Thursday, November 30, 2006

Dari Merauke Menginjak Jakarta

Oleh Agapitus Batbual
Wartawan Suara Perempuan Papua di Merauke

Hari itu, masih terpatri dalam ingatanku, Sabtu, 11 November 2006, usai mengikuti ulang tahun Union of Catholic Asian News (UCANews), sebuah media Hongkong, yang berlangsung di Wisma Klender, Jakarta Timur. Itulah hari pertama aku melanglang buana di kota Jakarta.

Rini dengan wajah ramah menyalamiku. Reni si cerdas, mengangguku dengan banyolan segar. Vitalis Bauk orangnya bertubuh subur. Aku senang karena bisa bertemu mereka di Wisma Klender. Beberapa saat kemudian, muncul Kondrat, si tubuh semampai tapi kurus. Orangnya pendiam tapi senang bergaul, senyumnya aduhai. Paul Kaluge si banyol yang sangat periang serta Paul Pati, yang biasanya mengirimkan pertanyaan atas beritaku. Komandan UCANews Indonesia, Karl Beru, sangat serius tapi tiba-tiba mengelak tawa kami.

Memang kelompok Indonesia Timur adalah kelompok pebanyol. Apalagi sang inspirator Pastor Robert Astarino, MM, suka mengajukan pertanyaan secara mendetail. Singkat, padat serta membutuhkan penjelasan. ”Sebagai wartawan UCANews, harus berpikir bahwa apa yang kita tulis harus dimengerti oleh orang luar negeri,” ujar Pastor Robert.

Aku berpikir betul juga, ya. Aku bertemu dengan Pastor Constan Falolon dari Amboina, Hary Klau dari Atambua dan Anggelina Pareria juga dari Atambua serta Hironimus Adil, rekan dari Bali. Rata-rata orang muda semua.

Tiap hari Reni, yang sudah mengetahui kelakuanku, Pastor Cons, Heri serta Hiron, bersemangat mengganggu kami semua. ”Itu temanmu dari Ambon, Atambua dan Bali,” ujarnya. ”Wah, saya kira sudah semakin putih, ternyata sama hitam,” ujarku kepada Reni. Pastor Cons, Heri dan Hiron seiring dengan tawa terbahak.

Di sebelah meja kami, berkumpul generasi tua, seperti Herman dari Manado, Windi Subanto dari Medan, Peter Tukan dari Jayapura, Anton dari Atambua dll. Aku sangat salut untuk kalian semuanya. Keakraban kita akan tinggal di dalam sanubariku. Maklum aku akui, kami yang masih muda harus menimba ilmu kepada kaum tua dalam menulis berita.

Bertempat di Kantor Pantau

Usai pelatihan di Wisma Klender, aku ditelepon Andreas Harsono, untuk mampir kantor Pantau. Aku langsung diantar ojek dengan harga carteran Rp 20.000. Cukup sulit mencari sebuah kantor yang bernama Pantau --sebuah media yang belakangan ini tidak terbit lagi, karena terbentur dengan masalah dana.

Menurut Andreas, yang pernah berkunjung ke Merauke, bayaran kepada wartawannya relatif cukup tinggi. Media ini independen. Mereka tak terikat dengan konglomerat atau politisi manapun. Kelakuan terhadap beberapa wartawan, yang biasanya menerima ”amplop,” agak bikin keder juga. Tapi kusuka sikap itu.

Aku melangka dengan agak takut, karena baru bertama kali memasuki lantai dasar Pantau. Beberapa wartawan terkenal di antaranya pernah terkait media ini. Sebut saja Agus Sopian si penggelak tawa; Eri Sutrisno, yang biasanya serius; Eriyanto, yang pernah kutemui di Merauke.

Gedung Pantau cukup tinggi dengan banyak ruangan. Aku disambut oleh Siti Nurrofiqoh. Jabatanya sebagai sekretaris Pantau. ”Ini Mas Agapitus Batbual ya,” ujarnya.

“Benar,” jawabku dengan senyum mengembang. Tiba-tiba kegamumanku bertambah, karena beberapa orang yang tidak kukenal, langsung masuk ke dalam ruangan rapat. ”Wah penyambutanku sedang ditunggu,” ujarku dalam hati.

”Mas mau minum apa?” ujar Siti.

”Jangan sampai merepotkan,” ujarku.

”Ah jangan begitu. Jalan jauh ya. Kalau begitu pantas Pantau menyambut Mas Agapitus. Saya buatkan teh tubruk ya,” tawar Siti.

”Boleh,” jawabku.

”Silakan menunggu Mas Andreas. Aku tinggal dulu. Ada beberapa tugas yang harus saya kerjakan,” katanya.

Aku disodori beberapa baju kaus dua warna. Yang pertama warna putih dengan warna hitam. Aku langsung memilih baju kaos warna hitam bertuliskan, ”Aku tak peduli kau tiduri gajah sekalipun, asal kau tidak meliput sirkusnya.” Di bawah tulisan itu ada tertera A.M. Rosenthal, The News York Times. Di bagian bawahnya lagi tertulis, “Soal pentingnya independensi wartawan.”

Aku sangat tertarik dengan tulisan tersebut. Maka kuputuskan membayar kaos itu. Beberapa block note langsung diserahkan oleh Siti kepadaku plus dua buah buku wartawan terbitan Jakarta. “Sembilan Elemen Jurnalisme” karangan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel langsung kusambut dan serta merta aku membacanya.

Tiba-tiba Andreas Harsono menyapaku. ”Selamat datang di kantor Pantau, Agapitus,” ujarnya dengan sapaan hangat.

Setelah rapat selesai, dilanjutkan dengan makan bersama. Agus Sopian, dengan gayanya yang khas seorang tukang pukul, langsung terbaring di kursi yang memang disiapkan. Kesanku sangat biasa, seperti sifatku, tetapi ulasannya sangat intelektual. Sangat tertata alur pemikirannya. Aku tersenyum tanpa diketahui oleh semua orang yang makan.

Usai rapat, aku ditawari Harsono menginap di apartemenya. Dua orang yang paling aku kenal: Harsono dan Agus, dengan beberapa penulis Pantau mengantarku. ”Di depan kita terletak kantor DPR dan MPR. Di sebelahnya terletak markas besar Kompas dengan The Jakarta Post. ”Kalau mau berenang ada kolam renang. Di dalam ruangan itu ada fitness center. Agapitus silahkan mempergunakan sepuas hati,” ujar Harsono.

Si Kecil Yang Periang

Norman Harsono, lelaki kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar berbahasa Inggris, tiba-tiba masuk, membuka pintu kamarku. Aku langsung bangun karena kaget. Siapa gerangan yang memasuki kamar? Tanpa berbicara banyak, dia langsung berdiri. Sedangkan aku dalam posisi duduk tanpa berbicara alias diam seribu bahasa.

Aku langsung menyapa dia. Tetapi apa nyana, dia langsung mengambil papan luncur dan berputar-putar di atas papan luncur bak olahragawan profesional. Saat itu, langsung aku teringat, seorang anak kecil, sebaya dengan dia meminta-minta. Waktu itu, bersama teman-teman UCANews, dalam perjalanan ke kantor UCANews Indonesia, di Perumahan Buaran Regency Blok G No 10 Jl. Radin Inten II, Pondok Kelapa, Jakarta.

Terkesan Norman tak ambil pusing dengan keadaan dalam rumah. Dia berputar terus hampir jatuh. Kemudian tiba-tiba berbalik ke arahku dan terdengar ”brakkkkkkkkk.” Si ayah Norman, Andreas Harsono senyam-senyum saja, melihat gelagat anaknya.

Sedangkan Norman hanya terseyum melihat papan luncur berputar di tempat. ”Hi Norman, are you okay?” ujar ayahnya.

I am fine,” ujar Norman, wajah ceriah. Terkesan tidak ada kesusahan di wajahnya. Itulah kesan yang pertama ketika bertemu dengan Norman, si anak yang pintar berbahasa Inggris lagi periang.

Aku tinggal di apartemen mereka. Harsono menawarkan sebuah tempat tidur untukku. Sekilas tidak ada apa-apa, tapi betapa kaget ketika aku masuk. Di dalamnya ada TV yang cukup besar, laptop seharga Rp 10 juta terpasang di disitu. Kabel-kabelnya disatukan di belakang laptop. Segala fasilitas, termasuk kolam renang, ruang fitness di ruang dasar gedung. Beberapa asesoris Papua dari Sentani, Timika serta Asmat digantungkan di situ. Ada buku-buku berbahasa Inggris, majalah-majalah lain, bermacam judul dan negara, ditambah dengan koran tergeletak di lantai. ”Inilah sebuah tempat yang menyenangkan. Pasti seluruh dunia terprogram di situ,” gumamku.

Dia ruang makan, aku terpekur memandang sebuah bingkai berwarna kuning dan hijau. Sekilas tergambar, seorang sudah tewas, sedangkan di hadapan orang yang sudah tewas itu berdiri dua perempuan memakai jilbab, sedang mengusap wajah orang yang tewas itu. Seorang anak digendongnya. ”Pemuda Aceh itu mati dicekik oleh tentara karena dituduh mata-mata Gerakan Aceh Merdeka. Dua perempuan itu adalah adik dan kakaknya,” ujar Harsono. TNI mencekik orang itu, dengan selembar kaos miliknya sendiri. Orang itu hanya memakai celana dalam. Harsono mengatakan foto itu pemberian Tarmizy Harva dari Reuters. Foto ini menang penghargaan World Press Photo.

”Wah kenapa begitu ya. Mereka tidak memiliki kemanusiaan lagi,” ujarku. Seminggu aku tinggal di sini.

Berpesta Ria

Kemudian, Rebeka Harsono, adik perempuan Andreas, mengajakku tinggal di rumahnya di Tangerang. Hari itu, Kamis 16 November 2006, Rebeka langsung mengajakku ke sana dengan mengendarai bus. Dengan ojek, kami menuju ke kampung Tegal Alur, sebuah perkampungan Cina.

Kamar lantai dua adalah tempat tidurku. Di samping kamarku terletak sebuah kamar juga. Ternyata milik Widi seorang mahasiswa Universitas Indonesia dan Ignasia mahasiswa asal Flores. Mereka senang bersalaman dengan aku.

Rebeka memimpin Lembaga Anti Diskriminasi di Indonesia (LADI). Esoknya aku tidak mau ke mana-mana. Tapi kami langsung diajak Rebeka mengadakan penelitian tentang bagaimana orang Cina, turut berpatisipasi untuk mengurusi akta kelahiran. Mumpung negara Indonesia sudah membuka pintu hatinya untuk memperhatikan kaum Cina. Mayoritas penduduk di kampung Tegal Alur adalah kaum Cina, tapi hidup pas–pasan. Ada yang tak memiliki pekerjaan, kawin muda, yang berakibat pada tingginya angka perceraian.

Syukur beberapa perempuan membentuk kelompok kerja kepercayaannya Rebeka. Pertama kali aku bertemu dengan seorang perempuan etnis Cina bernama Lili. Suaminya tidak memiliki pekerjaan. Lili sendirilah yang berusaha keras menyekolahkan kedua anaknya. Yang pertama masih duduk di bangku Sekolah Menegah Pertama dan yang bungsu masih duduk di Sekolah Dasar. ”Mau ke sekolah? Uang taxi ada tidak? Kalau belum ada, ini uang kalau tidak keberatan,” ujarku sambil menyodorkan uang Rp 20.000.

Dia langsung menerima, seraya mengucapkan terima kasih. Di sampingnya berdiri Lili, ibunya. Aku mengambil posisi duduk di teras, sebuah rumah lain. Aku berpikir, kemungkinan besar akan berbicara dengan tuan rumah menanyakan berapa harga tanah yang dijual, luas areal ini berapa. Tapi ternyata, semua orang, termasuk tuan rumah langsung angkat kaki, ”Maaf aku menjenguk orang sakit,” ujar tuan rumah.

