Thursday, January 31, 2008

Institute for War & Peace Reporting


Rabu pagi saya datang ke kantor Institute for War & Peace Reporting. Naik kereta api bawah tanah dari Russel Square dan berhenti di stasiun Chancery Lane. Saya jalan kaki 5 menit guna menemukan sebuah restoran bernama Vine. Kantor IWPR terletak di atas Vine.

Mike Day, chief operation IWPR, menyambut saya di kantor mereka. Mike memperkenalkan saya dengan Don Hinrichsen, yang mengerjakan fund raising, serta Yigal Chazan, redaktur pelaksana. Tony Borden, direktur eksekutif IWPR, lagi berada di New York.

Kelompok ini dulu didirikan wartawan-wartawan muda yang tak puas dengan liputan media mainstrem terhadap perang di Yugoslavia. Kini mereka salah satu NGO media development terkemuka di Eropa.

Mereka tampaknya sudah riset soal Pantau. Saya lihat satu gepok print out tentang Pantau di tangan Mike Day. Saya ceritakan singkat rekomendasi Fiona Llyod agar kami belajar dari IWPR soal menggabungkan training serta feature service dan program newspaper empowerement. IWPR juga punya program pemberdayaan suratkabar, radio dan televisi. Organisasi ini kegiatannya mirip Pantau.

Mike lantas mengatur saya bertemu satu per satu dengan mereka. Yigal cerita soal ruang redaksi dan standar jurnalisme. Mike cerita soal struktur organisasi, pembagian kerja board dan manajemen serta sejarah singkat IWPR. Mereka bekerja di beberapa negara Afrika, Kaukasus, Asia Tengah (termasuk Iran dan Afghanistan) serta Filipina.

Yigal juga memperkenalkan saya dengan Lisa Clifford, international justice reporter, yang khusus bekerja di Den Haag. Lisa tugasnya adalah meliput pengadilan hak asasi manusia di Den Haag. Kerjanya, memimpin kantor IWPR Den Haag serta meliput para penjahat kemanusiaan. Bangsa Indonesia mungkin bisa belajar banyak bila Soeharto sempat di-den-haag-kan.

Mike mengajak Don dan saya minum kopi di Vine. Saya ceritakan keinginan saya bisa melatih beberapa wartawan muda untuk mengembangkan Pantau. Saya ingin mereka magang atau kuliah di London, New York atau Washington. Pulangnya, mereka bisa memperkuat program pelatihan wartawan di Pantau. Kami bermimpi bisa bekerja lebih banyak lagi di Indonesia, Timor Timur, Malaysia dan Filipina. Mimpinya, melihat mutu jurnalisme di masyarakat-masyarakat ini berkembang sehingga bisa melayani masyarakatnya dengan baik.

Mike bilang program begini harus diatur secara sistematis. Proses seleksinya harus dicari mereka yang lancar bahasa Inggris. Tak perlu magang di tempat sibuk macam harin The Guardian atau The Independent, namun tempat yang lebih kecil dimana redakturnya bisa menyediakan waktu buat jadi mentor. Dia usul salah satunya magang di Balkan Investigative Reporting Network di Beograd.

Bekas negara Yugoslavia adalah tempat yang cocok untuk belajar buat wartawan Indonesia. Di Belgrade, orang bisa belajar soal nasionalisme, identitas etnik, perselisihan Islam-Kristen serta perang. Mungkin tiga hingga enam bulan bisa magang.

Saya tanya bagaimana kami bisa belajar soal manajemen? Saya ingin tahu pembagian tanggungjawab dan kerja antara board dan manajemen? Mike usul belajar beginian di London. Namun ini juga harus dibuat dengan terstruktur. Lisa mengingatkan soal lima atau enam wartawan Uganda yang bergantian magang di Den Haag. Mereka banyak merasa kesepian. Malam hari sering jalan-jalan. Mereka juga baru pertama kali pergi ke luar negeri. Masih butuh waktu buat menyerah pengalaman baru.

Don membahas soal fund raising serta pengembangan organisasi. Kami ternyata punya minat sama: air. Don adalah penulis buku Coastal Waters of the World: Trends, Threats and Strategies. Tak banyak wartawan di dunia yang tertarik meliput air. Kami bisa omong macam-macam soal air.

Intinya, saya minta tolong dicarikan dana dan program buat melakukan kaderisasi di Pantau. Baik pada sisi redaksi maupun sisi bisnis. Saya ingin dalam lima tahun ke depan, sudah ada empat atau lima orang muda, yang memahami jurnalisme dengan kuat serta bisa mengatur manajemen NGO media macam Pantau. Saya juga ingin ada trainer IWPR bikin "training for trainers."

Yigal mengingatkan saya bahwa program magang ini harus dibuat terstruktur. "Kalau tidak," katanya, "teman-teman kamu malah lebih menikmati hidup di London!"

Saya tersenyum kecut. Tadi malam ada konser musik pop dekat Russel Square. Kelompok-kelompok yang tampil memainkan musik dengan mulus. Daya tarik London memang luar biasa! Sayang, musik yang mereka mainkan terlalu muda untuk saya. Tapi saya bayangkan, kalau Eva Danayanti ada disini, dia pasti sudah jingkrak-jingkrak di lapangan.

Hari Kamis ini, saya akan datang sekali lagi ke kantor IWPR, dan secara lebih dalam mendiskusikan kemungkinan kerja sama IWPR dan Pantau. Mike juga akan mencarikan bahan-bahan buat saya belajar soal "board" dan "manajemen." Don akan bicara soal kemungkinan kerja sama ini.

Ketika keluar dari Vine, saya sempat melirik thermometer dekat pintu: 3.9 derajat Celcius! Saya beruntung sudah dibelikan long john oleh Sapariah. Jaket kulit dirapatkan dan saya kembali ke stasiun 'the tube.'

1 comment:

Sahrudin Blog said...

Wah..kapan kesana ya....
Jadi pengin..tapi gak punya duit

salam kenal