Friday, December 27, 2002

Menjawab Febry Arifmawan


Febry Arifmawan yang baik,

Terima kasih untuk emailnya. Saya merasa dihargai karena Pantau edisi Desember 2002 membuat Anda mendapatkan kepuasan secara intelektual. Jarang sekali saya mendapat kritik dari seorang pembaca yang membaca tuntas isi seluruh majalah. Saya juga tembuskan email ini kepada Chik Rini --kontributor yang menulis "Mamak, Amru, dan Bekas Kesatuannya"-- agar Chik Rini juga tahu bahwa karyanya dibaca orang.

Chik Rini kini hidup relatif dalam keterasingan karena komunitas intelektual di Banda Aceh relatif kecil. Kami sering surat-suratan dan kini kami lagi berusaha agar Chik Rini bisa mendapatkan kesempatan pergi ke luar Indonesia, entah untuk sekolah atau ikut program kewartawanan lainnya. Anda benar bahwa Pantau beruntung memiliki kontributor macam Chik Rini. Dia salah satu kontributor yang paling kuat kemampuannya untuk memaparkan narasi.

Soal sudut pandang militer, kami tak akan berhenti hanya dengan "Mamak, Amru, dan Bekas Kesatuannya." Pada edisi Februari 2003, kami akan menyuguhkan sebuah laporan yang tak kalah menariknya dengan laporan Chik Rini.

Ada seorang reporter muda yang tinggal selama tiga bulan bersama satu batalion tentara, sekitar 700-an orang, dan ikut beberapa kali operasi militer. Dia ikut digigit lintah, ikut makan ransum tentara, melihat interogasi, dan sebagainya. Laporan itu sejak November lalu masih kami garap editingnya. Saya benar-benar antusias menggarap naskah ini. Detailnya banyak sekali. Harus bolak-balik antara si reporter dan para editor di Jakarta.

Mengapa Pantau tak menurunkan laporan terorisme pada edisi Desember?

Laporan soal "terorisme" bisa Anda baca pada edisi Januari 2003 di mana Eriyanto dan Agus Sudibyo menuliskan laporan panjang soal bagaimana media Indonesia meliput penangkapan dan pemeriksaan Amrozi. Teguh Budi Utomo dari harian Surya juga cerita pengalaman pribadinya kenal dengan Amrozi sebagai seorang makelar sepeda motor. Teguh adalah wartawan pertama yang masuk ke desa Tenggulun pada 5 November 2002 --sekitar 12 jam sesudah Amrozi diciduk polisi.

Saya kira sebagai media soal media, Pantau tak bisa lepas dari liputan isu besar bagi kebanyakan media di Indonesia. Sama besarnya dengan isu separatisme Aceh, privatisasi Indosat, liberalisasi ekonomi Indonesia, maupun berbagai macam isu besar lain.

Soal Riri Riza, saya kira Anda benar bahwa kami terlalu dekat memuatnya. Mulanya film "Eliana eliana" dan sesudah itu sosok Riri Riza sendiri. Kami terkadang tak sadar bahwa satu isu bisa begitu dekat. Pernah dalam satu edisi kami memuat tiga liputan yang kurang lebih bersentuhan dengan harian Kompas. Lagi-lagi karena tak sadar karena rubrik-rubriknya dan redaktur-redakturnya berbeda. Terima kasih untuk kritik Anda. Kam perlu lebih baik dalam koordinasi.

Soal nama Gosip, saya kira makna gosip adalah percakapan ringan, bukan percakapan nyinyir, walau makna nyinyir bisa juga masuk ke kategori gosip, tapi itu bukan satu-satunya makna dari kata gosip. Dulu ketika kami diskusi soal nama-nama rubrik, Gosip kami maksudkan sebagai rubrik yang ringan, isinya soal promosi, demosi, atau mutasi, orang-orang media. Jadi makna katanya sebenarnya benar. Mudah-mudahan perlahan-lahan akan ada pergeseran makna kata "gosip."

Sekarang ini memang lagi dipikirkan sedikit perubahan isi rubrik Gosip. Jumlah laporannya akan kami naikkan. Sekarang satu rubrik isinya cuma empat atau lima berita. Kami lagi berpikir meniru konsep International Herald Tribune di mana ada sekitar delapan tokoh yang digosipkan. Tapi pelan-pelan perubahannya. Media biasanya memang cenderung untuk pelan-pelan untuk berubah karena masing-masing rubrik sudah punya penggemarnya sendiri.

Soal menulis tentang jurnal kebudayaan Basis, saya kira idenya menarik, apabila kita bisa membaca banyak, kalau bisa malah semua, nomor Basis. Jurnal ini sangat penting sehingga saya kira bakal banyak gunanya bagi pembaca Pantau. Tapi soal medium berbahasa Jawa "Djoko Lodang" saya belum bisa memberi komentar karena tak tahu.

Apakah Bondan Winarno akan ditulis untuk Pantau? Saya kira untuk rubrik Sosok tak bisa berhubung beliau sudah berusia lebih dari 45 tahun. Kriteria rubrik Sosok adalah orang yang relatif muda karena tujuan rubrik ini adalah memperkenalkan figur media Indonesia yang muda usia. Tapi tak tertutup kemungkinan kita memuat cerita soal Bondan Winarno dalam rubrik lain. Saya juga suka membaca bukunya soal skandal emas Busang.

Soal ralat, kami berterima kasih untuk kekeliruan angka dalam naskah Agus Sopian tentang Lippostar.com itu. Kami sudah mempersiapkan ralatnya. Terima kasih untuk email Anda. Mudah-mudahan jawaban dari saya memuaskan Anda. Email ini juga saya share ke mailing list pantau-komunitas (dengan menghapus email Anda kecuali alinea pembuka dan penutup) untuk membuka kesempatan pada pembaca Pantau lainnya memberi komentar.

Andreas Harsono
PANTAU Magazine - Media and Journalism Review
Jalan Utan Kayu 68-H
Jakarta 13120

No comments: