Monday, December 02, 2002

Hati Yang Luka


BAGAIMANA
rasanya menikah, hidup serumah dengan seorang lelaki, yang kelihatannya biasa-biasa saja, dan belakangan dituduh sebagai gembong teroris?

Mira Agustina mungkin punya jawabannya. Mira seorang perempuan muda, berusia 24 tahun. Ia santer disebut-sebut istri Omar al Faruq, orang Arab kemungkinan warga negara Kuwait. Menurut dinas rahasia Amerika Serikat, Central Intelligence Agency, al Faruq September lalu "mengaku" wakil al Qaeda di Asia Tenggara.

Al Faruq ditangkap 5 Juni lalu di terminal bus Bogor oleh petugas intelijen Indonesia. Enam mobil Toyota Kijang juga menggerebek rumahnya, di sebuah desa cantik di kaki Gunung Salak, dekat Bogor. Nama dan nomor teleponnya didapat dari buku catatan milik Abu Zubaydah, orang nomor ketiga al Qaeda, yang ditangkap pasukan Amerika di Afghanistan.

Al Faruq dilaporkan terlibat serangkaian pengeboman malam Natal 2000 yang menewaskan 16 orang, merencanakan pembunuhan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, serta bekerja sama dengan Jemaah Islamiyah –sebuah organisasi yang tak jelas bentuknya dan dikategorikan organ terorisme oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.

Tapi ceritanya tak sesederhana itu. Mira Agustina, anak pertama, lahir di Jakarta tapi besar di Cisalada, di kaki Gunung Salak itu. Ia tamat sekolah dasar di sana tapi putus sekolah ketika kelas satu SMP.

“Kurang biaya,” katanya.

Ia mencuci piring, juga membuat kue, untuk membantu keuangan keluarga.

Pada 1996 keadaan keuangan keluarganya membaik. Mira sekolah di sebuah pondok pesantren di Jepara. Tiga tahun yang menyenangkan karena ia punya banyak kenalan dari berbagai sudut Indonesia. Mira juga mulai memakai jilbab.

“Pulang ke Bogor paling dua kali setahun, saat libur panjang atau Lebaran,” katanya dalam suatu wawancara November lalu.

Saat liburan Juli 1999 ayahnya memperkenalkan Mira dengan Omar al Faruq. “Beberapa hari sebelum itu, bapak saya sudah memberitahu kalau ada yang akan menikah dengan saya. Saya shalat istiqarah minta petunjuk Allah. Apabila ini baik menurut Allah, berarti baik untuk saya. Saya sendiri merasakan kondisi yang tenang, bisa menerima, jadi saya terima.”

Pukul 9:00 mereka bertemu dan usai mahgrib menikah.

Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai “Mahmud bin Ahmad Assegaf” orang Arab kelahiran Ambon, orang tua sudah meninggal, tapi diadopsi keluarga Kuwait.

“Saya tegaskan berkali-kali pada wartawan, kalau nama suami saya Mahmud bin Ahmad Assegaf. Kalau Omar al Faruq, saya tidak kenal. Di kepolisian sendiri begitu. Jadi yang Omar al Faruq tetap saya coret, karena bukan suami saya,” kata Mira.

Mereka menikah dan mencari nafkah dengan berdagang macam-macam, dari kayu gaharu hingga pakaian. Mahmud berbahasa Indonesia dengan “logat Ambon.” Mahmud rajin sholat di masjid sebelah rumah, suka makan bakwan dan bakso, sering menelepon Kuwait lewat wartel, dengan bahasa Arab, dan ikut pondok mertua indah –rumah Cisalada itu yang milik orang tua Mira.

Perkawinan itu berbuah dengan dua gadis kecil. Tetangga-tetangga di Cisalada biasa memanggilnya “Pak Abu.” Orangnya ramah. 

Kalau berpapasan lebih dulu mengucapkan, “Assalamualaikum.”

Rachmat Wirawan, seorang pemuda setempat, ingat al Faruq pernah bicara pada sekelompok pemuda kampung, “Pemuda di sini kalau nongkrong pegang gitar, kalau di Afghanistan pegang senjata.”

Apakah Mahmud pernah pergi ke Afghanistan? Mira mengatakan tidak tahu.

Pada Februari 2000, mereka pergi ke Makassar selama sebulan. Tujuannya, menurut Mira, silaturahmi ke keluarga Mira. Haris Fadillah, almarhum ayah Mira, orang Bugis kelahiran Dabo Singkep, Riau, tapi punya sanak saudara di Makassar. Dari Makassar, pasangan ini melanjutkan perjalanan mereka ke Ambon.

Di sana Mira sempat diperkenalkan dengan “saudara-saudara” Mahmud walau Mira tak melihat mereka langsung. Dalam penafsiran ajaran Islam yang dianutnya, perempuan tak diharapkan berjabat tangan atau menemui tamu suaminya. Mira hanya mengantar minuman dekat tirai ruang depan. Mahmud mengambilkan untuk para tamu.

Sampai sini persoalan mulai rumit. Apakah Mahmud benar-benar kelahiran Ambon? 

Samad Pellu, seorang tokoh masyarakat Hitu, Ambon, mengatakan pada Antara, bahwa warga setempat tak mengenal Mahmud. “Kami warga Hitu, baik Hitulama maupun Hitumeseng keberatan atas pengakuan tersebut karena jelas kelahiran dan KTP Omar al Faruq tidak berasal dari sana.”

Badan Intelijen Nasional mengemukakan Omar al Faruq juga terlibat dalam kekerasan antaragama di Poso, Sulawesi Tengah. Muchyar Yara dari BIN mengatakan sosok al Faruq terlihat dalam rekaman video yang kemungkinan dipakai untuk penggalangan dana.

Dinas intelijen Amerika menyekap al Faruq, komunikasi minimal dan dipersulit tidur, sampai al Faruq mengatakan bahwa ia orang Kuwait yang dikirim al Qaeda ke Asia Tenggara. Al Faruq diperintahkan mengebom kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, Kuala Lumpur, Singapura, Manila, Phnom Penh, Bangkok, Taipei, dan Hanoi, sekitar 11 September lalu. Pengakuan itu, walau belum jernih kebenarannya, membuat Washington memerintahkan kedutaan-kedutaannya ditutup.

Majalah Time mengeluarkan laporan seminggu sesudahnya. Drama kehidupan Mira mulai masuk dalam babak yang tak terduga. Polisi Indonesia, Oktober lalu membenarkan laporan Time dan mengatakan sudah lakukan verifikasi dengan al Faruq –walau tempat dan prosedur pertemuan masih belum jelas benar. Mira pun mondar-mandir menghadapi pemeriksaan polisi, dikejar-kejar wartawan, berhubungan dengan pengacara, sampai tiga hari pertamanya tidak bisa makan serta sulit tidur.

“Saya bingung kadang-kadang soal berita. Di sini tetangga sudah pada ribut. Suami saya katanya punya istri tiga atau empat. Saya nggak bisa ngomong. Tetangga sebelah lihat di TV, katanya ada berita. Ada di SCTV, ada di RCTI, saya ketawa saja. Sudah lama nggak baca koran, nggak pernah nonton TV, sudah malas saya karena beritanya simpang siur.”

Ada juga fakta-fakta yang membingungkannya. Akte kenal lahir Mahmud ternyata buatan tahun lalu. Mira pernah tanya mengapa suaminya tak punya akte kelahiran atau ijasah sekolah? Mahmud mengatakan semuanya terbakar di Ambon. Mira juga menemukan paspor baru awal tahun ini dalam tas Mahmud walau Mahmud tak pernah cerita pernah mengajukan paspor di imigrasi Makassar (ditolak) maupun Jakarta Timur (diterima).

“Dia tidak pernah menceritakan masanya (lalu) sebelum menikah dengan saya. Jadi kalau sekarang ini saya dapat berita dari koran, saya kadang-kadang merasa, ‘Kok saya dibohongi?’ Itu saya rasakan juga. ‘Kok saya dibohongi?’ Tapi kadang-kadang saya balik tanya lagi, ‘Apakah itu betul semua?’ Itu saya juga tidak ngerti. Saya juga tidak tahu …. Kalau kayak begini ceritanya berarti tiga tahun hidup dengan saya, dia berbohong. Tiga tahun dia bohongi saya. Dia nggak suka sama saya nggak apa-apa, tapi anak-anak ini khan anak-anak dia?”

Dua gadis mungil itu, satu umur satu tahun dan kakaknya tiga tahun, hanya hilir mudik di ruang tamu, bicara dengan celat, kaki-kakinya montok, bikin ribut seluruh rumah. Si kakak menyanyi “Bintang Kecil” lalu ngeloyor pergi, dengan neneknya, membeli es lilin.

-- Andreas Harsono

No comments: