Thursday, December 21, 2006

Jungkir Balik di El Tari

Andreas Harsono
Flores Pos

Lagi asyik-asyiknya menyunting laporan trend politik Pulau Flores, sembari menunggu seorang reporter mengetik kasus pemerkosaan di stadio Marilonga, tiba-tiba eh ... listrik mati. Semua jaringan komputer mati. Padahal jaringan ini bekerja tanpa sistem pengaman listrik mati. Maka semua data hilang.

Saya nyaris mengeluarkan koleksi kebun binatang saya, plus nama seluruh pembunuh massal, kalau tak ingat, bahwa mereka yang kerja di ruangan ini, ruang redaksi harian Flores Pos, hanya teriak, "Wah wah ....."

Santun sekali. Sekitar 15 orang, yang kerja di ruang redaksi, keluar satu per satu, menuju pelataran depan kantor, merokok dalam kegelapan, makan pisang molen, dan sedikit memaki.

Frans Obon, redaktur pelaksana, bilang, "Ya begini ini Mas, koran kota kecil."

Terkadang listrik mati dari pukul 17:30 sampai 22:00. Artinya, kami mulai bekerja lagi pukul 22:00 dan selesai pukul 3:00 dini hari. Koran sering belum muncul hingga pukul 7:00 dari percetakan. Pelanggan Ende pun mulai menelepon, marah-marah, sekretaris redaksi bolak-balik minta maaf. Ada juga pelanggan mengancam berhenti langganan. Pukul 10:00 telepon keluhan masuk dari Bajawa. Sambung-menyambung sampai Labuhan Bajo.

Rapat redaksi Flores Pos.

Inilah salah satu pengalaman membantu harian Flores Pos. Ada selusin wartawan, selusin komputer tua, tanpa satu pun kamera, sambungan internet jalan kayak siput (maaf ya siput). Para koresponden, dari Maumere, Larantuka, Ruteng, dan sebagainya, mengirim berita dengan tulisan tangan dan mesin fax.

“Listrik padam, komputer onar, Telkom tidak punya internet,” kata koresponden Maxi Gantung dari Lewoleba.

Saya seakan-akan kembali ke masa silam, 20 tahun lalu, ketika mesin fax baru muncul. Ada rasa aneh. Kok wartawan mengirim berita dengan tangan? Kok pakai mesin fax?

Dulu saya pernah bekerja di harian The Star di Kuala Lumpur, dimana satu hari sirkulasinya sekitar 300,000. Semua serba otomatis. Semua reporter bawa laptop, cellphone, internet, foto satelit dan bekerja dari ujung-ujung dunia … London, New York, Beijing, Hong Kong, Singapore, Jakarta dan sebagainya. Sirkulasi harian The Star sekitar 100 kali lipat dari Flores Pos. Gedungnya lebih dari 17 tingkat dan percetakannya ada di beberapa kota.

Hitam putih. Di Flores Pos, kami mengetik ulang semua berita. Terkadang mutu fax buruk sehingga ada kalimat-kalimat tak terbaca. Saya harus berjuang keras untuk tak mengkhayal agar ada kutipan yang sexy.

Harap maklum. Setiap sore, para redaktur Flores Pos mengeluh soal berita “elitis” –berita yang intinya cuma mengutip pejabat, namun tak memberi ruang buat orang kebanyakan. Padahal warga kebanyakan Flores, Adonara, Solor atau Lembata, yang justru jadi tumpuan perjuangan Flores Pos

Kami ingin petani, pedagang, mahasiswa, pemuda dan orang biasa, bicara lebih banyak di halaman-halaman Flores Pos. Para pejabat kalau bicara juga banyak slogan, tak menarik, kering, atau meminjam istilah anak ABG Jakarta: OM-DO alias “omong doang.”


Saya bekerja untuk Flores Pos melalui kerja sama dengan Yayasan Pantau, sebuah organisasi nirlaba di Jakarta, yang bergerak di bidang pelatihan wartawan serta riset media. Swisscontact, sebuah organisasi dari Swiss, dengan kantor cabang Ende, membiayai kerja sama ini senilai Rp 150 juta setahun. Pantau mengirim dua konsultan pemasaran, empat konsultan editorial dan dua disainer. Harapannya, Flores Pos bisa tampil sebagai suratkabar yang lebih baik, dari segi editorial, bisnis maupun disain. Swisscontact ingin membantu Flores Pos memberikan informasi yang lebih bermutu kepada warga Flores.

Pekerjaan saya membuat "evaluasi harian" terhadap Flores Pos. Isinya, mulai dari bahasa yang birokratis ("kelaparan" disebut "rawan pangan" sedang "kemiskinan" disebut "ketertinggalan") hingga etika wartawan.

Saya usul Flores Pos membuat kriteria pemakaian referensi kedua. Misalnya, Frans Seda, referensi keduanya adalah “Seda” –bukannya “Frans.” Di Pulau Flores ada tradisi penggunaan nama keluarga. Maka saya usul Flores Pos menghormati tradisi ini. Nama depan, tentu saja, bisa memang biasa dipakai sebagai panggilan sehari-hari.

Usulan lain, Flores Pos tak memakai inisial dalam pemberitaan kasus kriminal namun meninggikan mutu wartawannya dalam bidang praduga tak bersalah. Inisial terbukti tak membuat masyarakat tak menduga-duga, dan seringkali tepat, siapa pemilik inisial.

Misalnya, pada kasus YZ dan ME, orang mudah menemukan bahwa Yahya Zaini adalah anggota DPR dari Partai Golkar, yang terlibat video mesra dengan penyanyi dangdut Maria Eva. Atau pada kasus di Maumere, EPdG mudah ditebak adalah Eugene Paceli da Gomez, yang diduga ikut judi kecil-kecilan.

Kalau kita hendak benar-benar menyembunyikan identitas tersangka kejahatan, cara terbaik adalah tak menyebut inisial. Sebut saja seorang “politikus” baik pada kasus Zaini maupun da Gomez. Bukannya, “anggota DPR” atau “wakil ketua DPRD Sikka.”

Di Jakarta, memang berlaku kode etik jurnalisme formal, dimana nama lengkap seorang tersangka baru diungkap penuh bila hakim sudah bikin vonis. Kode etik ini terbukti tak ditaati media Jakarta. Proses peradilan kita sangat berbelit-belit dengan prosedur panjang. Lantas siapa pun tahu bahwa peradilan Indonesia, karena prosedurnya yang sulit, lebih menguntungkan orang yang punya uang buat bayar pengacara. Orang yang tak punya uang umumya dirugikan pengadilan. Jadi, mengapa kita harus mendasarkan pemakaian nama atau inisial kepada proses peradilan macam begini?

Frans Anggal, pemimpin redaksi Flores Pos, minta saya juga membantu penyuntingan feature serta melatih para koresponden selama dua hari. Pantau juga membantu Anggal agar bisa lolos seleksi pelatihan pemimpin media di Melbourne tahun depan. Stef Tupeng Witin bulan depan ikut kursus penulisan di Jakarta. Harapannya, wartawan-wartawan lain juga ikutan.

Manajemen Flores Pos sendiri bicara soal ingin bikin naik sirkulasi harian dari 4,000 hingga 7,000 eksemplar setahun lagi. Direktur Keuangan PT Arnoldus Nusa Indah Wilfrid Kromen, yang menangani keuangan Flores Pos, bicara soal kemungkinan cari mesin cetak bekas untuk ditempatkan di Pulau Lembata dan Ruteng. Ini bukan kerja gampang. Harga satu mesin kira-kira Rp 2 milyar.


Flores Pos penting karena ia harian independen. Ia bukan milik konglomerat media di Jawa. Media di Indonesia kebanyakan pemiliknya orang Jakarta. Lebih dari 90 persen isi berita mereka, dari Sabang sampai Merauke, ditentukan oleh media yang siaran atau terbitannya, dimiliki orang Jakarta.

Entah itu Kelompok Kompas Gramedia. Entah itu kelompok Tempo Jawa Pos. Entah itu milik Media Nusantara Citra. Indosiar, SCTV, Trans TV, Metro TV dan kelompok Femina.

Gramedia memiliki lebih dari 30 harian di seluruh Indonesia. Kelompok Tempo Jawa Pos punya lebih dari 140 suratkabar. MNC menguasai RCTI, TPI, Global TV maupun jaringan radio Trijaya dan koran Seputar Indonesia. Harian Serambi Indonesia di Aceh misalnya, bukan milik orang Aceh, namun milik Gramedia. Sama dengan Pos Kupang. Tempo Jawa Pos mengembangkan jaringan radar-radar, dari Radar Jember hingga Radar Lampung.

Semua terpusat dari Jakarta. Standar kerja sama. Manajemen sama. Penilaian kerja sama. Cara mencari wartawan sama. Mutu kerja sama. Sama buruk, sama baik. Mereka berlomba-lomba menguasai pasar sembari menekan biaya. Wartawan ditekan gajinya agar mereka bisa menguasai pasar lebih banyak.

Harian Flores Pos lain. Harian ini hanya terbit 16 halaman tapi mengisinya dengan 80 persen berita lokal. Ia punya enam biro, masing-masing dua reporter. Total ada 16 wartawan. Ini usaha luar biasa (walau ia masih curi-curi “berita nasional” dari internet).

Di Indonesia, bisa dihitung dua tangan, harian lokal tapi milik Jakarta, yang mengisi beritanya macam Flores Pos. Kebanyakan hanya ambil bahan berita dari induk mereka di Jakarta atau Surabaya, lalu membayar empat atau lima wartawan, guna mengisi halaman lokal. Disain pun sama, dari Jawa Pos di Surabaya hingga Cenderawasih Pos di Jayapura. Bayangkan isi Flores Pos kalau jumlah reporter dan redakturnya cuma lima orang?

Kerja di Ende ini melelahkan. Setiap tengah malam, badan saya capek, masuk kamar kost untuk tidur. AC mati dan tukang AC, kerjanya minta ampun lambat. Kamar pengap. Namun setiap pagi pula, saya hendak cepat-cepat bangun, melihat koran hari ini, melihat disainnya, melihat mutu cetakan dan menunggu hasil penjualan. 

Ada seorang penjual koran yang suka cerita berapa koran dijualnya hari ini?

Ada gairah. Ada pengorbanan. Belum lagi melihat Frans Anggal, Hieronimus Bokilia, Inno Making dan lain-lain, yang juga sudah muncul di kantor, pagi-pagi sekali. PT Arnoldus Nusa Indah masih rugi. Tapi saya percaya, Flores Pos mencoba melakukan yang terbaik, melayani warga Flores, dengan segala keterbatasannya. Anggal pulang malam ketika anak-anaknya sudah tidur.

Air ledeng sempat tiga hari mati. Saya berhemat air, cukup hanya untuk buang air, kecil dan besar. Mandi di Pantai Ria. Makan dan minum juga harus hati-hati kalau tak mau sakit perut. Ada wabah diare. Tapi dari Jl. El Tari inilah, saya belajar makin menghargai kerja keras wartawan-wartawan kota kecil. Jurnalisme justru menunjukkan mutu dan pengabdiannya ketika ia bergerak lurus dengan segala keterbatasan dan kesulitannya. Ini sebuah keanggunan.


