Friday, February 12, 2021

Perayaan Imlek dan demokrasi di Indonesia

Selamat rayakan Imlek dan berlibur
. Semoga libur tiga hari ini mengisi kembali energi buat bekerja, berpikir, dan berjuang minggu depan. 

Saya punya pengalaman pribadi soal Imlek. 

Saya kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 1965. Pada 1968, rezim Soeharto melarang “budaya Cina” termasuk Imlek, buntut dari pemutusan hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada 1965. Namun pada 1970, papa saya masih jadi ketua perayaan Imlek di Jember. Panitia bikin barongsai dan naga, ramai sekali waktu diperagakan di jalan raya kota. Saya masih ingat ribuan orang menyemut di jalan raya. Semua bergembira, tanpa pandang suku, agama, gender, orientasi seksual dan lainnya. 

Ternyata ia adalah perayaan Imlek terakhir di Jember. Selama tiga puluh tahun, saya tak pernah melihat keramaian Imlek. Orang Tionghoa dirampas identitasnya: nama, agama, bahasa, kesenian dst. Nama saya diganti dari Ong Tjie Liang menjadi Andreas Harsono.

Perlahan saya skeptis terhadap semua hari raya. Idul Fitri. Natal. Tahun Baru. Bahkan hari ulang tahun saya sendiri. Saya suka menyendiri ketika orang gembira. Rasanya lebih tenang naik gunung atau pergi jauh. Jayapura. Phnom Penh. London

Presiden Soeharto mundur Mei 1998. Keadaan berubah di Indonesia. Saya sendiri berangkat ke Amerika Serikat. 


Hari Imlek, 5 Februari 2000, jatuh pada hari Sabtu. Hari itu tak ada kuliah di kampus Harvard, tempat saya belajar di Cambridge. Saya pergi mengajak Norman, anak saya, makan bubur ayam di Chinatown, Boston. Kami naik kereta api Cambridge-Boston. Norman masih umur tiga tahun. Dia suka sekali makan bubur ayam. Selesai makan, kami tak sengaja lihat tarian barongsai, persis di perempatan jalan dekat warung bubur. Ramai. Bunyi drum. Mercon. Angpao. Ia tak sebesar perayaan di Jember. Tapi ingatan masa kecil muncul kembali. 

Saya ingat tiang listrik, peninggalan Belanda, dimana saya berdiri buat lihat naga di Jember. Saya terharu dan merasakan betapa kebebasan berekspresi sangat berharga. 

Kini sudah dua dekade sejak Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000 mencabut larangan 1968. Imlek dirayakan dengan terbuka. Ia kini menjadi hari raya yang biasa. 

Namun saya sadar orang Syiah sulit merayakan Asyura. Orang Ahmadiyah sulit bikin jalsah. Banyak agama lokal sulit rayakan hari-hari besar mereka. Komunitas LGBT tak berani merayakan International Day Against Homophobia setiap 17 Mei. 

Jangan tanya soal tanggal 1 Desember buat orang Papua. Bisa masuk penjara hanya karena merayakan hari deklarasi kemerdekaan Papua Barat pada 1961. Presiden Wahid memutuskan orang Papua boleh kibarkan bendera Bintang Kejora, sayangnya, keputusan tersebut tidak didukung militer dan birokrasi Indonesia.

Saya tetap kurang suka dengan perayaan apapun. Mungkin saya pernah kecewa dan tak mau merasa memiliki Imlek. Mungkin saya malu pada minoritas yang belum bebas merayakan hari besar mereka: Ahmadiyah, Syiah, Sunda Wiwitan, Kejawen, Dayak, dan minoritas lain maupun individu LGBT. Saya sering bantu orang Papua yang masuk penjara hanya gara-gara urusan bendera. Atau orang Ambon yang secara damai merayakan 25 April 1950 buat Republik Maluku Selatan. Saya ingin semua orang di Indonesia bisa merayakan hari besar masing-masing, tanpa rasa takut, tanpa kuatir ditangkap polisi. 


Hari ini Sapariah
, isteri saya, bersikeras goreng kwetiau, beli jeruk, kukus roti, serta dodol Cina. Saya usul pesan mie ayam lewat delivery online. Toh kami sekeluarga work from home, tak ada tamu. Ini masa wabah. 

Sapariah bilang Imlek harus masak sendiri. Norman, kini sudah wartawan dan tinggal di rumah sendiri, datang buat makan malam dan menginap. Sapariah masak kwetiau buat seluruh karyawan di apartemen kami (hampir 30 orang). Sapariah orang Madura asal Pontianak. Dia lebih repot dari suaminya merayakan Imlek. Norman juga bergurau minta angpao. 

Mungkin ini hikmah dari pernikahan, saling memberi, saling merayakan kebersamaan, dan bersyukur akan kemajuan demokrasi di Indonesia. Ia tentu belum sempurna. Sekali lagi selamat merayakan Imlek. Ini juga seharusnya hari buat mengingat sesama warga Indonesia, yang belum bebas merayakan hari besar mereka, sama dengan orang Tionghoa selama tiga dekade. Semoga semuanya banyak rezeki di tahun kerbau. 🐂 

No comments: