Friday, February 17, 2006

Thoyib

Oleh Taufik Wijaya

Taufik Wijaya wartawan-cum-seniman Palembang, tahun lalu novelnya, Juaro, tentang dunia preman di Palembang, diluncurkan Pustaka Melayu. Penugasan liputan naskah ini dilakukan Yayasan Pantau dengan sponsor Unesco Jakarta.


SEBUAH kapal di perairan Sungsang, Sungai Musi, Palembang. Seorang pria mengayun-ayun sebilah pedang di depan para penumpang. Dia berteriak mengancam, “Jangan melawan! Aku bunuh kamu galo (semua) kalau melawan. Serahkan duit, emas atau jam tangan kalian!” Di belakang pria bernama Thoyib ini berdiri tiga lelaki dengan tatapan ganas.

Sejumlah harta benda pun berpindah tangan. “Gawe kito (pekerjaan kita) itu belum seberapa. Itu baru percobaan. Kalu galak awak melok kame (Kalau mau kamu ikut kami),” kata Usman Gopok, senior Thoyib, pemimpin perampokan itu.

Itu aksi pertama Thoyib, tahun 1967. Dia mengisahkannya pada saya. Thoyib kini ketua Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu atau disingkat PMPB. Anggota organisasi ini kebanyakan bandit, yang diklaim Thoyib “preman sadar.” Para anggota PMPB tak hanya menguasai pasar, tempat hiburan atau lahan parkir, melainkan bermain juga di dunia politik atau pemerintahan di Palembang dan Sumatra Selatan.

PMPB dideklarasikan pada 10 Oktober 2000. Jumlah anggotanya 70 ribu orang, tersebar di seluruh Sumatra Selatan. Di kepengurusannya terdapat sejumlah nama politisi maupun pengusaha, seperti Eddy Santana Putra dan Syahrial Oesman, masing-masing adalah walikota Palembang dan gubernur Sumatra Selatan sejak 2003. Keduanya dari Partai Golongan Karya.

Dibanding organisasi massa seperti Pemuda Muhammadiyah atau Gerakan Pemuda Anshor, PMPB tampak lebih menonjol. Setidaknya berdasarkan jumlah plang nama. Plang nama PMPB tegak di sejumlah kampung di Palembang, yang di sana sulit saya temukan plang organisasi macam Muhammadiyah atau Anshor.

Thoyib, sang ketua, lahir 19 Agustus 1949 di Palembang. Nama lengkapnya Muhammad Thoyib Akib. Dia sulung 11 bersaudara. Tapi sembilan saudaranya meninggal sebelum beranjak remaja. Kematian adik-adiknya, menurut Thoyib, karena ilmu kebatinan yang dimiliki sang ayah, Masagus Akib. Ilmu tersebut membawa aura panas dan menuntut korban jiwa. Thoyib selamat karena dia kebetulan tinggal di rumah keluarga ibunya.

Masagus Akib sehari-hari bekerja sebagai pedagang. Keluarganya hidup berkecukupan. Thoyib kecil tak pernah susah.

Hidup keluarga Thoyib berubah drastis setelah Akib meninggal pada September 1967. Belum genap sebulan Akib wafat, komplotan perampok menjarah Kampung 3 Ulu, Kertapati, Palembang. Rumah keluarga Thoyib ikut jadi sasaran. Dan ketika pagi tiba, keluarga Thoyib resmi jatuh miskin.

Ketika itu negara Indonesia juga dilanda krisis. Perekonomian parah. Rezim beralih dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto. Banyak warga terpaksa makan bulgur dan mengenakan pakaian karung goni.

Thoyib mendendam pada keadaan. Dia ingin membunuh para perampok itu. Tapi, dia tak tahu caranya. Dia pun tak tahu markas mereka. “Kalu awak (kalau kau) memang mau balas dendam, cubo melok (coba ikut) aku,” kata Usman Gopok, enam bulan kemudian.

Thoyib langsung setuju. Malamnya dia ikut Usman beserta dua anak buah pria itu merompak kapal penumpang di perairan Sungsang. Niat balas dendam membuat Thoyib justru mengikuti jejak musuhnya: jadi bandit.

Thoyib tak lagi susah. Demikian juga keluarganya. Mau makan, beli. Mau pakaian, beli. Mau perhiasan, pakai. Dan, puluhan perempuan, minta dikawini. Selama setengah tahun Thoyib menuai hasil merompak kapal-kapal di perairan sungai Musi dan selat Bangka.

Namun, pada akhir 1968 dia ditangkap di rumahnya. Dia diangkut ke penjara Jalan Merdeka Palembang. Selama enam bulan dia dibui.

“Waktu saya ditahan itu, ibu saya baru tahu apa yang saya lakukan. Dia marah,” kenang Thoyib.

Keluar dari penjara, Thoyib kembali bergabung dengan kelompok Usman. Mereka terus merompak di sungai Musi, perairan Sungsang, dan Selat Bangka.

Sejarah bajak laut atau lanun di perairan Sungsang dan selat Bangka telah dimulai sejak abad ke-14. Cheng Ho, panglima tertinggi angkatan laut Cina, menangkap seorang bajak laut dan membawanya pulang untuk dihukum pancung. Ketika itu dia dalam perjalanan pulang dari penjelajahan pertamanya keliling Champa (Vietnam), Majapahit (Jawa), Deli (Sumatra), Srilangka, dan Kalkuta.

Siapa bajak laut ini?

Dia Chen Tsu-I, eks perwira angkatan laut Cina asal Kanton. Dia lari dari Cina karena anti Dinasti Ming. Dinasti tersebut menguasai Cina sejak 1368. Chen Tsu-I membawa ribuan pengikutnya dan membangun basis kekuasaan di Palembang, atau dalam bahasa Cina, Po-lin-fong yang berarti “pelabuhan tua.”

Selama berkuasa di Palembang, Chen Tsu-I menguasai daerah sekitar muara sungai Musi, perairan Sungsang dan selat Bangka. Anak buah Chen Tsu-I merompak semua kapal yang melintasi perairan itu. Kebetulan atau tidak, daerah-daerah itu sampai kini jadi kantong-kantong bandit Palembang.

Pada 1969 Thoyib pertama kali membunuh orang. Korbannya teman sendiri.

Suatu hari, setelah merasa cukup puas dengan hasil rompakan, Thoyib dan kawan-kawan naik ke darat untuk bagi hasil. Alangkah kecewanya Thoyib ketika Toni, yang selama ini dititipi hasil rompakan berupa uang dan emas, menyebut tabungan mereka telah disita polisi.

Semula Thoyib dan tiga kawannya, Cek Ing, Yohanes dan Herman percaya pada pengakuan Toni. Tetapi, seorang perempuan simpanan Toni mengadu bahwa selama mereka di laut, di darat Toni berfoya-foya.

“Aku setuju malam ini kita habisi budak taun (anak setan) itu,” kata Thoyib pada kawan-kawannya.

Mayat Toni penuh luka tusuk dan bacokan. Namun, mereka tak semua masuk sel. Cek Ing sukarela jadi tumbal. Dia mengaku sebagai pelaku tunggal kepada polisi.

Thoyib melarikan diri ke Lampung, bergabung dengan Basir, adik kandung Usman Gopok. Di daerah yang sebagian besar dikelilingi laut, kelompok baru Thoyib banyak beroperasi di kawasan Panjang. Mereka merompak kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Panjang.

Kelompok ini kemudian bertemu dengan sejumlah bandit Jakarta. Mereka sepakat beroperasi di dua wilayah, laut dan darat. Setiap anggota memiliki sepucuk pistol jenis FN. Pistol-pistol itu dibeli dari seorang tentara.

“Kelompok kami sangat terkenal saat itu. Kami merompak kapal Singapura, Jerman, Taiwan. Kami juga merampok toko emas, agen sepeda dan toko-toko yang besar,” kenang Thoyib.


AKHIR 1970. Empat orang memegangi tubuh Thoyib sambil memasang borgol dan rantai di tangan dan tubuhnya. Buk! Tubuh Thoyib dilempar ke bak belakang mobil Toyota Kijang milik Angkatan Laut. Tak berapa lama batu-batu melayang dan mendarat di tubuh Thoyib. Orang-orang di Pasar Bawah, Tanjungkarang, melampiaskan rasa benci mereka.

Beberapa menit sebelum penangkapan Thoyib, tujuh kawannya ditangkap di kamar kontrakan mereka.

Pemilik kontrakan melapor ke polisi. Perempuan tua itu sempat mengintip kegiatan Thoyib dan kawan-kawannya melalui lubang kecil di dinding papan. Dia terkejut melihat mereka tengah membersihkan senjata api.

Polisi menuduh kawanan Thoyib terlibat 17 kasus kejahatan. Thoyib dan kawan-kawan berusaha menyogok polisi, tapi gagal. Mereka divonis delapan tahun penjara. Ini menandai akhir masa jaya kelompok Thoyib di Lampung.

Memasuki bulan ketiga di tahanan kantor polisi, tiga dari kawanan itu berhasil kabur.

Akibatnya Thoyib dan empat rekannya dipindahkan ke sel isolasi di penjara Tanjungkarang. Satu orang menghuni satu sel. Selama setahun, dengan tubuh di rantai, mereka tak pernah menyaksikan siang maupun malam.

Pada 1972 pengadilan memindahkan Thoyib dan kawan-kawan ke penjara Cipinang, Jakarta. Di sini Thoyib hanya bertahan lima bulan. Dia berkelahi dengan kelompok bandit yang lebih dulu ditahan di sana. Thoyib lantas dipindahkan ke penjara Sukamiskin, Bandung, dan mendekam di situ cuma sepekan. Pasalnya, dia ribut dengan pegawai penjara gara-gara distribusi makanan para tahanan.

Kali ini Thoyib dipindahkan ke penjara Banceuy Bandung, yang sekarang sudah jadi pertokoan. Baru tiga hari di tahanan, dia sudah menusuk bandit yang berkuasa di penjara itu. Thoyib marah rambutnya dipaksa potong pendek.

Dia pun dipindahkan ke penjara Cirebon. Setelah dua tahun di situ, Thoyib kembali berkelahi dengan sesama penghuni penjara. Dia terpaksa dipindahkan ke penjara Kuningan, masih di sekitar Jawa Barat.

Pada 1977, Thoyib bebas. Tapi dia tak langsung pulang ke Palembang. Thoyib malah membentuk kelompok bandit Cirebon. Setelah bentrokan di dalam, kelompok itu bubar jalan. Thoyib pun memutuskan pulang kampung.



SUATU sore Thoyib duduk di teras rumah panggung orangtuanya. Dia memikirkan apa yang didengarnya semalaman: suara ibunya. “Nak, tolong ibu, berentilah. Ingat nerako. Nerako (Nak, tolong ibu, berhentilah. Ingat neraka. Neraka).” Sang ibu, Nuriah namanya, meminta Thoyib bertobat. Menjelang magrib, suara itu masih mengiang di telinga.

Dia pergi ke tepi sungai Ogan. Dia mengambil sebuah batu koral sebesar kelereng, lalu melemparnya ke permukaan air sungai. Sebelum melempar batu, dia bersumpah. “Jika batu ini mengapung aku tetap menjadi bandit. Apabila tenggelam aku akan berhenti menjadi bandit. Bila aku melanggarnya, berarti aku keluar dari Islam. Tetapi, kalau berkelahi untuk membela diri atau teman, kalau terpaksa, aku harus melawan.”

Batu koral itu tenggelam.

Thoyib menepati nazarnya. Dia berhenti jadi bandit. Itu tahun 1979.

Hidup dengan prinsip baru bukan hal gampang. Pemasukan tak ada. Godaan untuk merampok selalu datang. Untuk menghindari godaan itu, dia nekad pergi ke sebuah sawmill atau pabrik pemotongan kayu.

Di sepanjang sungai Ogan terdapat 20 pabrik pemotongan kayu. Pabrik-pabrik itu punya masalah. Para pemiliknya sering mengeluh soal kayu mereka yang hilang dicuri.

“Aku menawari jasa menjadi keamanan pabrik mereka. Mereka setuju,” kisah Thoyib.

Setiap bulan Thoyib menerima gaji. “Itulah gaji halal pertamaku.”

Para pemilik pabrik puas dengan kerja Thoyib. Pencurian kayu berkurang. “Saya mengajak semua kawan yang diduga menjadi pencuri kayu sebagai tenaga keamanan sawmill.”

Nasib baik datang lagi. Seorang pengusaha angkutan kapal bernama Anang Yunus alias O An, mengajak Thoyib berbisnis. Dia menawari Thoyib mengelola pabrik, bukan sekadar penjaga tapi pemilik. Thoyib menerima tawaran tersebut. Keuntungan usaha dibagi dua, meski Anang Yunus pemilik modal.

Namun, kejayaan Thoyib sebagai pengusaha kayu habis pada 1983 menyusul operasi militer terhadap kayu ilegal, termasuk sawmill tak berizin. Mereka yang biasa memasok bahan baku kayu pada Thoyib putar haluan. Mereka memilih menjual bahan baku kepada perusahaan resmi.

Kebangkrutan Thoyib disusul musibah lain. Thoyib ditangkap dan di penjara selama sembilan hari. Penyebabnya?

Dalam mobil milik Thoyib ditemukan mayat. Salah seorang sahabat Toyib, bernama Atai, membunuh orang di mobil itu.

Selama setahun ekonomi keluarga Thoyib pas-pasan. “Saya sempat terpikir mau menjadi perompak lagi, tapi saya selalu teringat dengan sumpah itu.”

Suatu hari dia bertemu Ramli Sutanegara, pengurus Kesatuan Organisasi Serba Guna Gotong Royong atau Kosgoro.

“Awak bergabung bae dengan organisasi ini. Awak harus mengenal orang-orang penting, mana tahu nanti akan ada gawean buat awak,” kata Sutanegara kepada Thoyib sambil menuangkan bir ke gelasnya.

Saat itu Thoyib bertamu ke kantor Kosgoro di samping bioskop Sanggar, Jalan Rustam Effendy, Palembang.

“Kalau memang bagus buat aku, ya, aku bergabung. Tapi aku nih harus banyak belajar dari awak, aku belum pernah berorganisasi,” kata Thoyib pada Sutanegara.

Pada 1986, dua tahun setelah pertemuan dengan Sutanegara, Thoyib menjabat ketua Angkatan Muda Pembaruan Indonesia wilayah Kecamatan Seberang Ulu I Palembang. Pada 1993, dia juga menjadi ketua Pemuda Pancasila wilayah yang sama. Posisi Thoyib di organisasi makin cemerlang saat dia menjadi ketua Pemuda Pancasila Kota Palembang periode 1994-1999.

Selama gerakan antikebijakan pemerintahan Soeharto, massa dari organisasi tersebut jadi tameng status quo. Mereka menjadi pengaman dalam setiap aksi ke kantor pemerintah, memobilisasi massa saat kampanye pemilihan umum, atau meneror masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah.

