Friday, February 10, 2006

Jati Kulidawa

Oleh Indarwati Aminuddin

Indarwati Aminuddin bekerja untuk WWF-Indonesia di Kendari, mantan direktur program Yayasan Pantau, pernah bekerja untuk harian Kendari Pos dan Kendari Ekspres. Liputan ini disponsori Unesco Jakarta.


SEBAIKNYA Anda tidak datang ke Muna saat musim hujan. Sering banjir. Got-got di sepanjang jalan diluberi air keruh bercampur macam-macam sampah. Kadang saya melihat beberapa bangkai tikus hanyut. Lumpur memenuhi permukaan jalan yang bolong-bolong di banyak tempat.

Muna adalah sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara, dengan luas wilayah sekira 488 ribu hektar atau setara 4,9 ribu kilometer persegi.

Tak sulit mencapai Muna. Hanya perlu tiga jam perjalanan kapal dari Kendari, ibukota provinsi Sulawesi Tenggara. Pusat kota, yang dikenal sebagai ”Kawasan Ahmad Yani,” berada sekira satu kilometer dari pelabuhan yang berdermaga kecil dan hanya ramai saat kapal berlabuh selama 20 menit.

Keramaian, terutama berasal dari suara pedagang, segera sirna ditelan suara stoom panjang KM Sagori, salah satu kapal yang melayani rute antarkabupaten. Pelabuhan kembali sepi. Kapal akan tiba pagi dan siang esok harinya.

Muna daerah tenang. Penduduknya hanya sekira 298 ribu jiwa, dengan tingkat kemiskinan 50,9 persen. Mereka tersebar di 29 kecamatan. Penduduk terbanyak menempati Kecamatan Katobu.

Warga Muna kebanyakan petani. Tak semua dari mereka punya lahan. Banyak di antaranya hanya jadi petani penggarap. Atau memasuki kawasan hutan gundul, eks lahan tebangan jati. Kayu rimba dan jati adalah salah satu sektor penyumbang pendapatan terbesar Muna.


DI HUTAN Muna, jati tumbuh sempurna di lahan-lahan berkapur. Di sana sekurang-kurangnya tersimpan kayu jati logs sebesar 8,6 ribu meter per kubik pada 2001, dan setahun kemudian meningkat jadi 12,2 ribu, lalu 5,9 ribu pada 2003, dan 21,1 ribu meter per kubik pada 2004.

Balai Penelitian Kehutanan Sulawesi di Makassar menyebutkan kayu jati Muna memiliki empat keunggulan, yang meliputi kekuatan, kerapatan, kekerasan, serta fisik kimia. Pendeknya, kayu jati Muna sebanding dengan pohon-pohon jati yang tumbuh di Cepu, Jawa Tengah.

Perbedaan kayu jati Muna dari jati Cepu hanya segi warna. Jati Muna lebih gelap. Suhendro A Basori dari Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara mengatakan bahwa jati Muna bertekstur serat indah dan batang yang lurus. Pemerintah Muna mengklaim daerahnya sebagai penghasil jati terbaik di Indonesia.

Mahfud dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan pernah membuat laporan yang menerangkan bahwa di Indonesia, jati Jawa-lah yang disebut sebagai “jati asli”.

Status “asli” itu diperoleh setelah penelitian melalui teknik deoksiribonuklead acid (DNA) menggunakan sistem enzim pada 1994. Jati Jawa berasal dari proses adaptasi dengan iklim dan berkembang dari zaman quarternary dan pleistocene di Asia Tenggara. Persebaran jati meliputi sebagian besar India, Myanmar, Laos, Kamboja, bagian barat Thailand, dan Indo China.

Jati juga dikembangkan di Afrika, New Zealand, Australia, Kepulauan Fiji, Taiwan, Kepulauan Pasifik, dan benua Amerika. Di Indonesia, jati tersebar di sebagian pulau Jawa, pulau Kangean, Sumba, Bali dan Muna.

Jati di Muna biasa disebut kulidawa. Artinya, jati yang asalnya dari Jawa. Bisa juga berarti jati yang ditanam oleh kuli-kuli dari Jawa saat Belanda melakukan eksploitasi di Muna. Tapi orang Muna dengan bangga menyebut jati mereka sebagai jati Muna.

