Friday, February 26, 2021

Perempuan Pemberani Bahas Kemerdekaan Memilih Busana

Mereka Mendesak Sekolah Negeri agar Mengikuti Aturan Baru yang Menjadikan Jilbab Sukarela


Spanduk gerbang SMPN2 Solok degan gambar kepala sekolah berjilbab panjang, tersenyum, dan bertuliskan “Selamat Datang di SMPN 2 Kota Solok. Kawasan Wajib Berbusana Muslim untuk Kota Solok Serambi Madinah,” Agustus 2018.  ©2018 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Andreas Harsono

Pekan ini saya memandu sebuah diskusi bersama tujuh perempuan pemberani –seorang guru, seorang pengacara, seorang ombudsman, dua psikolog, dan dua aktivis. Mereka mengadakan pertemuan pers guna mendukung Surat Keputusan Bersama, yang memungkinkan siswi dan guru perempuan untuk memilih apakah akan mengenakan jilbab (istilah umum di Indonesia untuk kain buat menutupi kepala, leher, dan dada) di sekolah negeri. SKB tersebut memerintahkan semua pemerintah daerah dan kepala sekolah untuk mencabut peraturan wajib jilbab di hampir 300.000 sekolah negeri di Indonesia.

Ifa Hanifah Misbach, seorang psikolog di Bandung, bercerita soal para pasiennya yang mengalami “body dysmorphic disorder” alias gangguan jiwa gara-gara mengalami perundungan terus-menerus agar memakai jilbab. Dua orang sudah lakukan upaya bunuh diri. Tekanan sosial itu mengingatkan Ifa pada pengalamannya sendiri, karena menerima pertanyaan tiada henti tentang apakah dia seorang Muslimat yang saleh karena memilih untuk tak memakai penutup kepala.

Meski mayoritas beragama Islam, di Indonesia juga ada banyak pemeluk agama lain termasuk yang tidak diakui pemerintah. “SKB 3 menteri ini jadi jawaban penting, memastikan kehidupan beragama tidak lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini jawaban yang sudah ditunggu-tunggu,” kata Alissa Wahid, psikolog keluarga di Yogyakarta. “Ketika merasa ajaran saya paling benar, dan di luar harus dibedakan. Kami mayoritas, maka muncul diskriminasi.”

Kepala Perwakilan Ombudsman Sumatera Barat Yefri Heriani bicara soal sewenang-wenangnya peraturan wajib jilbab di Sumatra Barat. Pengacara Dian Kartika Sari menuntut agar pemerintah daerah mematuhi aturan baru dan mencabut berbagai peraturan yang “inkonstitusional”. Budhis Utami dari Kapal Perempuan, sebuah kelompok pejuang hak-hak perempuan, bicara soal petisi daring mereka yang ditandatangani oleh 184 kelompok yang meminta pemerintah Indonesia untuk menegakkan aturan baru tersebut.

Dwi Rubiyanti Kholifah dari Asian Muslim Action Network bicara tentang tuduhan tak berdasar dari kalangan konservatif bahwa mereka adalah Islamofobia ketika membela perempuan untuk memilih pakaian, tanpa formalisasi busana. “Bagi yang masih menolak, kembali untuk membaca isi dari SKB 3 Menteri,” katanya. “Banyak tafsir dengan salah.” Henny Supolo Sitepu, seorang guru, berbicara tentang perlunya sekolah-sekolah negeri mempromosikan keragaman agama dan menghentikan diskriminasi.

Momen paling pedih tampaknya tiba saat Ifa membacakan sebuah puisi berjudul “Tuhan, Aku Bertanya Pada-Mu,” tentang tiga dekade menghadapi tekanan sosial:  “Tuhan, aku mau jujur pada-Mu. Aku tidak sanggup pakai jilbab. Hatiku memberontak gelisah ketika dipaksa dan ditakuti masuk neraka. Aku tidak mau membohongi-Mu. Aku bisa gila hidup menjadi orang munafik mencari rasa aman tapi membohongi Engkau.”

Beberapa orang menangis selama pembacaan puisi dan percakapan tersebut.

Ketujuh perempuan itu dengan tegas menyampaikan dampak dari aturan wajib jilbab. Pemerintah daerah dan para kepala sekolah seharusnya melindungi hak perempuan dan anak perempuan, serta segera dan sepenuhnya mematuhi SKB baru tersebut.

No comments: