Saturday, October 20, 2007

Saya dalam 15.840 Jam

Oleh SUADI SULAIMAN


Kisah anak muda yang bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka, hampir menewaskan kawan sendiri, dan dituduh mengidap AIDS.



DI HUTAN, saat istirahat, kadang-kadang saya menulis catatan harian. Saya ingin mengabadikan banyak peristiwa penting selama perang. Suatu hari catatan ini mungkin berguna bagi anak cucu, pikir saya. Meskipun sebagian orang menganggap menulis catatan harian atau diary itu mirip perbuatan anak usia belasan dan biasanya berisi curahan hati tentang cinta muda-mudi, tetapi bagi saya fungsi catatan harian tidak seremeh itu dan lebih dari sekadar pembingkai perasaan.

Banyak pejuang terkenal menulis catatan harian. Ernesto ”Che” Guevara dari Kuba misalnya, menulis catatan harian sejak ia masih belum jadi pejuang. Catatan harian yang ia tulis saat melakukan perjalanan naik motor mengelilingi Amerika Selatan membuat orang mengerti kontradiksi yang dialaminya sebagai calon dokter muda yang berurusan dengan pasien penyakit lepra sampai memilih bergerilya dan memimpin revolusi Kuba.

Saya pun teringat kisah perjalanan Nestor Paz pejuang Neoponte. Ia gerilyawan Bolivia yang melawan penindasan dan kekejian Amerika Serikat terhadap negerinya. Paz bergabung dengan Bolivias National Liberation Army dan mati kelaparan akibat membela hak rakyatnya yang dirampas.

Paz seorang komunis. Namun, saya tidak peduli apa pun ideologinya. Kesungguhan Paz membela rakyatnya yang ditindas membuat saya mengaguminya. Sikap Paz mengilhami saya agar tak mudah menyerah dalam keadaan sesulit apa pun.

Seorang teman perempuan, orang Jawa, telah memberi saya buku Nestor Paz ketika saya dirawat di sebuah rumah sakit Jakarta. Buku itu sebenarnya untuk menghibur dan membantu saya mengatasi rasa bosan. Ternyata ia menunjukkan saya cara memahami perjuangan.


SAYA bukan orang terkenal dan bukan pejuang hebat seperti Guevara dan Paz. Nama saya, Suadi Sulaiman, putra kelahiran Laweueng. Nama desa kelahiran saya adalah desa Teungku Chiek Di Laweueng. Saya biasa disapa Adi Laweueng. Orang Aceh sering dinamai dengan tempat kelahirannya.

Laweung merupakan ibukota kecamatan Muara Tiga, salah satu kecamatan di kabupaten Pidie. Laweueng terletak di ujung paling barat Pidie yang berbatasan dengan lembah Seulawah, Aceh Besar. Jarak tempuh ke Laweueng sekitar dua jam berkendaraan dari kota Banda Aceh.

Saya lahir pada 20 Juni 1980 dari pasangan Sulaiman Abdur Rahman dan Nurjannah Bansu, anak keempat dari delapan bersaudara. Ayah saya nelayan, sedangkan ibu bekerja sebagai petani musiman. Keduanya asli Laweueng.

Abang, kakak, dan dua adik saya mengikuti jejak orang tua saya, menjadi nelayan dan petani musiman. Hanya saya sendiri yang memilih jalan berbeda.

Penampilan saya terbilang agak kusut. Brewokan, berkumis dan berjambang lebat. Saya juga tak terlalu pusing dengan pakaian. Saya juga tak fanatik pada warna tertentu. Asalkan nyaman dipakai dan apa pun coraknya, baju itu akan menjadi kesayangan saya.

Menekuni hidup ini kadang susah, kadang mudah. Itu kata orang-orang di sekeliling saya. Jalan hidup tiap orang pun berbeda dan tiap jalan selalu menyimpan risikonya sendiri. Dan betapa pun panjang, penuh batu, berliku, turun-naik permukaannya, mencapai ujung jalan itu adalah puncak kemenangan seseorang yang berjuang melaluinya. Dengan keyakinan inilah, saya terus berjalan.


PADA tahun 1999, saya bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka. Organisasi ini dianggap melawan negara Indonesia, karena GAM menuntut kemerdekaan Aceh. Barangsiapa yang teridentifikasi sebagai anggota GAM dan simpatisannya, ia akan menanggung risiko yang tak main-main. Ditangkap, disiksa, dipenjarakan, dibunuh, atau dihilangkan paksa. Risiko ini tak hanya dialami GAM, namun dialami oleh semua gerakan perlawanan di seluruh dunia.

Pertama kali saya mengetahui keberadaan GAM di Aceh ketika juru bicara Teuntara Neugara Atjeh (TNA) wilayah Peureulak, Teungku Ishak Daud, disidang di pengadilan negeri Banda Aceh dan Sabang pada tahun 1998 sampai 1999. Ishak Daud kemudian meninggal dunia dalam sebuah kontak senjata dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Selain tentang dia, saya juga mendengar nama Ahmad Kandang, pemimpin GAM wilayah Pase, Aceh Utara. Namanya begitu terkenal, karena pasukan yang dipimpinnya sering bentrok dengan militer Indonesia. Masih pada masa itu, saya juga membaca pernyataan-pernyataan Teungku Ismail Syahputra. Ia juru bicara Acheh Sumatra Nation Liberation Front (ASNLF). Organisasi ini bermarkas di Swedia dan merupakan nama untuk GAM dalam memimpin perlawanan di pengasingan. Ia diculik aparat Indonesia tak lama setelah Jaffar Hamzah Siddiq, ketua International Forum Acheh (IFA), diculik dan dibunuh Satuan Gabungan Intelijen pada tahun 1999.

Sesungguhnya ketertarikan saya kepada politik atau khususnya GAM telah dimulai saat saya duduk di kelas dua sekolah menengah atas (SMA). Saya sempat membuat sebuah daftar isi masalah menyangkut keberadaan GAM di Aceh: apa itu GAM, dari mana GAM, ke mana GAM, siapa GAM, dan bagaimana GAM.

Saya bergabung dengan GAM tidak dilandasi dendam. Tak seorang pun anggota keluarga saya yang menjadi korban militer Indonesia di masa Daerah Operasi Militer atau DOM pada tahun 1989 sampai 1998.

Keputusan ini semata-mata didasari rasa kemanusiaan setelah mendengar dan menyaksikan orang-orang biasa menjadi korban perang, dan rasa memiliki Aceh sebagai bangsa Aceh.

Pembantaian terhadap Teungku Bantaqiah, putra dan para santrinya di Beutong Ateuh, Aceh Barat menambah kemarahan saya kepada Indonesia, begitu pula sederet kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil yang terjadi pasca DOM. Belum lagi penghinaan dan pemerkosaan yang dilakukan TNI terhadap perempuan-perempuan di Aceh, kaum ibu dan saudari kami, makin membakar hati.

Saya merasa martabat kami sebagai orang Aceh telah diinjak-injak atas nama kepentingan negara Indonesia. Dalam hati kecil saya tercetus bahwa Aceh ini milik ”kita” orang Aceh dan bukan milik ”mereka” orang Indonesia.


PADA tanggal 20 Mei 2003, di hari kedua Darurat Militer diberlakukan presiden Megawati Soekarno, pasukan pemerintah Indonesia menggempur Pulo Aceh atau di peta dinamai Pulau Breueh. Ketika itu saya tengah ditugaskan di sana. Pulau ini terletak di antara Pulau Weh dan ujung barat Pulau Sumatra atau Aceh.

Pasukan pemerintah melancarkan serangan dengan menggunakan dua pesawat Hawk buatan Inggris, sebuah F-16 buatan Amerika, 20 speed boat dan empat armada marinir dari Sabang. Sehari sebelumnya, bertepatan dengan pemberlakuan Darurat Militer di Aceh, mereka membombardir kawasan Cot Keu Eung, Aceh Besar.

Konfrontasi antara TNA dan TNI di Pulo Aceh dan Lambadeuk ini berlangsung selama 10 jam secara beruntun, sehingga memakan korban di kedua belah pihak. Tujuh di antara kami syahid kala itu.

Penggempuran tersebut menjadi tindak lanjut dari kegagalan proses perundingan pemerintah Indonesia dan GAM di Tokyo, Jepang, pada tanggal 17 Mei sampai 18 Mei 2003.

Masing-masing pihak bertahan pada pendiriannya. GAM bersikeras untuk merdeka. Pemerintah Indonesia hanya setuju memberi status otonomi khusus untuk Aceh. Dari Swedia, delegasi GAM dipimpin Malik Mahmud. Anehnya, utusan GAM dari Aceh yang dipimpin Teungku Sofyan Ibrahim Tiba ditolak izin berangkatnya ke Tokyo oleh pemerintah Indonesia dan mereka ditangkap polisi dari Kepolisian Daerah Aceh di Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh. Mereka kemudian dijebloskan ke penjara. Para utusan yang berubah status jadi tahanan itu antara lain Teungku Sofyan Ibrahim Tiba, Teungku Muhammad Usman Lampoh Awe, Teungku Kamaruzzaman, Teungku Nashiruddin Ahmad, dan Amni Ahmad Marzuki.

Di Pulo Aceh ini saya bergabung dengan pasukan GAM yang dipimpin Muhammad Nasir Mahmud alias Polem, sekarang telah almarhum, dan Ijil Azhar alias Ayah Merin. Polem ketika itu bertindak sebagai bagian keuangan GAM wilayah Aceh Besar, sedangkan Ayah Merin sebagai panglima GAM Sabang, Pulau Weh.

Jumlah anggota pasukan kami mencapai ratusan orang yang siap tempur dan lengkap dengan peralatan perang. Jenis-jenis senjata yang kami pakai antara lain senapan laras panjang (SS-1, M-16 AI, AK-45, AK-47) dan bazoka.

Pada hari ke-47 Darurat Militer di Aceh, saya pindah ke Pidie atas persetujuan pemimpin saya.

Hari itu, Jumat 4 Juli 2003, saya yang ditemani abang sepupu mengendarai mobil Kijang dari Beurawe, Banda Aceh, tempat singgah sementara saya, menuju Beureunuen yang terletak di kabupaten Pidie.

Dalam perjalanan menuju Pidie, kami sempat terjaring sweeping di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Pidie. Polisi-polisi melakukan operasi pemeriksaan kartu tanda penduduk atau KTP. Bagi mereka yang memiliki KTP Merah Putih akan selamat dan bagi yang tidak memilikinya, seperti saya, pasti akan dapat masalah besar. KTP Merah Putih adalah tanda kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka yang tak memilikinya dianggap GAM.

Nasib saya di ujung tanduk dan hanya faktor kebetulan yang menyelamatkan saya. Di antara polisi tersebut terdapat kawan sekelas saya waktu SMA. Ia menyatakan kepada polisi-polisi yang lain bahwa saya anggota keluarganya. Ia meyakinkan mereka bahwa saya baru tiba dari Jakarta, karena kuliah di sana. Pemeriksaan ini membuat perjalanan saya tertunda selama 15 menit.

Tepat pukul 14.25 saya tiba di Beureunuen. Beberapa kawan menjemput saya untuk dibawa ke markas TNA wilayah Pidie, yang dipimpin Teungku Sardjani Abdullah. Markas ini terletak di pegunungan Tiro.

Sardjani alumnus Tripoli atau sekarang dikenal sebagai Libya. Ia dididik kemiliteran di negeri Moammar Khadafi itu. Pertama kali ia bergerilya di belantara Pidie antara tahun 1989 sampai 1993 dengan beberapa kawannya sesama Tripoli. Sardjani sangat disiplin dan taat beragama. Ayahnya, Teungku Abdullah, salah satu ulama Pidie.

Pukul 18.17 saya tiba di markas panglima dan sekaligus menandai babak baru dalam pengalaman gerilya saya, yaitu berbasis di pegunungan. Berada di pegunungan juga terasa lebih aman. Di tempat ini saya menghabiskan waktu selama 15.840 jam atau 22 bulan.

Kehidupan kami di sini serba sederhana. Kami, para gerilyawan, membangun tenda plastik dan menjadikan jerami sebagai kasur tidur. Jumlah anggota pasukan kami tak tetap. Kadang-kadang, 12 orang. Kadang-kadang, sekitar seratus orang jika dalam keadaan darurat.

Namun, kami tak pernah kekurangan bahan makanan. Selain pasukan tempur, kami juga memiliki pasukan khusus untuk menyediakan logistik. Tugas mereka ya hanya mengurus dan mensuplai bahan makanan ke pasukan yang ada di pegunungan.


BAGI orang biasa yang tak memiliki latar belakang tempur seperti saya, berperang bukan hal mudah. Dalam film-film perang, kita menyaksikan prajurit mengangkat senjata dan menembakkannya dengan gerakan yang gagah, ringan, dan pasti. Kenyataannya tidaklah semulus itu, setidaknya untuk saya.

Saya harus ikut latihan menembak dan bongkar senjata. Baru latihan pun rasanya sudah setengah mati.

Selama latihan tersebut saya mengetahui hal-hal yang kelihatan sepele bagi saya yang awam ini, yang sebenarnya saat penting, misalnya posisi senjata saat penyerahannya kepada kawan sepasukan. Moncong senjata harus tegak ke atas.

Aturan tadi sebuah disiplin. Namun, alasan lain juga ada. Senjata hanyalah benda mati, tetapi di tangan manusia yang punya macam-macam masalah, kepentingan, dan emosi, ia akan berubah jadi pembunuh kejam. Pikiran manusia bisa berubah dalam hitungan detik. Bahkan penelitian ilmiah menyebutkan bahwa pikiran manusia kecepatannya melebihi kecepatan cahaya. Untuk mempersempit peluang terjadinya insiden saat sentimen pribadi muncul dalam pasukan, posisi senjata dengan laras ke atas adalah tepat.

Pertama kali belajar memegang senapan buatan Rusia AK-47, tangan saya gemetar. Sendi-sendi saya terasa lemas, karena senjata itu lumayan berat.

Selain masalah pegang-memegang senjata, bongkar senjata jadi hal terberat bagi saya. Keteledoran dalam melaksanakannya hampir mencelakakan kawan sepasukan saya.

Suatu hari, setelah saya melepaskan magazin dari induknya, saya tidak tahu kalau di dalamnya masih tersisa satu peluru. Sebagai bagian dari latihan, saya pun mengarahkan senjata ke salah satu tenda kawan dan menarik pelatuknya.

Tak disangka, peluru melesat keluar dan hanya terpaut tipis dengan telinga kawan saya! Telinga kawan saya seolah berasap! Saya benar-benar ketakutan. Sedikit lagi peluru itu akan meledakkan kepalanya. Alamak!

Keringat dingin terbit di pori-pori tubuh saya. Ini kesalahan fatal.

Tiap kesalahan memiliki sanksi, karena tiap keteledoran bisa membuat nyawa orang melayang. Komandan regu atau danru memberi saya hukuman. Tiap hari saya harus mencari kayu bakar untuk memenuhi gudang berukuran 4 x 3 meter persegi. Selain itu, saya tidak diperbolehkan memegang senjata apa pun selama dua bulan. Saya juga tidak boleh keluar lokasi pos kami.

Walaupun sunyi dan jauh dari peradaban, hidup di hutan lebih tenang ketimbang di kota. Udara masih segar, jauh dari polusi. Pancaran matahari pagi yang menguatkan tulang-tulang lebih mudah diserap tubuh. Kebisingan lalu-lintas tak terdengar. Kebisingan yang disebabkan suara rentetan senjatalah yang terdengar.

Di sela-sela waktu tanpa kontak senjata atau keadaan siaga, kami belajar tentang ideologi negara Aceh Merdeka, sejarah Aceh, dan agama Islam. Kami yang belajar saat itu berjumlah 27 orang. Para pengajar berasal dari Biro Penerangan GAM. Rata-rata gerilyawan lulusan Tripoli.

Kami memperoleh materi sejarah Aceh yang sebenarnya. Bukan sejarah Aceh versi Nugroho Notosusanto, sejarawan militer yang pernah menjadi menteri pendidikan di masa Suharto berkuasa. Dalam buku sejarah yang ditulis Notosusanto, seluruh daerah bersatu melawan dan mengusir kolonialisme Belanda untuk negara Indonesia, termasuk Aceh. Nama-nama pejuang Aceh, seperti Cut Nyak Dien atau Cut Mutiah, dijadikan nama-nama jalan di Jakarta dan mereka disahkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Sejarah Aceh disederhanakan dengan mengabaikan fakta. Bagi orang Aceh, setelah penjajahan Belanda dan Jepang, mereka justru dijajah Indonesia.

Di sekolah hutan ini pula saya jadi lebih paham posisi Aceh di mata internasional dan mengapa GAM menuntut merdeka dari Indonesia. Kekayaan alam kami banyak, tetapi rakyat kami miskin.

Namun, dari 27 murid itu yang masih hidup sampai hari ini hanya dua orang, yaitu saya dan Teungku Umar Busu. Sisanya meninggal dalam perang.


BERGERILYA di hutan dan pegunungan ternyata mengubah cara berpikir saya dalam memperlakukan alam. Satwa langka dan hutan lindung harus dilestarikan. Ekosistem harus dijaga. Dulu pengetahuan ini hanya sebatas hapalan atau teori. Setelah tinggal di alam terbuka dan bersentuhan langsung dengan tumbuhan dan hewan liar di dalamnya, pemahaman tentang lingkungan jadi benar-benar mengakar. Film Tarzan yang dulu disiarkan televisi ternyata tidak sekadar kisah manusia kuat dan pemberani yang dibesarkan kera, tetapi mengajarkan kita mencintai alam. Tarzan merupakan sosok pencinta dan pembela lingkungan.

Alam bisa sangat ramah dan menyediakan banyak kebutuhan manusia. Tetapi bagaimana saat alam marah dan melenyapkan sekitar 200 ribu jiwa di Aceh? Pengalaman tersebut sungguh menyadarkan saya sekali lagi bahwa kekuatan manusia sama sekali tak sebanding dengan kekuatan alam. Jika alam mengamuk, tak akan ada tawaran kompromi atau damai sebagaimana manusia bertikai atau berkonflik.

Lima menit sebelum tsunami, di pagi Minggu tanggal 26 Desember 2004 itu, kami dibombardir oleh tiga batalyon infanteri TNI, yaitu YONIF 114/KOSTRAD, YONIF 472/MAKASAR dan YONIF RAIDER-400. Mereka menggunakan mortir jenis 88 milimeter dan senjata jenis roket 105. Jumlah mortir yang ditembakkan sebanyak 115.

Ketika tsunami datang, saya tengah berada di pegunungan Tiro, Pidie. Saya dan kawan-kawan memperoleh informasi dari pusat informasi bahwa terjadi pengeboman dan pasukan harus siaga. Tak seorang pun dari kami yang menyadari bahwa bencana dahsyat baru saja melanda Aceh. Sebelum itu terjadi gempa besar, yang saya perkirakan sekitar 6 sampai 7 skala Richter. Tetapi kawan-kawan saya mengatakan bahwa kekuatan gempa mencapai 8 skala Richter.

Kepanikan sempat terjadi, karena terputusnya jaringan komunikasi. Hanya satelit dan walkie talkie, atau biasa disebut HT, yang bisa berfungsi.

Akhirnya saya berinisiatif mendengar siaran radio dari Kantor Berita Radio 68 H dan Elshinta, keduanya radio Jakarta. Kedua radio nasional ini tengah menyiarkan berita tsunami di Aceh. Saya masih belum paham tentang tsunami dan malah menghubungi radio tersebut untuk mengabarkan soal pengeboman oleh tiga batalyon tadi. Beberapa jam setelah itu, kontak senjata kembali terjadi antara TNA dan TNI di pegunungan Luengputu, Bandar Baru, Pidie Jaya.

Dalam catatan saya, selama masa darurat pascatsunami, telah terjadi 113 kali kontak senjata antara TNA dan TNI. Korban di pihak TNA berjumlah tujuh orang, sedang di pihak TNI mencapai seratusan. Sedikitnya korban di pihak kami, karena pemimpin GAM di Swedia meminta pasukan GAM bersikap defensif, tidak membalas serangan. GAM harus melakukan gencatan senjata sepihak, mengingat Aceh baru saja mengalami bencana.

Penanganan korban bencana pun sulit dilakukan di tengah situasi konflik. Ketika mendengar perjanjian damai akan dilakukan GAM dan pemerintah Indonesia, saya dan kawan-kawan sangat gembira. Kabar ini saya terima saat masih berada di pegunungan Tiro dengan panglima kami, Teungku Sardjani Abdullah.


SEKITAR sebulan setengah sebelum Kesepakatan Helsinki ditandatangani, saya berangkat ke Medan untuk berobat atas izin panglima. Saya diduga terkena malaria tropica.

Saya ditemani ibu, menumpang bus ke Medan. Lagi-lagi, operasi KTP Merah Putih terjadi di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara. Kali ini saya tenang-tenang saja, karena sudah memilikinya.

Situasi di Medan ternyata tidak aman. Saya terbang ke Jakarta dan langsung menuju rumah sakit Cipto Mangunkusumo yang terkenal dengan sebutan RSCM.

Saya dirawat selama 27 hari di sini. Di RSCM saya hampir jadi korban malpraktek. Saya divonis terinfeksi virus HIV-AIDS.

Saya katakan kepada dokter bahwa mustahil saya terkena HIV. Selama dua tahun saya tidak pernah ke kota dan sebelum itu saya tak pernah melakukan hal-hal yang memungkinkan virus tersebut bersarang di tubuh saya. Lebih lengkap lagi saya sebutkan bahwa dari Medan saya langsung ke Jakarta, tidak mampir ke mana-mana dan langsung ke RSCM.

Para dokter yang menangani saya tetap ngotot bahwa saya terinfeksi HIV. Perdebatan serius pun terjadi. Di hari kelima, darah saya diperiksa. Lagi-lagi, mereka mengatakan saya tertular AIDS. Saya tetap menolak dituduh mengidap AIDS. Di hari ketujuh belas, darah saya diperiksa sekali lagi. Akhirnya, mereka menemukan virus malaria di dalamnya dan mereka mencabut kesimpulan sebelumnya.

Saya sungguh lega.

Lima bulan sesudah perdamaian, tepatnya di bulan Januari 2006, saya menyunting seorang gadis bernama Debit Juniar Ama. Saya telah mengenalnya hampir tujuh tahun silam saat ia masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama dan saya di kelas tiga SMA.

Kami kini telah dikaruniai seorang putra, yang saya namai Teguh Agam Di Pidieya. Nama ini mempunyai makna tersendiri. Teguh, artinya istiqamah dan berpendirian. Nama ini mencerminkan sikap saya yang bertahan di pegunungan selama waktu yang saya sebutkan: 15.840 jam. Agam, dalam bahasa Aceh, berarti anak laki-laki. Namun, bisa juga diartikan sebagai Angkatan Gerakan Aceh Merdeka. Di Pidieya menisbahkan tempat kelahirannya.

Di masa damai ini saya berharap kehidupan rakyat Aceh lebih baik dan damai yang sejati terwujud. Meski optimistis dengan proses damai ini, tetapi kekhawatiran terbetik juga di hati. Pasalnya, sampai hari ini tak ada kejelasan tentang pengadilan Hak Asasi Manusia untuk kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di Aceh. Komisi Kebenaran belum terbentuk. Bahkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR yang semula menjadi harapan rakyat Aceh untuk menuntut keadilan telah dibekukan dengan keluarnya undang undang nomor 27 tahun 2004 tentang KKR. Tampaknya pemerintah Indonesia akan mengubur kasus ini atau membuat pengadilan basa-basi, seperti yang berlaku pada kasus penembakan mahasiswa Trisakti, kasus penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996, kasus Tanjung Priok, dan kasus penculikan aktivis prodemokrasi.

Perdamaian sejati di Aceh mustahil terwujud tanpa keadilan.


Suadi Sulaiman adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh. Ia mantan gerilyawan Gerakan Acheh Merdeka.

4 comments:

andri cahyadi said...

Panjang Umur Pergerakan Rakyat!

Salut kepada kawan Suadi Sulaiman!

Apa yang saudara perjuangkan juga tak jauh berbeda dengan apa yang kami lakukan pada tahun yang sama, ketika saudara Saudi melawan penindasan rakyat Aceh, TNI, Kami juga melawannya dengan lemparan batu dan molotov. Kami tidak punya SS-1, M-16 AI, AK-45, AK-47 ataupun bazoka. Tapi kami melawan!, meski ratusan rakyat berguguran.

Sungguh, tidak semua orang Indonesia menjajah Aceh, kami rakyat biasa, juga seperti rakyat Aceh yang menjadi korban penindasan rejim fasis, ORBA! (Orde Baru) penjaga modal Internasional, yang memberangus rakyat Indonesia, yang menculik rakyat berani dan kritis, yang membodohi kami puluhan tahun lamanya.

Apa yang saudara lakukan tak beda dengan kami, kami bergerilya di kota, selama puluhan Jam kami juga perang melawan TNI dan Sniper yang membunuhi kawan kami.

Sungguh, kami juga membenci penjajahan, kami kebih mencintai kemerdekaan, itu kami buktikan pada tahun yang sama, cikal bakal revolusi nasonal Indonesia tahun 1998!.

Cita dan perjuangan tak akan berhenti disini rupanya. Kawan Saudi lebih tahu, para mantan pejuang GAM yang tak memiliki pangkat, kini tak punya kerja, terpaksa bebuat kriminal ataupun terpaksa menjadi preman, karena petinggi GAM, tak siap berbagi, mereka sedang bermain mata dengan para pemodal Eropa.

Gerilya ini harus diteruskan, gerilya melawan ekonomi, politik, teknologi, kuasa dan modal serta ideologi pasar bebas, perang gerilya moderen, yang tak kalah jahatnya!.

Salam pembebasan! Salam Perlawanan!

Andri Cahyadi

Ayos Purwoaji said...

menarik! mas andreas...-ayos-

Aku, Bukan Orang Lain said...

ceritanya, dah seolah-olah dia anak mudanya. padahal realitanya menurut kawan-kawan GAM tak seperti itu. ceritanya, banyak hasil olahan dia, kadang tak mencerminkan realita yang sebenarnya. perlu ada orang yang bisa menulis cerita verifikasi

andreasharsono said...

Dengan hormat,

Saya juga mendapat info bahwa Suadi Sulaiman, sesudah perjanjian Helsinki, ikut dalam pertarungan via pemilihan umum Desember 2006. Dia ikut kubu H2O. Ini sebuah pemilihan umum pasca-konflik, yang biasa, dimana perbedaan jadi melebar.

Mungkin Anda tahu, cerita ini dimuat oleh mingguan Modus di Banda Aceh, secara cukup menyolok.

Saya kira soal verifikasi, kita akan lihat satu per satu dengan dimulai lewat publikasi karya ini. Terima kasih.