“Tugas kami selain memobilisasi massa saat kampanye, juga mengamankan kantor pemerintah ketika ada unjuk rasa dan mengamankan lokasi yang menjadi sengketa antara masyarakat dengan pemerintah,” kata Ridwan, agen sayuran di pasar induk Jakabaring, anak buah Thoyib.

Saat kerusuhan Mei 1998 yang berujung jatuhnya Soeharto, para bandit menjadi salah satu pelaku utama penjarahan terhadap pertokoan dan rumah-rumah milik etnik Tionghoa. Mereka bersama warga lain merampas harta benda dan merusak pertokoan atau rumah orang Tionghoa. Bahkan, menurut informasi dari Tim Relawan Kemanusiaan di Palembang, terjadi pula pelecehan seksual terhadap perempuan-perempuan Tionghoa.

“Kami mengambil apa saja. Makanan, barang-barang elektronik. Ya, kami menimbun di rumah sebelum dijual,” kata Ridwan, bangga.

Di sisi lain, para bandit ini dapat uang juga dari orang-orang Tionghoa kaya. Mereka disewa untuk menjaga pertokoan dan rumah-rumah. Keuntungan ganda.


SENIN, 19 Februari 2001, Thoyib bersama anggota organisasi PMPB berunjuk rasa ke gedung Dewan Sumatra Selatan di Jalan Pekan Olahraga Mahasiswa IX Palembang. Massa sekitar 250 orang.

Thoyib menyebut aksinya untuk membendung aksi para provokator dari Jakarta dan Lampung yang datang ke Palembang. Provokator itu dikabarkan akan memicu konflik antar etnik dan agama di Palembang.

“Sebagai wong Palembang saya sangat khawatir. Saya tidak mau Palembang ini menjadi Ambon.”

Thoyib menilai konflik di Ambon adalah konflik antara “Islam” dengan “Kristen”, sedangkan di Lampung antara “penduduk asli” dan “pendatang” dari Jawa. Dia tak tahu kalau konflik di Ambon juga bernuansa etnik, yaitu antara “bangsa Alifuru” dan “pendatang” dengan label BBM; Bugis, Buton, Makassar.

Tetapi ada yang menganggap aksi Thoyib itu bertujuan melindungi kepentingan politik para anggota dewan. Saat itu mereka menjadi perhatian masyarakat dan sering jadi sasaran unjuk rasa mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat gara-gara dugaan korupsi dana bantuan sosial sebesar Rp 2,1 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Sumatra Selatan tahun 2000.

Februar Rachman dari Partai Demokrasi Banteng Kebangsaan, menilai PMPB sebagai organisasi bandit.

“Perilaku mereka kan tetap seperti bandit. Melakukan kekerasan,” kata Rachman.

Pertengahan Maret 2005, Thoyib dan Febuar Rachman nyaris berkelahi di Pasar Induk Jakabaring, Palembang.

Pagi itu Rachman ingin bertemu walikota Eddy Santana Putra yang akan membuka kegiatan pasar murah. Dia datang bersama sejumlah aktivis dan mahasiswa. Tiba-tiba para pedagang dan Februar Rachman mendapat serangan dari orang-orang Thoyib, yang jadi petugas keamanan pasar tersebut. Mereka mengatakan ada kabar Febuar Rachman bersama mahasiswa dan aktivis itu hendak merebut lahan kerja mereka.

“Apa kami gilo? Kami mau bertemu dengan walikota untuk membahas lokasi para pedagang kaki lima yang digusur di Pasar 16 Ilir. Termasuk janji keringanan pembelian kios. Bukan minta jatah,” kata Febuar Rachman.

Thoyib membela anak buahnya, “Kita bukan meneror atau mengancam. Kita justru berjaga-jaga agar kondisi aman dan lancar.”


RUANG tamu terletak di bagian bawah rumah panggung itu, dicat putih. Ada dua stel kursi tamu di sana. Kursi sofa dan kursi jati ukiran. Di dinding dan bufet terpajang potret Thoyib bersama antara lain, Eddy Santana Putra dan mantan gubernur Sumatra Selatan Ramli Hasan Basri.

Di dinding lain juga terpampang foto Thoyib dengan Ibnu Hartomo. “Dia kan adik Ibu Tien Soeharto. Kami bertemu di rumahnya di kawasan Condet, Jakarta, sekitar tahun 80-an awal,” kata Thoyib. “Saya ke rumahnya untuk mengurusi perkebunan miliknya di Banyuasin yang bermasalah,” lanjutnya.

Thoyib kini berencana membangun sebuah pesantren di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, di atas lahan dua hektare. Pesantren ini akan diberi nama Al-Amanah. Untuk tujuan ini, Thoyib bekerjasama dengan Ali Singo, yang juga mantan bandit. ***



Sejarah Banding Palembang

BANDIT menurut kamus bahasa artinya penjahat, sedangkan banditisme adalah perilaku atau tindakan seperti bandit. Di Palembang, bandit punya banyak sebutan. Ada yang menyebut “juaro” yang diperuntukan penjahat jago berkelahi, main perempuan, berjudi dan calak atau licik. Lalu, “tikus angin” buat menyebut bandit kampung atau bandit yang kejahatannya sebatas mencuri sandal jepit, sepatu, pakaian yang dijemur atau ayam.

Bandit yang melakukan kejahatan besar di luar negeri seperti di Singapura, Malaysia, Hongkong atau Taiwan, disebut “duta” yang artinya utusan. Penyebutan duta ini merupakan penghalusan penyebutan para bandit yang beroperasi di luar negeri. Di mata keluarga dan kerabatnya, para duta ini dianggap pahlawan. Sebab hasil kejahatan mereka biasanya digunakan buat modal usaha keluarga atau dibagikan kepada kawan-kawan si duta yang tak mampu.

Daerah yang paling banyak duta-nya adalah Kayuagung, sebuah kota sekitar 60 kilometer dari Palembang ke arah selatan. Sebelum berangkat biasanya keluarga si calon duta akan melakukan selamatan atau sedekah. Ritual tersebut berupa doa bersama agar si duta sukses dan selamat dalam menjalankan misinya.

Menariknya sebagian duta ini hanya satu kali melakukan kejahatan. Mereka melakukan kejahatan itu guna mencari modal buat usaha, atau langkah terakhir untuk mengatasi kemiskinan. Tidak ada duta yang gagal saat pulang ke kampungnya. Mereka yang gagal tak pulang. Lebih baik mereka memilih mati di jalanan.

Bagaimana menebak seseorang itu bandit atau bukan di Palembang? Meski tak pasti benar, saya mencatat ciri-ciri seorang bandit. Misalnya di tubuhnya ada tato.

Tato yang dibuat bukan pula mengedepankan unsur keindahan, melainkan sebagai tanda bae. Umumnya dibuat dengan alat tradisional, jarum dan tinta, sehingga bentuknya tak begitu jelas atau tak beraturan tebal-tipis tintanya. Motif tato pun hanya sebatas nama, hati perlambang cinta, senjata, ular, atau harimau. Tato-tato itu biasanya dibuat di lengan, bahu dan dada. Sejumlah bandit mengatakan pembuatan tato itu dilakukan oleh kawan mereka di penjara atau di kampung.

Pada era 70-an dan 80-an, para bandit di Palembang umumnya berambut panjang. Mengenakan blue jeans ketat dan jaket kulit. Sesekali mengenakan t-shirt yang kedua lengannya dipotong. Cincin dengan batu besar dan akar bahar menghiasi jari tangan. Di leher melingkar kalung emas.

Ada dua tipe tubuh bandit di masa itu, kerempeng dan kekar. Yang kerempeng umumnya mengonsumsi ganja, sedangkan yang kekar senangnya menegak bir atau anggur.

Ciri lainnya, dari pinggang mereka tersembul ujung belati.

Pada era 90-an hingga saat ini, ciri-ciri itu mulai pudar, dan hanya dapat dilihat pada bandit-bandit kampung. Bandit-bandit gaul, penampilannya sudah trendi. Berambut pendek, mengenakan kemeja atau celana jins yang disetrika.

Yang jadi tanda khusus biasanya kelopak mata. Cenderung lembam, seperti orang yang sudah beberapa hari tidak tidur. Jika memandang seseorang, lama dan tak berkedip. Bila menghadiri suatu acara—misalnya menjadi pengaman—mengambil posisi duduk atau berdiri agak ke sudut. Banyak mengenakan kacamata hitam. Jarang bicara.

Bila di tempat karaoke, mereka umumnya menyanyi dengan suara dibesarkan. Lagu-lagu yang dipilih umumnya berirama melayu atau dangdut. Lagu pop yang banyak digemari adalah lagu-lagu yang dipopulerkan Broery Pesolima atau Broery Marantika seperti lagu Jangan Ada Dusta di Antara Kita dan Karisma Cinta atau lagu-lagu milik Panbers dan Mercys. Terakhir, rokok yang mereka hisap umumnya rokok kretek.

Khusus bandit duta, yang baru pulang ke Kayuagung, akan mengenakan sepatu putih, celana berwarna putih serta kemeja putih.

Di mana kita dapat menemukan bandit-bandit kampung? Paling banyak di Lorong Budi. Ini kampung bandit. Hampir setiap rumah di kampung itu dihuni bandit. Pencopet. Penodong. Dari sini banyak bandit mengorbit jadi perampok rumah, perompak kapal, juga juragan bisnis seks.

Di Lorong Budi, tidak sedikit sebuah keluarga dari kakek, bapak hingga cucu adalah bandit. Banyak kaum perempuannya, baik yang bekerja maupun tidak, senang bermain judi kartu domino. Hari-hari kaum pria, dari bapak hingga ke anak-anak, menenggak anggur. Sebagian besar dari mereka tak tamat sekolah dasar.

Meskipun sebagian besar warganya bandit, kampung itu cukup aman, kecuali ada penyerangan dari kampung lain.

Kurun 1960 – 1970, peperangan antarkampung merupakan hal biasa. Kaum remaja yang sering berperang biasanya membentuk geng atau kelompok. Hidup geng bersandar dari uang hasil mencopet, menodong, mencuri atau memeras para pedagang di pasar. Bila ada anggota geng dari keluarga mampu umumnya “memeras” atau mencuri uang dan perhiasan milik orangtuanya.

Penampilan anggota geng-geng kampung ini tergantung dengan grup atau penyanyi yang mereka kagumi. Ada yang berpenampilan seperti anggota The Beatles, Rolling Stones, Deep Purple atau Rhoma Irama.

Selain Lorong Budi, kantong-kantong bandit di Palembang adalah Kampung Lawang Kidul yang lebih dikenal Boom Baru—karena di kampung Lawang Kidul terdapat pelabuhan yang bernama Boom Baru—Kampung 13 Ilir, Kampung 14 Ilir, Kampung 10 Ilir, Kampung Kuto Batu, Kampung Sekojo, Kampung Tanggabuntung, Kampung Suro, Kampung Sei Batang, serta kampung Dwikora.

Semuanya masuk kawasan Palembang Ilir. Pada Palembang Ulu? Banyak juga, antara lain Kampung Kertapati, Kampung Sungki, Kampung Tembok Batu, Kampung 7 Ulu, Kampung 5 Ulu.

Ulu dan Ilir adalah identitas topografi Palembang. Kota ini memang dibelah sungai Musi, sehingga muncul dua kawasan: Palembang Ulu dan Palembang Ilir. Tak di Ulu atau Ilir, setiap bandit di Palembang selalu membawa senjata tajam, selain senjata api. Senjata tajam bisa belati, pedang atau pisau garfu. Belati umumnya dibawa bandit yang menjaga keamanan di pasar, pertokoan, terminal, atau yang menjadi penodong atau pencopet.

Belati senjata favorit. Juga bagi warga kebanyakan. Cara membawa senjata ini dimasukan ke sarung dari kulit atau kertas tebal yang dilipat kemudian diselipkan di pinggang.

Pedang dibawa para bandit yang lebih mapan. Pedang biasanya disimpan di kendaraan mereka. Pisau garpu dibawa bandit-bandit kampung. Senjata ini juga diselipkan di pinggang atau di dalam kaos kaki yang dikenakan. Pisau garpu terbuat dari garpu yang ujungnya diasah hingga menjadi tajam.

Kantong-kantong bandit kini sudah berkurang menyusul kebakaran lima kampung di Palembang, yakni 22 Ilir, 24 Ilir, 26 Ilir, 27 Ilir, pada Agustus 1982. Lorong Budi bahkan rata dengan tanah. Warganya mengungsi ke berbagai daerah.

Komunitas bandit juga berkurang ketika “skandal petrus” meletus. Petrus akronim penembak misterius. ”... Petrus itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang yang suka mengganggu ketentraman masyarakat,” kata Soeharto, bekas diktator Indonesia, dalam buku biografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.

Para bandit yang selamat dari Petrus dan memilih berhenti merampok tersebar di berbagai daerah. Kelompok Ibrahim Kepala 12 di Plaju. Kelompok Atai di Boom Baru. Kelompok Juki di Kertapati. Kelompok Thoyib, juga dari Kertapati, dapat dibilang paling bersinar di Sumatra Selatan.

Sejarawan lokal Djohan Hanafiah mengatakan, masyarakat Palembang harus hati-hati dengan aksi kekerasan yang dilakukan para bandit yang terorganisasi saat ini. ”Bandit-banditnya sudah pintar. Mereka sudah tahu cara berbisnis dan berpolitik. Hati-hati dengan aksi kekerasan yang mereka lakukan. Sejarah mencatat kekacauan akibat perubahan politik selalu memberi peluang aksi kekerasan para bandit.”

Kata-kata Hanafiah mungkin bisa dilacak kebenarannya pada proses pemilihan walikota Palembang dan gubernur Sumatra Selatan. Massa Paguyuban Masyarakat Palembang Bersatu ikut “mengamankan” acara pemilihan. ***

3 comments:

mimie said...

terima kasih untuk ulasannya, Palembang tetap kota yang menarik untuk saya

mimie said...

Sekilas mungkin orang akan was-was berkunjung ke Palembang, tapi saya senang karena saya jadi tahu history yang selama ini tersembunyi.

mikoalonso said...

3 Juni 2009, di UIN Sunan gunung Djati Bandung. Lembaga Pers Mahasiswa Suaka mengadakan acara bedah buku "bahasa media" yang di tulis oleh Asep syamsul Romli.

disana saya menyimak pemaparan beliau. juga teman teman kami sesama anggota Suaka.

kemudian dengan di sengaja atau tidak Kang Romel (panggilan akrabnya) menyebutkan kalo Suaka itu jangan hanya memberitakan yang jeleknya aja, gak salah kalo media membela si pemilik modal (kampus UIN SGD).

disitu saya kaget benar. apakah iya Pers Mahasiswa Suaka yang saya geluti ini harus rela berlutut atas nama birokrat kampus. apa benar kami harus membela kampus.

kalo seperti itu saya teringat oleh salah satu prinsip jurnallisme itu kan untuk warga negara, berpihak pada rakyat.

mohon tanggapan anda mas andreas.

silahkan kirim ke suakaonline.wordpress.com atau suakanews@gmail.com

terima kasih sebelumnya.

wassalam.
miko alonso Pemimpin Umum LPM SUAKA