Warga Muna bangga pada jatinya. Tapi kebanggaan itu tampaknya sedang diambang masalah. Pemerintah setempat, di bawah kepemimpinan Bupati Ridwan, terus menebang, mengeksploitasinya, dengan dalih untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi kenapa protes dari masyarakat justru makin kencang? Benarkah eksploitasi itu untuk PAD atau kepentingan segelintir pihak?


RIDWAN bupati kesebelas di Muna. Dia tipe pria yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ketika tak suka, Ridwan akan bicara blak-blakan. Dia lahir pada 1957. Pada Juli 2004, Ridwan menjadi bupati untuk kedua kali melalui pemilihan bupati secara langsung di Muna. Dia dari Partai Golongan Karya.

Sebelum terjun ke dunia politik dia menjadi pengusaha jasa konstruksi dengan bendera PT Rapesa. Dalam buku statistik Dinas Kehutanan provinsi Sulawesi Tenggara, perusahaan ini terdaftar sebagai calon pengelola hasil hutan seluas 8.000 hektar di wilayah Lagundi, Bonegunu, kabupaten Muna.

Perusahaan Ridwan ini juga menjadi satu-satunya pemegang izin taksi dan pom bensin yang hanya satu-satunya di Muna. Saat jadi bupati, jabatan direktur PT Rapesa diserahkan ke anggota keluarga dekatnya.

Ridwan suka mengenakan mantel panjang dengan topi. Dalam acara semiformal, Ridwan akan mengenakan jins dan kemeja lengan pendek yang lengannya digulung. Ada hari-hari tertentu dia bisa ditemui di kediamannya, misalkan saat bermain kartu atau bulutangkis.

Ridwan termasuk tipe optimistik. Dia mengatakan telah berhasil membangun Muna dari tidur panjangnya. Di kota kecil itu kini telah berjejer lampu jalan, meski sebagian besar tak berfungsi, dan sarana olahraga yang –menurut La Kusa, juru bicara plus karyawan hubungan masyarakat pemerintah Muna– memakan biaya Rp 55 milyar. Ironisnya, tak banyak atlet yang dibina di sini.

Riwan juga punya keyakinan bahwa pada 2006, semua jalan raya yang rusak berat hari ini –dengan ketebalan aspal tak lebih dari lima centimeter– akan mulus dengan alokasi anggaran mencapai 70 persen. Mungkin karena keyakinan itu, Ridwan, atas persetujuan sebagian besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), diperbolehkan membeli jeep hummer senilai Rp 1,9 milyar sebagai kendaraan dinasnya.

Ambisi Ridwan tak hanya sampai itu. Dia juga akan menata pantai di Raha dengan hotel-hotel dan restoran yang melibatkan investor Tomy Winata dari Artha Graha. Pada Fitri Azhari, wartawan Kendari Pos, Ridwan mengatakan telah mendekati Tomy Winata.

Winata akan menjadi pengelola sekaligus pemilik saham. Tugas Ridwan adalah mengggiring Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mencicil tanpa bunga semua biaya yang akan dikeluarkan Winata. “Kita akan bayar selama lima tahun,” kata Ridwan. Sejauh ini, Ridwan baru memanggil konsultan Winata untuk mengetahui perencanaan pembangunan dan nilai investasinya.

Ridwan juga telah membebaskan keharusan membayar bagi warga di tiap Puskesmas dan membangun dermaga-dermaga rakyat di tiap wilayah kepulauan. Target besarnya menjadikan Raha sebagai kota otonomi yang layak dari sisi infrastruktur.

Ada banyak impian Ridwan yang sering mendapat ekspos media. Tapi semua ini tak bisa menghapus isu laten yang melekat dalam dirinya. Dia santer diisukan melakukan korupsi atas hasil hutan, terutama kayu jati.

Detik-detik menjelang pelantikannya sebagai bupati, Ridwan diprotes beberapa aktivis lingkungan SWAMI (Swadaya Masyarakat Indonesia). Mereka Ihlas Muhamad, Yusti, dan Muamar Kadhafi. Para pemrotes berdiri di tugu yang berhiaskan pucuk jati, membawa pamflet yang berisikan kalimat-kalimat seram: “Jangan pilih bupati perusak hutan dan korupsi”, “Awas waspadai bupati cabul”, dan “MOHOn jangan pilih”. Ridwan tersinggung. "Moho" adalah nama kecilnya.

“Satu-satunya kegagalan saya adalah tak bisa mengamankan hutan jati. Tak bisa mencegah kerusakannya,” kata Ridwan.