Andreas Harsono direktur Yayasan Pantau, organisasi media Jakarta, yang kini membantu manajemen Flores Pos, bekerja sama dengan Swisscontact, di bidang editorial, pemasaran dan disain. Naskah ini mulanya dimuat di halaman opini harian Flores Pos

3 comments:

Unknown said...

sekitar beberapa bulan yang lalu (saya lupa tepatnya tanggal berapa) dosen saya bercerita tentang kehidupan wartawan media massa cetak di daerah pedalaman. Beliau berkisah mengenai suka duka wartawan disana, mulai dari keterbatasan sarana dan prasarana hingga masalah segitiga dalam media massa yang mas tuliskan dalam resensi buku 9 elemen jurnalisme, masyarakat, pengiklan, dan pembaca.
Membaca dan mencermati apa yang Mas Andreas tulis di blog ini, saya melihat terdapat banyak kesamaan antara apa yang saya dengar dari dosen dan cerita anda mengenai 'nasib' wartawan pedalaman (walaupun tempatnya berbeda). Kalau boleh bertanya,
1. Apa hal yang melatarbelakangi mereka hingga masih bertahan dengan kondisi yang 'minim' seperti itu? Apa berdasarkan tanggung jawab sosial seorang wartawan kepada pembaca atau ada hal lainnya?
2. Sejauh mana 'budaya Asli' mempengaruhi semangat mereka dalam mendapatkan informasi dan memberitakannya kemasyarakat (dengan kondisi seperti itu)? karena seperti pengalaman yang saya rasakan, banyak wartawan yang dalam 'kerjanya', memplagiat hasil informasi yang didapat dari temannya.
3. Menurut anda, apa solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini? Kalau bisa jangan 'membawa' birokrasi (pemerintah). karena jika meminta 'pertanggung jawaban' mereka, ditakutkan berita yang disampaikan tidak berimbang dan independen.

sebelumnya maaf mas kalau ada kesalahan atas pernyataan maupun pertanyaan saya.
mohon dimaklumkan, karena saya masih belajar dan mencoba mengenal dunia jurnalistik.
Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.

Diemas Kresna Duta
Mahasiswa Jurnalistik Unpad

andreasharsono said...

Dear Diemas,

Saya kira seorang wartawan memilih tinggal di kota kecil macam Ende, atau metropolitan macam Jakarta, dengan banyak pertimbangan pribadi. Saya tak suka dengan Jakarta. Namun saya terpaksa tinggal di Jakarta. Ada sekolah anak. Ada karir isteri. Macam-macam deh pertimbangannya.

Ini sama dengan Frans Anggal, Frans Obon dan sebagainya. Mereka mungkin sama. Ada masalah keluarga. Ada juga faktor ketenangan hidup. Siang hari bisa pulang dan siesta.

Minggu lalu, anak saya, Norman, tiba-tiba bilang dia suka sekali dengan Ende. Dia merasa udara bersih. Hidup tenang. Norman dulu ikut menemani saya di Ende.

Bekerja di suratkabar terpencil tak selalu identik dengan kerugian. Bekerja di metropolitan Jakarta juga tak selalu identik dengan keuntungan. Ada plus dan minus masing-masing. Terima kasih.

QuotePotato said...

Hi Andreas,

Saya kagum membaca blog2 yang anda tuliskan. Saya yakin menjadi wartawan di kota kecil, apalagi setelah men-taste kerja di luar negeri dan Jakarta - tidaklah mudah.

Pertanyaan saya jika anda diberi pilihan untuk hidup di kota lain selain Ende - dalam maupun luar negeri - kota manakah yang akan anda pilih dan mengapa?

Selain daripada itu, saya punya sebuah resource bagi anda yang mungkin bisa jadi resource yang berguna. quotepotato.com adalah resource yang saya buat bagi diri saya sendiri dan seorang teman. Tujuannya untuk mengingatkan kita tiap hari akan budaya, pengetahuan dan maksud hidup yang di-pass down dari orang2 terkenal di dunia ini.

Sekian.

Milton