, dan selalu ada orang jahat di mana pun.” Hingga kini dia sering mengatakan kepada murid-muridnya, “Tolong jangan sekali-kali mempergunakan alasan stereotype saat Anda menilai orang.”

Kontrak dengan Radio Australia selesai pada 1964, Atmakusumah memutuskan berkeliling selama setahun di Eropa, naik Vespa, termasuk sempat bekerja di Deutsche Welle, Koln, selama 10 bulan, ketika kehabisan uang.

Pertengahan 1965, Atmakusumah kembali ke Jakarta, bekerja di Antara, tapi suasana ruang redaksi kurang menyenangkan, penuh gesekan. Hari pertama kerja adalah 1 Oktober 1965. Gerakan 30 September 1965 menggoyang Indonesia dengan penculikan beberapa jenderal Angkatan Darat. Pemimpinnya, Letnan Kolonel Untung Syamsuri, Komandan Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawalan Presiden Sukarno. Untung dapat dukungan D.N. Aidit dan beberapa tokoh Partai Komunis Indonesia.

Ini memicu pengganyangan terhadap golongan kiri di Indonesia. Ada banyak orang kiri ditangkap, ditahan, dan dibunuh. 

Atmakusumah melewati masa menegangkan pada 1965-1969, termasuk ketika harus memberhentikan beberapa wartawan Antara yang dianggap “kiri atau Sukarnois.”

“Saya tak mungkin melawan,” katanya. 

Pada 1968, Mochtar Lubis mengajak Atmakusumah menerbitkan kembali Indonesia Raya, sesudah 10 tahun dibredel. Atmakusumah bersedia, belakangan jadi redaktur pelaksana.

Pada 1970, Atmakusumah menikah dengan Sri Rumiati, kepala Perpustakaan Indonesia Raya, yang terkesan dengan keberanian Atmakusumah membela dua wartawan yang dicap kiri sesudah menulis berita tentang kecelakaan lalu lintas yang melibatkan beberapa mobil perwira militer.

Atmakusumah memimpin liputan dalam mengungkap korupsi di badan-badan usaha milik negara seperti Badan Urusan Logistik dan perusahaan minyak dan gas (Pertamina). Di bidang politik, surat kabar tersebut melaporkan demonstrasi anti pemerintah yang mencapai puncaknya selama kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada Januari 1974. Dampaknya, harian Indonesia Raya kembali dibredel.

Atmakusumah sempat berbisnis bunga anggrek dan ternak ayam tapi tak berhasil. Beruntung Sri terus bekerja sebagai pustakawan. Dia lantas melamar kerja sebagai press assistant di Kedutaan Amerika Serikat buat bikin analisis berbagai berita media dan membantu redaksional United States Information Service, termasuk majalah Titian.

Jerry Kyle, atase pers kedutaan Amerika, kebetulan menemui seorang direktur jenderal di Departemen Penerangan dan bertanya soal Atmakusumah. Si pejabat mengatakan ada 11 wartawan, termasuk empat dari Indonesia Raya, yang masuk blacklist, salah satunya Atmakusumah. Mereka tak boleh bekerja di surat kabar apa pun di Indonesia. 

United States Information Service memutuskan menerima Atmakusumah. Namun, dia tak memakai nama aslinya di majalah Titian. Dia pakai nama samaran “Ramakresna.” Atmakusumah bekerja di Kedutaan Amerika Serikat selama 18 tahun. Salah satu pekerjaannya adalah menulis pidato para duta besar Amerika Serikat. Dia belajar banyak soal jurnalisme di Amerika Serikat maupun berbagai negara lain. Pada 1992, dia menerima tawaran menjadi instruktur Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo, Jakarta, guna melatih wartawan-wartawan Indonesia agar bisa lebih terampil.

Pada Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto membredel tiga mingguan: Detik, Editor dan Tempo. Atmakusumah marah, memandang pembredelan adalah tindakan salah dan tidak adil. Media seyogyanya punya mekanisme buat membela diri terhadap tuduhan apa pun dalam kerja jurnalistik. Ini memulai lagi keterlibatannya dalam perjuangan pers, sekali lagi, terhadap sensor di Indonesia.

Saya mulai mengenal Pak Atma, begitu sapaan akrabnya, sejak demonstrasi di depan kantor Persatuan Wartawan Indonesia pada Juni 1994. Organisasi ini menyatakan “memahami” pembredelan tersebut. Ketika pintu pagar ditutup, Atmakusumah justru keluar dari kantor Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo, yang terletak dalam gedung sama, dan berbincang dengan para demonstran.

Namun, Atmakusumah tak bisa keluar pagar. Awalnya, polisi mengira Atmakusumah “orang dalam” yang ikut jadi sasaran protes, polisi khawatir dia diamuk demonstran. Menurut Rama Astraatmadja, putra Atmakusumah, ayahnya sering menceritakan kejadian tersebut dan dia sempat minta kaos protes pembredelan. Seseorang melepaskan kaos dan Atmakusumah memakai kaos hitam tersebut. Ada orang Persatuan Wartawan Indonesia bilang, “Bapak jangan manas-manasi.” Atmakusumah pun dilarang ke luar pagar.

Pembredelan kali ini berbeda dengan sebelumnya sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945. Ia menciptakan perlawanan luas dari kalangan wartawan dan masyarakat sipil di berbagai daerah. Puluhan wartawan muda, termasuk yang mengatur demonstrasi terhadap Persatuan Wartawan Indonesia, mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 7 Agustus 1994.

Ini tindakan yang dianggap melawan aturan wadah tunggal pemerintah Indonesia. Pada Januari 1995, tiga anggota organisasi ini ditangkap: Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang K. Wardoyo. Mereka dituduh menerbitkan surat kabar tanpa izin bernama Independen serta melanggar aturan wadah tunggal.

Atmakusumah punya kerabat yang perwira polisi di Jakarta. Dia sering menitipkan makanan buat ketiga wartawan itu. Dia juga hadir dalam persidangan bahkan bersaksi buat mereka. Namun, mereka tetap dinyatakan bersalah dan dihukum penjara beberapa tahun.

Atmakusumah terjun dalam berbagai kerja jaringan wartawan di berbagai kota, termasuk gabungan berbagai lembaga pendidikan jurnalistik, dari Bandung, Makassar, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta. 

Pada 1998, sesudah Presiden Soeharto mundur, dia terlibat dalam reformasi hukum pers, menulis rancangan Undang-undang Pers 1999 serta Kode Etik Wartawan Indonesia, ikut mendirikan Dewan Pers, serta ditunjuk sebagai ketua Dewan Pers pertama. 

Kami ikut dalam berbagai rapat di gedung Dewan Pers bersama Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia, yang menjadi salah satu koalisi organisasi media dan wartawan, termasuk Aliansi Jurnalis Independen dan Persatuan Wartawan Indonesia, buat menggodok rancangan undang-undang maupun kode etik. Saya mewakili Institut Studi Arus Informasi, sebuah organisasi pelatihan jurnalistik, yang sering bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Dr. Soetomo.

Saat itu adalah masa yang penuh kekerasan dari Aceh sampai Papua, termasuk pembunuhan ribuan orang Madura di Kalimantan serta kekerasan di Kepulauan Maluku. Rapat-rapat soal rancangan selalu diwarnai dengan diskusi tentang berbagai kekerasan serta bagaimana media kurang terampil dalam meliputnya. Atmakusumah kritis terhadap keputusan Group Jawa Pos yang memecah harian Suara Maluku menjadi dua surat kabar: Kristen dan Islam. Suara Maluku buat redaksi Kristen, Ambon Ekspres di pihak Islam. 

Pada 2000, Atmakusumah mendapat penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina, sebuah hadiah bergengsi di Asia, atas perjuangannya selama tiga dekade memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia.

Ramon Magsaysay Award Foundation menyatakan, “… era Soeharto selesai Mei 1998, Atmakusumah bekerja keras di balik layar untuk memastikan bahwa rancangan undang-undang pers tidak mengandung pembatasan. Hasilnya adalah tonggak sejarah. Disahkan pada September 1999, undang-undang pers menolak kewenangan pemerintah untuk membredel, menyensor, atau memberi izin kepada pers atau menahan informasi yang relevan. Undang-undang tersebut juga mengamanatkan pembentukan Dewan Pers yang independen.” 

Ketika menerima penghargaan di Manila, Atmakusumah berpidato, “Saya merasa bangga bisa bekerja sama dengan … gerakan jurnalis dan mahasiswa, yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi, serta pendukung hak asasi manusia di seluruh negeri. Kepedulian mereka yang mendalam terhadap kebebasan dan demokrasi mendorong saya untuk bepergian, sering kali ditemani oleh istri atau anak-anak saya, ke sekitar 30 kota selama 30 tahun terakhir untuk diskusi, dalam pertemuan terbuka atau tertutup, tentang makna pers yang bebas dalam masyarakat yang demokratis.”

Atmakusumah adalah wartawan Indonesia ketiga yang mendapatkan Magsaysay sesudah Mochtar Lubis (1958) dan Pramoedya Ananta Toer (1995). Pada 2021, Watchdoc Media Mandiri juga mendapatkan Magsaysay.  

Atmakusumah selalu memberikan waktu buat diskusi dengan wartawan di puluhan kota di seluruh Indonesia. Dia mengatakan mungkin sudah melatih 20.000 wartawan. Dia juga mendukung kampanye mengakhiri pembatasan wartawan asing masuk dan meliput di Papua Barat. 

Pada 2015, ketika Human Rights Watch menerbitkan laporan, Something to Hide: Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua, dia ikut bicara dengan menteri koordinator keamanan Luhut Binsar Pandjaitan agar aturan clearing house di Kementerian Luar Negeri yang membatasi wartawan asing ditinjau. Sayangnya, sampai hari ini pembatasan terhadap wartawan asing ke Papua Barat belum dihentikan. 

Pada 2023, Atmakusumah mendapatkan penghargaan “Lifetime Achievement Award” dari Dewan Pers. Dia dinilai tekun dan setia menulis soal etika jurnalisme, tanggung jawab wartawan serta hak asasi manusia. Jasa Atmakusumah besar buat perjuangan demokrasi Indonesia.

Kepergian Atmakusumah meninggalkan Sri Rumiati dan tiga putra mereka: Kresna Astraatmadja (seorang pembuat film dokumenter, tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan), Rama Ardana Astraatmadja (pembuat film dokumenter, tinggal Yogyakarta) dan Tri Laksmana Astraatmadja (astronom, kerja di Baltimore, dekat Washington DC). 

Andreas Harsono adalah salah seorang wartawan yang ikut protes terhadap Persatuan Wartawan Indonesia pada Juni 1994, terlibat mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada Agustus 1994. Kini dia bekerja buat Human Rights Watch.