Kepada Aksah, wartawan Kendari Ekspres, Ridwan pernah mengatakan, meskipun tak bisa mengamankan hutan jati, tapi kerusakan tersebut setara dengan kas yang diterimanya. Ini jauh lebih baik dibanding pendahulu-pendahulunya: merusak hutan tanpa pemasukan kas yang setara.


KETIKA terpilih sebagai anggota DPRD Muna tahun 2004, janji Mahmud Muhamad jelas: menjaga lingkungan.

Mahmud pria dengan tubuh kecil dan tekanan suara yang tegas pada tiap kalimatnya. Dia terpilih dari dua pundi suara Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) tahun 2004. Ketika jadi anggota legislatif di Muna, Mahmud benar-benar berada pada titik impas finansial, kehilangan istri, dan secara ekonomi menyedihkan. Syukurnya, dia mewarisi sekitar 10 hektar lahan yang ditumbuhi jati di Desa Warambe dan Wakumoro dari kakeknya, La Ode Dika.

Kawasan itu dibuka tahun 1940-an waktu Mahmud baru berusia tujuh tahun dan berada dalam asuhan kakeknya. Dia sering melihat kakeknya berpidato dan mendengar kata ni motehi be mokado (mana yang harus ditakuti, mana yang tidak) saat warga berkumpul mendengar me tula-tula (pidato).

Kakek Mahmud suka berpidato di lahan jati. Dia berdiri atau duduk di hadapan banyak pengikutnya. Kata sang kakek, Muna tidak dikaruniai tanah yang gembur untuk tanaman jangka pendek. “Tapi di tanah ini, jati bisa tumbuh dengan sempurna. Batangnya lurus tanpa cacat dengan daun lebar. Getahnya merah.”

La Ode Dika adalah saksi penandatanganan kawasan tutupan hutan tahun 1928 dan 1933. Ketika itu, Belanda-pemerintahan Celebes-van Boeton dan Napabelano (Muna) sepakat untuk menjaga kawasan yang ditumbuhi jati itu. Perjanjian itu awalnya disebut kontrak kesepakatan, namun jarang dijadikan rujukan karena perubahan kebijakan dari pemerintah pusat ke provinsi lalu ke kabupaten terjadi sangat cepat sejak tahun 1960-an.

Tahun 2000-an, perjanjian itu praktis tak digunakan. Arsip berupa peta dan dokumen dalam bahasa Belanda hanya tersimpan di Dinas Kehutanan serta Balai Inventarisasi dan Pemetaan Wilayah Kendari. Terlebih sejak Undang-Undang Otonomi Daerah No 22 tahun 1999 diterapkan. Undang-undang inilah yang sering jadi acuan pengelolaan kewenangan secara penuh dan seringkali tidak melihat efek yang timbul.

Pada 16 November 2005, ketika berlangsung rapat pembacaan nota keuangan Bupati Ridwan, Mahmud kembali mempersoalkan acuan kewenangan tadi sambil mengkritik cara-cara pemerintah daerah Muna dalam meningkatkan PAD melalui hasil hutan. Saat rapat berikutnya per 21 November, yang dihadiri Wakil Bupati La Bunga Bakka, Mahmud memilih walk out dari ruang sidang.

Rapat-rapat berkenaan peningkatan PAD melalui eksploitasi jati sering berlangsung alot karena Ridwan bersikeras meningkatkan PAD dengan cara mengubah dan menaikkan APBD tahun 2005 menjadi Rp 290,3 milyar dari Rp 285,5 milyar. Ridwan optimis angka itu bisa tercapai. Hingga November 2005 saja, dana dari eksploitasi tunggak kayu yang bisa dilihat dari data belanja pengusaha-pengusaha kayu yang berbekal Izin Pengolahan Kayu Tanam Milik (IPKTM) telah mencapai Rp 10 milyar.

Kepada saya, Mahmud bilang persoalannya bukan pada perubahan PAD itu. Yang lebih esensial adalah peningkatan PAD dari hasil hutan itu sama halnya dengan menyedot isi hutan tanpa pertimbangan kelestarian.

Mahmud tahu, pengelolaan itu akan menghabisi hutan jati Muna. Saat ini saja habisnya jati telah mencapai 90 persen di kawasan hutan produksi terbatas, yang luasnya 11.643 hektar dan hutan produksi biasa 39.685 hektar. Kata Mahmud, penebangan terjadi sangat cepat, di tiap kawasan tanpa bisa distop dan tak ada pelaku, termasuk di hutan lindung.

Menurut catatan Sida, kepala seksi perencanaan karya Dinas Kehutanan Muna, registrasi terakhir dilakukan dua tahun lalu dan menunjukkan semua jati yang berasal dari usia tanam 1911-1968 di lahan seluas 16,9 ribu mengalami penyusutan.

Jati reboisasi, yang ditanam 1969-1992-1993, di lahan seluas 5,4 ribu hektar juga sama memprihatinkannya. Menyusul jati di hutan tanaman industri yang ditanam pada tahun 1989-1990-2002. “Ya tinggal sedikit,” katanya.


SEJARAH jati Muna dimulai pada 1913 ketika jati mulai dieksploitasi pemerintah swapraja Muna. Belanda dan kongsi dagangnya menguasai eksploitasi itu. La Ode Dika, kakek Mahmud, pernah menolak keras eksploitasi oleh negara.

Dika sempat dipenjara karena menebang jati di kawasan yang diolahnya, Wakumoro. Dika menebang jati untuk membantu banyak warga yang tak punya lahan, sangat berbeda dari yang dilakukan sebagian pejabat.

Dika meninggal pada 1982-an. Semangat untuk memuliakan jati Muna tak menurun kepada anak-anaknya, termasuk yang jadi pejabat di Muna dan Sulawesi Tenggara. La Ode Rasjid, anak Dika, tak bisa berbuat banyak untuk mengatur eksploitasi jati saat jadi bupati ke-4 di Muna. Dia memang tidak mengeluarkan peraturan apapun yang terkait dengan pengelolaan jati. Namun, dia tak bisa berbuat banyak karena peraturan pengelolaan kayu justru keluar dari pusat atau provinsi.

Anak Dika yang lain, La Ode Kaimoeddin, saat jadi gubernur provinsi Sulawesi Tenggara malahan merestui PT Amboina mengelola tunggak jati di Muna. Tunggak jati adalah bagian bawah kayu jati yang tersisa setelah tebangan. Masalahnya, tidak hanya tunggak yang diambil, seringkali batang tengahnya ikut ditebang.

Kata Mahmud, ketika restu PT Amboina keluar, dia mencoba berbicara dari hati ke hati dengan Kaimoeddin, pamannya dan mengingatkan pesan kakek La Ode Dika untuk tetap menjaga hutan. “Tapi ya begitulah, kami ternyata berbeda pemahaman soal kayu ini,” katanya. Alhasil, eksploitasi tetap jalan.

Sejauh pengamatan Mahmud, kawasan jati telah habis dan kini hanya tersisa tunggak-tunggak kayu jati. Warga harus menunggu 30 tahun lagi untuk menikmati hasil jati. ”Itu pun kalau tidak dicuri secara sistematis dan yang dituduh adalah warga.” Pada saat pemerintahan Kaimoeddin berakhir, PT Amboina tidak hanya berhasil membeli tunggak jati tapi juga batang jati. “Praktik di lapangan berbeda, yang dikelola tidak hanya tunggak tapi juga batang-batang jati,” kata Wakil Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara, La Ode Sadikin.

PT Amboina merupakan perusahaan yang mengelola tunggak-tunggak jati di wilayah Raha dan Kendari. Perusahaan itu dikelola oleh Arsyad dan istrinya, Rosmini.

Rosmini perempuan parobaya, sederhana, dan mencetak tulisan direktis di kartu namanya. Secara tak sengaja saya bertemu dengannya saat mengunjungi lokasi pembuatan furnitur kayu jati di Kendari. Dia mengatakan masih mengingat ketika suratkabar menulis tentang perusahaan suaminya. “Tapi kami tidak apa-apa, karena kan ada izinnya,” katanya. “Apalagi yang kami kelola kan tunggaknya, bukan batangnya.” Batangnya ke mana?

“Mereka-mereka ji yang ambil itu, ya pemerintah,” katanya lagi.


SAYA mewawancari La Ode Ghogho, pria berusia 72 tahun yang hidup di hutan lindung Kontu. Tubuhnya kecil, padat, dan matanya masih awas.

Dia ingat, selepas militerisme Jepang di Indonesia dulu, dia dan rekan-rekannya diperintahkan oleh pemerintah Belanda yang berada di Raha untuk menanam jati di wilayah Kontu, yang meliputi empat kawasan yakni Kontu, Patupatu, Lasukara, dan Lawawesa.

Tiap pekerja mendapat upah Rp 500 untuk penanaman satu hektar. Upah separuhnya jika hanya menanam jati per setengah hektar. Jati ditanam dengan jarak per empat meter. Setiap pemilik kebun juga diharuskan menanam jati.

“Uhh pu sampai kini kita belum dibayar, “ kata Ghogho.

Dia berusia 20 tahun ketika itu dan menyaksikan eksploitasi terjadi atas tunggak-tunggak yang telah berusia 10-20 tahun. Pengambilalihan jati sebenarnya telah dilakukan saat jati-jati berusia empat tahun. Ketika itu, partikelir Belanda dan maskapai Vejahoma milik Hindia Belanda menguasai perusahaan pembeli kayu jati yang berada di pusat kota. “Perusahaanya dekat tugu, dan banyak mobil VW,” jelasnya. Maksudnya adalah mobil bermerek Volkswagon.

Ghogho melihat perebutan jati sejak kecil hingga masa tuanya. Dia sendiri tak punya lahan tapi memiliki 10 batang pohon jati. Perebutan itu terjadi turun-temurun, dari era maskapai partikelir Belanda tahun 1901-1904 hingga tahun 1967 ketika pemerintah Indonesia mengambil alih kewenangan pengelolaan dan mengeluarkan banyak peraturan terkait tentang pengelolaan, penebangan, pengumpulan, serta pembagian posisi keuangan dari eksploitasi jati.

Tahun 1986, ketika kewenangan pengelolaan sudah dipegang provinsi, Badan Otorita dilibatkan untuk mengelola kayu jati dari Muna ini. Tahun 1989, Perum Hutan Daerah (Perhutanda) dibentuk. Tugasnya menggantikan Badan Otorita. Tahun 1993, surat keputusan gubernur kembali keluar. Kali ini menegaskan peran Perhutanda untuk mengeksploitasi dan memasarkan kayu jati.

Pada tahun-tahun ini, pemerintah provinsi tak hanya diuntungkan oleh eksploitasi kayu jati, tapi juga hasil lelang dari kayu jati temuan dan sitaan. Kayu sitaan diperoleh dari hasil pembalakan liar dan penebangnya diketahui identitasnya. Kayu inilah yang akan dilelang. Uang hasil lelang masuk kas negara.

Sedangkan kayu temuan merupakan hasil pembalakan liar yang tidak diketahui siapa penebangnya karena sudah kabur dan menghilangkan jejak. Kayu ini kemudian diangkut ke tempat-tempat pengumpulan kayu (TPK) dan selanjutnya dijual oleh Perhutanda. Cara penjualan, ada yang dilelang dan ada yang dijual di bawah tangan. Cara yang terakhir itu merupakan penjualan langsung kepada kilang-kilang dan industri kayu jati yang beroperasi di Sulawesi Tenggara.

Tahun 2000-an keluar lagi peraturan, tiap pemilik kayu yang ingin menjual kayu harus memiliki Izin Pengelolaan Kayu Tanam Milik (IPKTM) yang ditandai dengan keluarnya tandatangan pejabat setingkat bupati atau wakil bupati. Beredar isu, tidak semua pemilik jati yang mengelola jati warisan mampu mengurus surat ini. Pertama birokrasi yang panjang. Pengajuan IPKTM harus melalui meja Dinas Kehutanan, pemerintah daerah Muna, panitia anggaran, kejaksaan, dan kepolisian. Diisukan, tiap meja biasanya meminta tip pengurusan.

Kesulitan pemilik kayu jati ini dilihat sebagai peluang oleh mereka yang punya hubungan dekat dengan pejabat. Mereka muncul sebagai “penghubung” pengurusan IPKTM. Bayarannya ditentukan seberapa banyak kayu yang akan dijual.

Tiap penghubung memperoleh Rp 100 ribu per kubik. Warga biasanya menjual hingga 20 kubik dengan harga beragam, Rp 400 ribu-600 ribu per kubik ke calo, dan dari calo menjadi Rp 1,7 juta hingga Rp 2 jutaan per kubik.

Tahun 2004-2005, pemilik IPKTM berjumlah 18 orang. Mereka memegang izin pengolahan di wilayah 1.524.245 hektar. Kata Ridwan, dirinya memang mendengar isu-isu itu, “tapi belum ada yang melaporkan”

Ketika Ridwan menjabat, dia mengambil peran penting dengan menggunakan Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah untuk mengambil alih pengelolaan kayu jati. Dia juga “memangkas” peraturan pembagian hasil 60 : 40 persen yang dibuat oleh pemerintah provinsi.

Persoalan ini menimbulkan polemik panjang antara Ridwan dan pemerintah provinsi. Pada tahun-tahun berikutnya, berbagai surat keputusan keluar, baik dari menteri keuangan, menteri kehutanan, jaksa agung, dan Kapolri. Intinya, mengatur lelang kayu temuan, sitaan, dan rampasan. Tidak ada yang bisa memastikan berapa uang yang masuk ke kas daerah.

Di luar dari eksploitasi tersebut, jati Muna juga diserang dengan pencurian kayu tanpa identitas. Kayu tertebang begitu saja, di hutan lindung ataupun di hutan produksi. Kayu temuan itu lalu diangkut ke kantor kejaksaan, pengadilan, atau kantor kehutanan. Bertumpuk, menunggu lelang. Tak ada pencuri yang bisa ketangkap. “Saya tak bisa cegah pencuri-pencuri itu,” kata La Ode Kardini, kepala Dinas Kehutanan Muna.


LA ODE Kardini lulusan sarjana ekonomi Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra). Dia pernah jadi camat di Kecamatan Tongkuno, suatu wilayah yang berjarak 50 kilometer dari ibukota kabupaten. Ini adalah wilayah yang menyumbang hampir 100 persen suara untuk Ridwan saat pemilihan bupati secara langsung. Kardini masuk dalam tim sukses Ridwan. Beberapa saat setelah Ridwan dilantik, Kardini jadi pejabat nomor satu di Dinas Kehutanan Muna.

Ironisnya, selama menjabat jadi camat Tongkuna, hutan jati Tongkuno malah habis. Kardini mengatakan pusing dengan pencurian hasil hutan, terutama jati. “Ini negara 'marcos'.. manre ongkoso (makan ongkos),” katanya. ”Lalu pemerintah provinsi itu, enak saja mereka minta pembagian hasil lelang, apa jasa merekakah? ”

Menurutnya, masalah yang ditimbulkan oleh habisnya jati-jati di Muna sangat banyak dan dijadikan masalah politis oleh sekelompok orang. Terlebih lagi, aparat keamanan tidak menunjukkan sikap jelas terhadap pelaku pencurian jati.

”Hari ini kami tangkap pelaku, bawa ke polisi, besok lepas. Kalau begini tiap hari, saya bisa stres,” katanya.

Dia mengatakan, kalau saja aparat keamanan benar-benar kompak mengatasi pembalakan liar, maka tak satu pun penjarah kayu bisa lolos. “Begini saja, kalau mau bantu perbaiki semua hutan ini, terutama jati, ya mari berperan sesuai tugas masing-masing. Jangan dibawa-bawa ke persoalan politik,” katanya. Kardini jengkel setelah dituding SWAMI sebagai “kepala dinas perusak hutan.”

Kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) –sejak MARA (Majelis Amanat Rakyat), SWAMI, hingga Jaringan Advokasi Jati Sulawesi Tenggara– menunjukkan adanya pemasukan dalam jumlah besar ke kas daerah pemerintah kabupaten Muna yang disebut rekening titipan, terhitung sejak 2002. Lembaga ini memperoleh data-data tersebut dari dokumen risalah lelang tahun 2002 dan 2003. Data ini juga diperoleh dari laporan pertanggungjawaban bupati Ridwan 2003.

Nilai uang yang laporkan Ridwan dalam laporan pertanggungjawaban itulah yang dipersoalkan kalangan LSM. Menurut mereka, laporan pertanggungjawaban itu sangat tidak masuk akal. Seharusnya dana yang diterima lebih besar berdasarkan kalkulasi harga dasar kayu jati dan volume kayu yang dilelang. Total selisih yang diperoleh dari dana hasil lelang kayu jati tersebut sebesar Rp 3,5 trilyun.

Selain dana lelang, pemerintah daerah Muna juga memperoleh keuntungan dari “uang letak”. Ini sejenis pungutan biaya yang dilakukan dalam tiap pelaksanaan lelang. Peraturan pembayaran uang letak tersebut bahkan diatur dalam surat keputusan bupati tentang penetapan harga dasar kayu dan biaya pengganti lelang kayu jati barang temuan dan atau hasil operasi gabungan tim pengaman hutan Muna.

Pada lelang-lelang tersebut, laporan pertanggungjawaban bupati hanya menunjuk angka Rp 767,92 juta. Ada dana sebesar Rp 775,37 juta yang dicurigai tidak dilaporkan oleh Ridwan.

Dana reboisasi lelang kayu jati juga tidak masuk dalam laporan pertanggungjawaban Ridwan. Besarnya Rp 1,67 trilyun, termasuk uang biaya pengganti lelang kayu jati Rp 4,10 milyar dan Iuran Hasil Hutan (IHH) sebesar Rp 537,23 milyar. Total dari dana hasil lelang, uang letak, dana reboisasi, uang biaya pengganti, dan dana provisi sumber daya hutan sebesar Rp 10,61 trilyun.

Saat Jaringan Advokasi Jati melaporkan kasus penyelewengan dana-dana ini, penegak hukum di Kendari dengan sigap melakukan penyidikan. Hasilnya, Ridwan tetap lenggang kangkung. Namun mantan kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Muna, Arief Aty Malefu, ketua panitia lelang, Simon Mahuri, dan bendahara lelang, La Ode Kudu, ketika itu dikenai hukuman penjara masing-masing 7-8 tahun. Ketiga nama ini mengatakan, “Hanya menjalankan keputusan dari pemerintah” –yang dimaksud adalah Ridwan.

“Ini yang aneh, padahal amar putusan hakim menyatakan perlu menghadirkan Ridwan untuk didengar kesaksiannya,” kata Hidayatullah, koordinasi Jaringan Advokasi Jati Sulawesi Tenggara.

La Kusa, sahabat sekaligus staf Ridwan yang menjabat kepala Hubungan Masyarakat kantor pemerintahan Muna, membela Ridwan. Dia mengatakan, Ridwan tak bisa dijadikan tersangka ataupun dinyatakan terlibat karena bukti-bukti tak mengarah ke Ridwan.

“Mereka tak bisa membuktikan saya bersalah. Badan Pemeriksa Keuangan saja tidak memperoleh bukti apapun dari tuduhan itu,” kata Ridwan. Menurutnya, tak ada satu pun kebijakan yang dia keluarkan merugikan daerah ini.

“Kalau misalnya eksploitasi kayu itu dikait-kaitkan dengan kebijakan saya, wah kebijakan yang mana?” tanyanya.

Kata Ridwan, bukan salah dia kalau pencurian tetap berlangsung di depan hidung banyak orang. Tugasnya sudah cukup. Dia telah mengeluarkan uang Rp 300 juta setahun untuk mengamankan hutan di Muna. Hasilnya? Tetap saja pencurian semakin banyak. Masak pohon sebesar tiga rentang tangan orang dewasa bisa rebah tanpa ketahuan?

“Jangan tanyakan ke saya! Pertanyaannya adalah apakah saya hanya mengurusi kayu jati? Lalu apa tugas aparat keamanan itu?” Ridwan sengit kepada saya dalam wawancara per telepon.

Persoalannya, mengapa lelang kayu curian tetap dilaksanakan?

La Ode Kardini, kepala Dinas Kehutanan, menjawab pertanyaan ini: “Lalu harus diapakan? Dibiarkan tergeletak begitu saja kayu-kayunya?”


ISMET Effendi, pria parobaya mantan ketua PDIP tahun 1991-1993 di Sulawesi Tenggara. Wajahnya kalem. Bapaknya, Idrus Effendi, adalah wakil gubernur pertama di Sulawesi Selatan-Tenggara.

Saya menemui Ismet di Tampo, di rumahnya yang kecil dan asri. Dia hidup sederhana dan hampir saban hari menerima warga yang datang mengadu. Ketika wawancara berlangsung, sekitar 20 warga sedang berkumpul. Mereka mengatakan telah memasuki hutan produksi dan berkebun di sana.

Ismet disegani tokoh politik dan dijadikan tokoh masyarakat di Muna. Pada tahun 1999, Ridwan datang menemui Ismet. Ridwan mengatakan, surat keputusannya menjadi bupati telah turun. “Mohon petunjuk, Pak,” kata Ridwan.

Di tahun pertama setelah Ridwan jadi bupati, hubungan keduanya cukup baik. Memasuki tahun selanjutnya, Ismet merasa Ridwan sudah melenceng. “Banyak peraturan yang aneh,” katanya. Peraturan aneh yang dimaksud Ismet antara lain berbagai kebijakan Ridwan yang menempatkan rekan-rekannya di posisi-posisi strategis, padahal mereka tidak paham tentang pekerjaannya. “Lihat saja, Dinas Kehutanan dipegang oleh orang nonkehutanan, jadinya begini.”

Pada tahun-tahun selanjutnya, Ismet yang dianggap “bapak-abang” oleh Ridwan mulai memprotes keras IPKTM yang dikeluarkan pemerintah dan legislatif. “Ini kan aneh, pemerintah dan anggota dewan legalkan kayu temuan,” ujarnya.

IPKTM itu, menurut Ismet, seperti menyulut lahirnya perusak-perusak jati. “Ada orang yang sengaja dibayar untuk menebang pohon. Lalu mereka pura-pura meninggalkan pohon itu dan selanjutnya disebut kayu temuan.” Katanya, dengan cara ini, warga bisa jadi memikul tuduhan perambah atau penebang.

Kata Ismet, dirinya pernah mendesak polisi, kejaksaan, anggota parlemen maupun pejabat di Muna untuk mengusut tuntas habisnya kayu-kayu jati di Muna, tapi tak ada hasil. “Capek juga.”

Dampak yang paling dashyat dari habisnya jati-jati itu adalah lahan kosong dan tekanan ekonomi. Perlawanan rakyat bukan tak mungkin akan kembali merebak, seperti pernah terjadi di wilayah Kontu pada 5 Desember 2005, yang berlangsung selama tujuh hari itu.

Kontu diperebutkan oleh pemerintah dan warga petani yang jumlahnya 1.130 keluarga. Versi pemerintah, kawasan ini merupakan kawasan hutan lindung, versi warga lahan ini merupakan tanah ulayat. Pertikaian di kawasan itu menyebabkan jatuhnya 30 korban dari kedua pihak. ■

Jakarta ©2005 - 2006

1 comment:

ali said...

saya adalah pemuda asli pulau muna yang kini telah berusia 22 tahun. kini melajutkan sekolah ke jenjang perkuliahaan di jogja.
begitu banyak cerita rakyat yang sangat mengagungkan pulau ini sampai di gelar dengan wite muna wite barakati (tanah muna tanah penuh berkah). salah satu produk unggulan dan menjadi kebanggaan pulau ini hanyalah jati. menurut cerita bahwa jati yang ada sekarang merupakan jati yang di tanam oleh nenel moyang orang muna dengan penuh siksaan alias kerja paksa oleh para penjajah. ibarat maling kundang, anak durhaka. muna tidak
memiliki potensial asset selain jati tapi justru memanfaatkan jati hanya untuk kepentingan golongan. sedari kecil saya masih sempat bermain di tengah hutan kontu untuk berburu burung dengan ketapel. pohon begitu rindang, hijau, asri dan sejuk. ketika pulang saat mengunjungi orang tua dan kebetulan libur lebaran pada oktober 2007, udara berbalik arah sebesar 360
derajat. suhunya sangat panas dan menyengat kulit. dulunyaasri, hutan itu kini menjadi terang, tandus dan tentunya panas. hutan kok panas ?

dari dulu sampai sekarang tidak ada
kebijakan yang pasti dari daerah untuk melindungi hutan di muna. semua orang di sibukan oleh prestise, kebanggan sebagai orang nomor wahid sehingga tidak heran banyak orang di pulau kecil ini berlomba menjadi politisi. siapa yang paling keras teriakan semakin banyak juga dapat bagian... jika hal ini terus terjadi maka muna menjadi salah satu penyumbang
kehancuran lingkungan yang akan meningkatkan pemanasan global. dengan adanya pemanasan global maka es di kutub utara dan selatan akan mencair dengan lambat lain namun pasti akan menyebabkan kenaikan air laut. maka perlahan-lahan muna akan tenggelam, hal ini tidak lepas dari ulah manusianya sendiri. pemimpin yang baik bagaikan gembala yang membawa gembalaannya ke padang hijau dan menjaganya dariterkaman binatang buas, menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. bukannya sebaliknya membawa "gembalaan" ke ladang hijau (jati) untuk kesejahteraan keluarga dan kelompok, teman-teman sejawatnya...