Sekitar dua meter lebih, terlihat seorang perempuan menjajakan minuman dan makanan ringan. Aku langsung saja meminum, segelas sirup seraya menoleh kanan kiri. Ternyata tidak ada satu pun mau bicara denganku. ”Wah begini caranya hidup di Jakarta ya,” gumamku. Tempat untuk menjajakan makanan ringan serta minuman bersebelahan sekitar satu meter dengan sebuah rumah yang cukup amburadul. Didding sebelah tidak ada lagi. Yang tersisa adalah atapnya. Di sebelahnya berdinding semen, tapi tanpa pintu. Kesanku sangat amburadul. Untungnya masih ada atap tanpa jendela. Sungguh sangat memprihatinkan.

Seorang perempuan muda, kira-kira masih SMP, lagi meneguk air sirup. Mungkin dia tidak mau sekolah lagi, karena seharian yang bersangkutan duduk saja sejak aku pertama kali hadir di tempat ini.

Sabtu, 18 November 2006, keadaanku biasa saja. Mandi, sikat gigi kemudian sarapan. Dalam rangka penelitian yang dilakukan oleh Rebeka, aku berangkat ke Kampung Dadap, Tangerang ditemani oleh Widi. Kami berangkat ke Ci Lili, nama sapaan, artinya “Kak Lili.”

Sewaktu di rumah Lili, Rebeka memprotes cara kerja Widi. Tanpa tendeng aling-aling, kata-kata kasar ditujukan kepada Widi. Ini mungkin kebiasaan Rebeka. Widi diam saja, mendengar semprotan Rebeka. Aku yang pendiam , hanya menelisik lebih jauh pembicaraan mereka.

Minggu, 19 November 2006, aku langsung berangkat lagi dari rumah Rebeka, ke rumah Lili dan selanjutnya mengikuti pesta pernikahan seorang warga Cina.

Situasi sangat meriah. Ada ruang pesta dengan menu yang banyak. Tetapi ada juga khusus disiapkan oleh tuan rumah untuk berjudi. Laki serta perempuan paruh baya, orang tua mengepulkan asap rokok seraya mengocok kartu remi. Banyak orang yang hadir ruangan ini.

Disampingku duduk serombongan laki-laki ditemani dua orang perempuan. Kesanku kedua perempuan ini adalah perempuan panggilan, yang tiap kali hadir di pesta jenis ini. Ada juga perempuan lain sedang mengepulkan asap rokok di depanku. Menurut Rebeka, tempat pesta seperti ini adalah ajang bisnis prostitusi, selain berjudi serta menenggak alkohol. ”Kejadian seperti ini biasa bagi orang Dadap. Yang penting berjudi, alkohol, perempuan. Sementara istrinya bating tulang mencari uang,” ujar Rebeka kepadaku.

”Jika berdansa dengan perempuan, mereka biasanya tanya, biasa dibawa ke luar atau tidak. Tergantung si perempuan saja,” kata seorang tamu.

Saat sedang mengabadikan wajah beberapa orang, tiba-tiba seorang ketua kelompok nyanyi mengumumkan, ”Selamat datang di kampung kami, Dadap. Orang Papua selamat!” ujar ketua group seni.

Aku hanya menggeleng saja. Memang tak ada orang ”hitam” selain aku. Aku langsung bangga saat mendengar ada orang kulit hitam. Aku sebenarnya kelahiran Pulau Tanimbar, selatan Papua. “Luar biasa,” kataku. Acara demi acara kulalui, sampai akhir. Akupun pulang ke Tegal Alur, tempat Rebeka untuk istirahat.

Bermalam di Cibubur

Esoknya Senin, 20 November 2006 aku langsung pulang ke Cibubur dengan menumpangi mobil sedan biru. Sampai di rumah, aku disambut hangat oleh Paulus Baut, seorang mantan anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan beserta istrinya. Dua orang yang paling kukasihi adalah Ricky Baut dengan adiknya. Tanggal 22 November 2006, aku langsung berangkat ke Merauke.

No comments: